Antrean Pengunjung Pasar Modern Singapura Di Tengah Pandemi Covid-19 (Asiaone.com)
Dream - Sekitar 240 orang dikenakan denda akibat kedapatan melanggar aturan lockdown saat belanja di pasar pada Minggu, 19 April 2020.
Mereka dikenai denda 300 dolar Singapura, setara Rp3 juta akibat tidak menjaga jarak dengan orang lain. Sedangkan 120 orang dari jumlah itu terkena denda berlipat.
Mereka diharuskan membayar 300 dolar Singapura karena tidak mengenakan masker saat keluar rumah.
Singapura sendiri telah menerapkan aturan ketat selama masa lockdown sejak 7 April lalu. Setiap pelanggaran akan dikenai denda cukup tinggi.
Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Masagos Zulkifi, mencatat di hari yang sama, ada lebih dari 10 orang terkena denda 1.000 dolar Singapura, setara Rp10 juta per kepala.
Penyebabnya, mereka melakukan pelanggaran berulang terhadap aturan semi lockdown.
Kebanyakan pelanggaran yang terjadi yaitu tidak jaga jarak serta tidak memakai masker di tempat umum. Masagos juga menyebut antrean panjang juga muncul di sejumlah pasar saat akhir pekan.
" Pada jam 8 pagi ini, misalnya, ada sekitar 200 orang yang antre di Pasar Geylang Serai, dan rata-rata waktu tunggu untuk masuk ke pasar setidaknya 30 menit," ujar Masagos, dikutip dari Asiaone.
" Sementara itu, di Pasar Tekka tidak ada antrean, dan pada 505 Jurong Barat, antreannya pendek dan bergerak cepat dan butuh kurang dari 10 menit untuk masuk ke pasar," terang dia.
Masagos mengaku prihatin karena pasar modern terus menjadi tempat orang berkumpul dalam waktu lama. Hal ini menjadi kebiasaan lama yang sulit dihilangkan.
" Jika kita membiarkan pertahanan kita turun sesaat, mungkin saja itu dapat mengakibatkan kelompok infeksi Covid-19 yang lain," tambah Masagos.
" Sangat penting bahwa kita semua melakukan yang terbaik untuk meminimalkan kepadatan dengan mengunjungi selama jam sibuk, pada hari kerja, atau pergi ke pasar yang kurang populer," ucap dia.
Dream - Tak butuh waktu laman bagi virus corona untuk menyebar ke berbagai penjuru dunia. Setelah merebak di Wuhan China, virus penyebab Covid-19 itu terus menyebarke berbagai negara.
Menurut data John Hopkins University & Medicine, hingga 20 April 2020 tercatat bahwa kasus infeksi virus corona telah terjadi di 185 negara. Sebanyak 2.406.745 orang dari berbagai negara terinfeksi, 165.273 di antaranya meninggal dunia.
Sejak mewabah akhir tahun lalu, penyebaran virus corona terus meluas. Berbagai negara sebenarnya tidak tinggal diam. Sejumlah negara bahkan melakukan lockdown. Menutup negeri. Tapi hingga kini penularan belum sepenuhnya bisa terkendali.
Meski virus corona hampir mencengkeram dunia, ada sejumlah negara yang belum terjangkit --minimal berdasarkan catatab belum ada laporan kasus positif Covid-19. Setidaknya ada 15 negara yang masih nihil laporan kasus positif Covid-19.
Lantas, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut laman sehatQ ada sejumlah penjelasan mengapa negara-negara ini tidak terdapat kasus covid-19.

Terdapat 15 negara dari 193 negara anggota PBB yang belum melaporkan kasus infeksi Covid-19. Adapun negara-negara tersebut, yaitu:
Sebelumnya, masih terdapat 18 negara yang terbebas dari virus corona, termasuk Yaman, Sao Tome dan Principe, serta Sudan Selatan. Sayangnya, dalam beberapa hari terakhir tiga negara tersebut melaporkan adanya kasus infeksi Covid-19.

Sempat tersiar kabar bila kemungkinan kasus Covid-19 di negara-negara tersebut ditutup-tutupi. Akan tetapi, menurut Michael Yao, seorang pakar tanggap darurat di WHO Afrika, mengatakan bahwa kasus di Afrika tentu saja tidak mungkin ditutup-tutupi atau tak terdeteksi. Pasalnya penyebaran virus tersebut sangatlah cepat sehingga adanya orang yang terinfeksi tentu akan terlihat dan pasti terdeteksi pula.
Beberapa ahli pun percaya bahwa iklim berperan dalam memperburuk atau menghentikan penyebaram virus Covid-19. Disebutkan jika virus corona mungkin saja tidak berkembang pada iklim yang hangat. Sayangnya, belum ada penelitian yang cukup mengenai hal tersebut.

Namun, perlu kita ingat bahwa sebagian besar negara yang belum melaporkan kasus Covid-19 merupakan negara-negara kecil Kepulauan Pasifik, serta segelintir negara di Asia dan Afrika. Yang mana kemungkinan negara-negara tersebut bukanlah tujuan wisata, sehingga sedikitnya pelancong yang bepergian ke negara itu membuat virus belum masuk.
Bahkan sebelum terjadinya pandemi ini, negara seperti Korea Utara sudah menerapkan aturan yang ketat mengenai siapa saja yang boleh keluar masuk ke negaranya. Di sisi lain, orang-orang dari negara tersebut juga mungkin memiliki akses yang terbatas untuk bepergian ke negara lain.
Dr. Sarah Raskin, seorang asisten professor di L. Douglas Wilder School of Government and Public Affairs at Virginia Commonwealth University pun menyatakan bahwa orang-orang yang berasal dari negara kaya memiliki akses yang lebih besar untuk bepergian sehingga peluangnya untuk terkena patogen baru menjadi lebih tinggi.
Advertisement
Habib Husein Jafar Bagikan Momen Saat Jenguk Onad di Panti Rehabilitasi

Perdana, Kate Middleton Kenakan Tiara Bersejarah Berhias 2.600 Berlian

Update Korban Banjir Sumatera: 846 Meninggal Dunia, 547 Orang Hilang

Anggota DPR Minta Menteri Kehutanan Raja Juli Mundur!

Salut! Praz Teguh Tembus Aras Napal, Daerah di Sumut yang Terisolir karena Banjir Bandang


PLN Percepat Pemulihan Jaringan Listrik di 3 Wilayah Bencana

Potret Persaingan Panas di The Nationals Campus League Futsal 2025

PNS Dihukum Penjara 5 Tahun Setelah Makan Gaji Buta 10 Tahun

Ada Kuota 5 Persen Jemaah Haji Lansia di Setiap Provinsi, Ini Ketentuannya

Habib Husein Jafar Bagikan Momen Saat Jenguk Onad di Panti Rehabilitasi

Perdana, Kate Middleton Kenakan Tiara Bersejarah Berhias 2.600 Berlian

Update Korban Banjir Sumatera: 846 Meninggal Dunia, 547 Orang Hilang