Dream - Gletser di kawasan Himalaya sedang mengalami pencairan yang cepat akibat krisis pemanasan global.
Namun laporan terbaru mengungkapkan fenomena yang unik dan mengagumkan di puncak tertinggi dunia itu.
Saat suhu di dataran tinggi mencapai ambang tertentu akibat pemanasan global, terjadi reaksi yang menghasilkan angin dingin yang bertiup ke bawah lereng.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Francesca Pellicciotti, seorang profesor glasiologi di Institute of Science and Technology Austria (ISTA) dan penulis utama studi ini
" Pemanasan iklim menciptakan perbedaan suhu yang signifikan antara udara di atas gletser Himalaya dan udara dingin yang langsung bersentuhan dengan permukaan es," ungkapnya.
Fenomena yang sebenarnya dapat membantu mengurangi dampak krisis iklim global itu sendiri.
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Francesca Pellicciotti, seorang profesor glasiologi di Institute of Science and Technology Austria (ISTA) dan penulis utama penelitian ini.
" Pemanasan iklim menciptakan perbedaan suhu yang signifikan antara udara di atas gletser Himalaya dan udara dingin yang langsung bersentuhan dengan permukaan es," ungkapnya.
Fenomena ini menyebabkan peningkatan turbulensi pertukaran panas di permukaan gletser dan mendorong pendinginan udara di permukaan yang lebih intens.
Ketika udara permukaan yang sejuk dan kering menjadi lebih dingin dan padat, akan membentuk aliran massa udara yang meluncur ke bawah lereng menuju lembah. Ini menciptakan efek pendinginan di wilayah bawah gletser dan ekosistem di sekitarnya.
Laporan sebelumnya pada bulan Juni tahun ini mengungkapkan bahwa gletser di Himalaya mengalami laju pencairan 65% lebih cepat pada tahun 2010, dibandingkan dengan dekade sebelumnya.
Temuan ini menjadi indikasi bahwa kenaikan suhu telah memberikan dampak yang signifikan pada wilayah tersebut.
" Mekanisme utamanya melibatkan perpanjangan dan intensifikasi musim pencairan es.
" Hal ini menyebabkan penipisan dan penyusutan gletser, yang pada gilirannya berdampak pada degradasi lanskap dan meningkatkan suhu udara karena penyerapan energi yang lebih besar oleh permukaan," tambah Brun.
Penyerapan energi di permukaan dipengaruhi oleh suatu konsep yang dikenal sebagai efek albedo.
Permukaan yang cerah atau 'putih,' seperti salju dan es yang bersih, cenderung memantulkan lebih banyak sinar matahari (memiliki albedo tinggi) daripada permukaan 'gelap,' seperti tanah terbuka akibat pencairan gletser, dan penyusutan tanah dan lautan (memiliki albedo rendah).
Secara umum, Fanny Brun menjelaskan bahwa fenomena ini dapat dianggap sebagai siklus umpan balik positif, yaitu suatu proses yang memperkuat perubahan.
Meskipun demikian, keseluruhan fenomena ini masih kurang dipahami dan sulit diukur dengan tepat.
Namun, di kaki Gunung Everest, pengukuran suhu rata-rata secara keseluruhan menunjukkan kestabilan daripada peningkatan.
Analisis mendalam terhadap data mengungkapkan realitas dari apa yang sebenarnya terjadi.
" Meskipun suhu minimum terus mengalami peningkatan, suhu permukaan maksimum selama musim panas terus menurun," ungkap Franco Salerno, seorang penulis laporan dan peneliti di National Research Council (CNR) untuk Italia.
Namun, fenomena aneh berupa angin sejuk dari puncak Himalaya ini ternyata tidak sepenuhnya mampu melawan peningkatan suhu dan laju pencairan gletser yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Thomas Shaw, anggota kelompok penelitian ISTA bersama Pellicciotti, menjelaskan bahwa penyebab cepatnya pencairan gletser ini bersifat kompleks.
" Meskipun pendinginan ini bersifat lokal, namun mungkin masih tidak cukup kuat untuk mengatasi dampak pemanasan iklim yang lebih luas dan secara penuh menjaga keberlangsungan gletser," ungkap Shaw.
Pellicciotti menambahkan keterbatasan data secara umum di daerah dataran tinggi di seluruh dunia mendorong tim peneliti untuk fokus pada penggunaan catatan pengamatan darat yang unik di salah satu stasiun di Himalaya.
" Proses yang kami tinjau dalam makalah ini memiliki potensi relevansi global dan mungkin terjadi di gletser mana pun di seluruh dunia jika kondisinya sesuai," katanya.
Penelitian Pellicciotti dan rekan-rekannya ini telah dipublikasikan pada 4 Desember dalam jurnal Nature Geoscience.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Rangkaian acara Dream Inspiring Women 2023 di Dream Day Ramadan Fest Day 5
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Kata Ahli Gizi Soal Pentingnya Vitamin C untuk Tumbuh Kembang Anak
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR