Ilustrasi (Foto: Shutterstock.com)
Dream - Dalam hitungan hari umat Islam akan menyambut Idul Adha. Hari raya ini identik dengan amalan sunah kurban.
Kurban merupakan amalan bernilai ibadah yang dilakukan dengan menyembelih hewan halal. Bisa unta, sapi, kambing, namun dua hewan terakhir lebih populer bagi umat Islam di Indonesia.
Hewan yang dipotong pun diharuskan memenuhi kriteria. Di antaranya cukup usia ditandai dengan gigi tanggal, sehat fisiknya, serta tidak cacat.
Tentu seorang Muslim yang ingin berkurban diharuskan memeriksa dulu hewannya sebelum disembelih. Jika ditemukan ada kecatatan baik anggota tubuh yang bermasalah atau ada luka yang terbuka, hewan itu tidak bisa dijadikan kurban.
Tetapi, bagaimana jika berkurban dengan hewan yang sedang bunting?
Dikutip dari NU Online, yang dicari dari hewan kurban adalah dagingnya. Sehingga, jika terdapat cacat pada hewan, maka tidak sah digunakan untuk berkurban.
Mengenai rincian hewan seperti apa saja yang tidak sah untuk kurban, hal itu dijelaskan oleh Syeikh Zakariyya Al Anshari dalam Asna Al Mathalib.
" Tidak mencukupi hewan yang sakit parah yang menyebabkan kurus atau pincang yang mencolok sekiranya didahului binatang lain menuju rumput yang lezat dan tertinggal jauh untuk menyusulnya, berbeda dengan sakit atau pincang yang sedikit. Hal ini karena hadis yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dan beliau mensahihkannya; Empat hewan yang tidak mencukupi dalam kurban adalah (1) hewan yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, (2) yang sakit parah, (3) yang pincang parah dan (4) yang sangat kurus hingga tidak punya tulang sumsum;. Redaksi la tunqi diambil dari akar kata al-Niqyu dengan kasrahnya nun dan sukunnya qaf, yaitu tulang sumsum, maksudnya binatang yang tidak ada sumsumnya. Dan karena cacat yang mencolok dari hal tersebut berpengaruh dalam daging, berbeda dengan yang sedikit."
Penjelasan di atas memuat sejumlah prinsip yang patut diperhatikan ketika ingin berkurban. Terkait hewan bunting, para ahli fikih Mazhab Syafi'i menyatakan tidak sah disembelih untuk kurban.
Dasarnya, kebuntingan bisa menimbulkan kurusnya badan hewan dan berpengaruh terhadap kuantitas dagingnya. Mazhab ini juga menilai janin dalam kandungan hewan tidak dapat menambal kekurangan daging induknya apabila disembelih.
Hewan bunting dalam pandangan Syafi'iyyah disamakan dengan hewan pincang yang gemuk. Meski dagingnya banyak, kondisi itu tidak bisa menambal kepincangannya.
Tetapi, apabila terlanjur disembelih, dagingnya tetap halal selama syarat-syarat penyembelihan terpenuhi. Jika dibagikan, dagingnya hanya berstatus sedekah biasa, bukan kurban.
Namun demikian, Ibnu Rif'ah mengutarakan pendapat berbeda. Menurut dia, kurban dengan hewan bunting adalah sah.
Meski dagingnya berkurang, itu bisa ditambal dengan janin di dalamnya. Ibnu Rif'ah menyamakan hewan bunting dengan hewan yang dipotong testisnya. Meski cacat, bisa ditambal dengan kelezatan dagingnya.
Sumber: NU Online
Dream - Syariat kurban tidak sebatas hanya bentuk ketaatan kepada Allah. Lebih dari itu, kurban merupakan sarana berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Berkah kurban dirasakan oleh semua orang, tidak peduli apakah miskin atau kaya. Karena pembagian hewan kurban tidak memandang status ekonomi maupun sosial.
Namun begitu, terdapat perbedaan hak antara si miskin dan si kaya dalam menerima daging kurban. Apa perbedaan itu?
Dikutip dari NU Online, dalam menerima kurban si miskin memiliki hak tamilik atau kepemilikan secara utuh. Sehingga, dia bebas memanfaatkan daging kurban yang didapat baik untuk dikonsumsi, disedekahkan, dihibahkan bahkan dijual..
Berbeda dengan kaum kaya. Hak mereka menerima kurban tidak bersifat utuh. Orang kaya hanya boleh memanfaatkan daging kurban untuk dimakan baik oleh diri sendiri maupun orang lain.
Dalam artian, daging yang disedekahkan kepada orang lain harus sudah dalam bentuk siap makan. Selain itu, kaum kaya tidak boleh menjual daging kurban yang didapat, ataupun menghibahkan, mewasiatkan, dan lain sebagainya.
Syeikh Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Masyhur Ba'alawi dalam kitab Bughyah Al Mustarsyidin memberikan penjelasn demikian.
" Bagi orang fakir boleh memanfaatkan kurban yang diambil (secara bebas) meski dengan semisal menjualnya kepada orang Islam, sebab ia memilikinya. Berbeda dari orang kaya, ia tidak diperkenankan menjualnya, tetapi ia hanya diperbolehkan mengalokasikan kurban yang diberikan kepadanya dengan semisal makan, sedekah, dan menghidangkan meski kepada orang kaya, sebab puncaknya ia seperti orang yang berkurban itu sendiri. Keterangan ini disampaikan dalam kitab At Tuhfah dan An Nihayah."
Syeikh Muhammad bin Ahmad Al Ramli mendefinisikan orang kaya di sini sebagai golongan yang tidak halal menerima zakat. Lebih jelasnya yaitu orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya.
Sedangkan kaum miskin dalam pandangan Syeikh Al Ramli yaitu kebalikan dari kaum kaya. Yaitu orang yang aset harta dan pekerjaannya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sumber: NU Online
Advertisement
Jakarta Cycling Community, Tempat Kumpul Seru Pecinta Sepeda Ibu Kota

Ada Diskon Hingga 20% Untuk Perjalanan Rombongan Whoosh Selama November

Burung Indonesia, Komunitas yang Setia Lestarikan Burung Liar di Tanah Air

Komnas HAM Soal Gelar Pahlawan Soeharto: Ada 9 Kasus Pelanggaran HAM Berat

Redenominasi Rupiah, DPR: Kalau Belum Siap Jangan Coba-Coba


Hj.Erni Makmur Berdayakan Perempuan Kalimantan Timur Lewat PKK

Andai Digelar Pilpres Tahun 2025, 5 Tokoh Ini Bakal Jadi Pesaing Berat Prabowo Subianto

Tugasnya Bertaruh Nyawa Saat Bencana, Basarnas Punya Anggaran yang Bikin Miris Anggota DPR

Dijamin Takjub! Selama 30 Tahun Bandara Ini Tak Pernah Kehilangan Satupun Bagasi Penumpang


Jakarta Cycling Community, Tempat Kumpul Seru Pecinta Sepeda Ibu Kota

Ada Diskon Hingga 20% Untuk Perjalanan Rombongan Whoosh Selama November