Kisah Paramedis Berguguran Kala Bertugas

Reporter : Syahid Latif
Rabu, 2 Desember 2015 20:20
Kisah Paramedis Berguguran Kala Bertugas
Fasilitas yang diperoleh serba serba minim. Risiko sangat besar. Namun semangat pengabdian tak menyurutkan semangat para pejuang medis.

Dream - Pasien wanita itu merintih kesakitan. Berjuang antara hidup dan mati membawa seorang jabang bayi melihat dunia. Di petang hari, dalam kondisi hamil besar, dia harus mengarungi derasnya arus sungai Papua. Tiga petugas kesehatan mendampinginya sepanjang perjalanan.

Di Puskesmas Bantu Bofuwer di pedalaman Papua, wanita itu sempat mencoba melahirkan buah hati kesayangannya. Malang, Puskesmas kecil itu minim fasilitas. Tak mau mengambi risiko, wanita hamil itu pun dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kaimana.

Dan di temaran sinar matahari pun mereka bergerak cepat. Berjalan ke titian sungai, menuju sebuah kapal speedboat yang sudah menunggu. Satu per satu mereka beranjak naik. Jam sudah pukul 18.00 saat deru kapal cepat itu mulai menyala.

Hembusan arus sungai menghantam dari kanan dan kiri speedboat yang melaju cepat. Tak terasa perjalanan sudah memakan waktu dua jam, saat kapal memasuki perairan Koy Distrik Kambarauw. Juru mudi yakin suasana sungai lengang. Saat tiba-tiba sebuah perahu panjang (longboat) melaju dari arah berlawanan. Kaget bukan kepalang, pengemudi speedboat banting haluan. Kapal bergerak cepat ke sebelah kiri.

Brak! bantingan juru mudi kapal itu terlambat. Perahu yang sedang membawa bahan makanan tertabrak. Sisi kanan kapal speedboat itu menghantam keras. Beberapa penumpang terlempar, jatuh ke perairan.

Di gelap malam, mereka berjuang keras. Menyelamatkan diri agar tak tenggelam. Dengan sisa tenaga, penumpang kapal berusaha menggapai perahu. Satu per satu berhasil selamat. Lolos dari maut di depan mata.

Tapi horor malam hari di Kampung Koy belum berhenti. Tubuh Dwi Endah Prihatiningsih (24) tak terlihat batang hidungnya. Dia salah satu bidan pegawai tidak tetap (PTT) yang membantu mengantar pasien hamil itu.

Semua berteriak memanggil namanya. Namun sosok yang dicari tak kunjung muncul. Setiap sudut sungai dipantau seksama. Seraya berdoa akan terlihat sesosok tubuh wanita berhijab.

Sejurus kemudian, samar-samar sesosok tubuh terlihat terapung. Beberapa orang mendekat. Berjibaku mengangkat jasad itu ke dalam perahu. Melaju kencang, perahu panjang itu pun merapat di Kampung Tanggaromi.

Semua bergegas mengangkat tubuh Bidan Dwi. Berharap masih ada waktu untuk memboyongnya ke RSDU Kaimana. Namun takdir berkata lain. Dalam perjalanan, Bidan Dwi menghembuskan napas terakhir. Masih jauh dari rumah sakit yang dituju, Bidan Dwi wafat dalam pengabdiannya.

*****

Sontak kabar wafatnya Bidan Dwi mengejutkan publik. Kesedihan menggelayut di sanubari para bidan pengabdi di seantero nusantara. Seraya tak percaya mereka kehilangan satu lagi rekan seperjuangan. Belum hilang dari ingatan, seorang bidan di Kalimantan Tengah wafat sekitar sepekan sebelumnya. Namanya Anik Setya Indah.

Bidan Anik meninggalkan kenangan indah bagi warga Desa Darit di Kalimantan. Sebelum wafat, Ia yang tengah hamil besar berhasil menolong persalinan dua orang ibu. Meski harus melalui jalan yang rusak parah, Bidan Anik bersikukuh menyelamatkan mereka. Meski harus kehilangan nyawa anak dalam kandungan dan dirinya sendiri.

Jauh sebelumnya, masih dari pedalaman kawasan timur Indonesia. Donisius Giri Samudra, seorang dokter muda wafat dalam pengabdiannya di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.

Meski tubuh diserang penyakit, Dr Andra bersikukuh kembali ke daerah tempatnya mengabdi. Di pelosok Dobo, Dr Andra meregang nyawa akibat penyakit yang diakibatkan virus campak dengan komplikasi infeksi otak.

Serentetan kisah pilu pejuang muda di pedalaman Nusantara ini menjadi kisah kelam dunia medis di tanah Air. Bidan Dwi, Bidan Anik, dan Dr Andra wafat di usianya yang sangat muda. Belum menginjak 30 tahun mereka gugur di medan pengabdian.

*****

Bidan Indah, Bidan Dwi maupun Dr Andra hanyalah segelintir di antara tenaga-tenaga kesehatan yang tersebar di pedalaman nusantara. Selain mereka, ribuan lainnya masih bertaruh nyawa di pedalaman sana. Berjuang untuk kesehatan masyarakat, meski dengan kondisi serba terbatas.

