Jangan Salah Kaprah, Riyono Tegaskan Tak Ada Istilah Beras Oplosan

Reporter : Daniel Mikasa
Kamis, 7 Agustus 2025 11:25
Jangan Salah Kaprah, Riyono Tegaskan Tak Ada Istilah Beras Oplosan
Negara idealnya mengendalikan 50 sampai 60 persen dari peredaran beras nasional.

Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, menilai perlu adanya pelurusan istilah “ beras oplosan” yang kerap digunakan dalam pemberitaan dan wacana publik seputar pangan nasional. Menurutnya, penyebutan tersebut tidak tepat secara istilah, karena secara regulasi, yang dimaksud sebetulnya adalah ketidaksesuaian mutu dan label pada produk beras.

“ Pernyataan saya bertujuan untuk meluruskan persepsi publik. Istilah ‘beras oplosan’ terlalu menyudutkan dan menimbulkan stigma negatif, padahal dalam praktiknya, mencampur jenis beras dilakukan demi menyesuaikan cita rasa maupun harga,” ujar Riyono dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

Ia menjelaskan bahwa industri beras mengenal berbagai kategori mutu, dari beras premium seperti rojo lele, hingga kelas medium dan kualitas rendah. Dalam proses distribusi, pencampuran antarjenis beras adalah praktik yang lumrah dan diperbolehkan, selama nilai gizi tetap terjaga dan label pada kemasan mencerminkan kandungan sebenarnya.

“ Contohnya, beras medium itu hasil campuran dari beras kualitas sedang dengan beras berbutir rusak atau kadar air tinggi, yang disebut menir. Menir jika berdiri sendiri memang tak layak konsumsi dan biasanya dipakai untuk pakan atau tepung. Tapi bila dikombinasikan dengan beras sedang, bisa menjadi produk yang layak konsumsi,” terang politisi Fraksi PKS itu.

Ia menambahkan bahwa alasan pencampuran tidak melulu soal harga, tetapi juga karakter rasa. “ Setiap jenis beras punya ciri khas—ada yang pulen, keras, atau cocok untuk masakan tertentu. Maka mencampur beras juga dilakukan untuk memenuhi preferensi pasar. Ini sah, selama tidak menyesatkan konsumen,” imbuhnya.

Riyono menyayangkan narasi yang digunakan Satgas Pangan dalam menindak beras campuran yang disebut “ tidak sesuai standar.” Ia menekankan bahwa pengawasan sebaiknya fokus pada ketidaksesuaian mutu dan label, bukan karena beras tersebut merupakan hasil pencampuran.

“ Kalau label menunjukkan satu kualitas, tapi isinya tidak sesuai, itu baru bisa dikatakan pelanggaran. Itu penipuan. Tapi jangan semua beras campuran digeneralisasi sebagai oplosan. Ini berpotensi merugikan pedagang dan bisa memicu gejolak harga,” katanya.

Wakil rakyat dari Dapil Jawa Timur VII ini juga menyoroti lemahnya manajemen distribusi beras di tingkat nasional. Menurutnya, pemerintah perlu memainkan peran lebih besar dalam mengendalikan pasokan dan harga.

“ Negara idealnya mengendalikan 50 sampai 60 persen dari peredaran beras nasional. Dengan begitu, negara punya ruang untuk mengatur kapan harga perlu dikerek, ditahan, atau distabilkan,” tegasnya.

Menutup keterangannya, Riyono memperingatkan bahwa tindakan menarik beras campuran dari pasar secara serampangan justru bisa memperparah krisis, apalagi di tengah harga beras yang terus menanjak.

“ Kalau semua beras itu ditarik, justru bisa mempercepat kenaikan harga. Sekarang saja bantuan pangan sudah sering terlambat, harga naik dari Rp12.000 ke Rp15.000. Ini menunjukkan bahwa tata kelola kita masih jauh dari kata ideal,” pungkasnya.

Beri Komentar