Dengan bumi Nusantara yang terbentang luas, tak semua penduduk bisa menikmati hidup enak. Sarana transportasi lengkap, akses jalan mudah, serta fasilitas kesehatan lengkap masih jadi barang langka di berbagai daerah. Namun tenaga medis ini hadir di tengah-tengah masyarakat pedalaman.

Indonesia memang butuh banyak dokter dan tenaga kesehatan lain. Terutama di wilayah pedalaman. Tengok saja data Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pada 2013, rasio dokter umum per 100.000 penduduk adalah sebesar 37,2. Rasio ini jauh dari kondisi ideal. Indikator Indonesia Sehat 2010 menyebutkan, seharusnya ada 40 dokter umum per 100.000 penduduk.

Lihat saja di Singkawang Kalimantan Barat. Disini cuma ada 25,2 dokter umum per 100 ribu penduduk. Jauh ke Sambas, rasio ketersediaan dokter umum hanya 8,1.

Memang bukan perkara mudah untuk menyuruh lulusan dokter mengabdi di pedalaman. Pemerintah bahkan setengah memaksa para tenaga medis untuk praktik magang di daerah.

Kementerian Kesehatan punya sejumlah program untuk para dokter dan tenaga medis muda. Satu diantaranya Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) yang mulai berjalan pada 2010.

Ini adalah program wajib seluruh lulusan mahasiswa kedokteran. PIDI adalah amanat dari Undang-undang Pendidikan Kedokteran Indonesia. Mau tak mau, calon dokter yang mau praktik harus melewati tahapan ini.

Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan (Pusrengun) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ahmad Subagyo menerangkan, PIDI adalah program magang untuk dokter yang sudah lulus. Namun mereka masih perlu dimahirkan dan dimantapkan keterampilannya. " Tapi mereka sudah tidak terikat dengan universitas mereka lagi," katanya.

Dalam satu angkatan, ada ribuan dokter muda dikirim ke pedalaman dan daerah terpencil. Kemenkes menyebut sudah ada 20 angkatan yang diberangkatkan. Saban tiga bulan, dokter-dokter bau kencur ini terjun ke daerah.

Bermodalkan pengabdian pada masyarakat, mimpi hidup enak di tanah orang sudah dibuang jauh-jauh. Tiap bulan, para dokter muda cuma mendapat biaya bantuan hidup Rp 2,5 juta. Pemerintah pun tak mau menyebutnya sebagai gaji.

" Karena pertimbangan mereka masih magang, jadi diputuskan namanya Biaya Bantuan Hidup bukan gaji," jelas Subagyo.

Masih syukur bisa menerima uang gaji utuh. Para pejuang medis muda ini harus merelakan Rp 50 ribu-60 ribu penghasilannya dipotong. Alasannya untuk pajak sebesar 2,5 persen.

Uang biaya hidup bukan satu-satunya masalah. Para dokter magang juga tidak mendapatkan jaminan dan perlindungan kesehatan yang layak. Untuk asuransi saja, peserta PIDI harus membayar iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan secara mandiri.

Bukan cuma fasilitas pas-pasan dari pemerintah. Terkadang mereka harus berjuang untuk hidup di pedalaman. Masih beruntung jika mereka mendapat sarana jalan yang baik. Kebanyakan harus melalui jalan berkalang tanah untuk tiba di lokasi rumah masyarakat. Belum lagi jika mereka mendapat lokasi penempatan di daerah konflik.

Seorang dokter yang pernah menjalani program PTT di Papua mengaku susahnya hidup sebagai dokter di pedalaman. Tak cuma biaya hidup, dokter yang enggan disebutkan namanya ini harus mencari sendiri tempat tinggalnya di lokasi penempatan.

" Karena saya dokter PTT dari pusat, saya diberangkatnya dari Jakarta ke ibukota provinsi. Selanjutnya saya berjalan sendiri ke lokasi pengabdian," ujar dokter yang kini telah memiliki praktik sendiri.

Taraf pendidikan masyarakat pedalaman yang masih minim juga jadi persoalan sendiri. Bukan rahasia jika penduduk desa masih sangat percaya pada dukun.

Toh semua risiko ini dijalani para pejuang media muda ini. Dengan niat mengabdi untuk masyarakat.

" Semua dokter yang akan berangkat ke daerah sudah tahu risikonya," katanya.

Kemenkes bukannya tak sadar dengan permasalahan yang dihadapi pejuang medis muda di pedalaman. Beragam perbaikan terus diupayakan. Setidaknya jatah Biaya Bantuan Hidup akan mengalami penyesuaian.

Subagyo mengatakan Kemenkes mulai tahun depan akan pelan-pelan memperbaiki kesejahteraan para tenaga medis. Dokter umum dan gigi PTT akan mendapat insentif Rp 5,4 juta per bulan untuk daerah terpencil. Mereka yang mendapat jatah daerah sangat terpencil sedikit lebih baik. Mendapat insentif Rp 7,85 juta per bulan. Sedangkan tenaga medis lainnya diusulkan mendapat Rp 4,4 juta.

Bidan Dwi, Bidan Indah, dan Dr Andra memang telah kembali ke dunia yang lebih baik. Namun masyarakat pedalaman, tempatnya mengabdi akan selalu mengingat perjuangan mereka. Perjuangan mereka belum padam. Karena ribuan pejuang muda medis lain masih terus mengabdi.

(Laporan: Ratih Wulan)

Beri Komentar
Jangan Lewatkan
More