Ilustrasi Petani Indonesia Yang Sudah Biasa Menerapkan Mukhabarah Dalam Kehidupan Sehari-hari (Foto: Pixabay.com)
Dream – Istilah mukhabarah mungkin masih terdengar asing di telinga kita. Mukhabarah ini berasal dari Bahasa Arab yang artinya mengelola tanah orang lain dengan bagi hasil di antara pemilik dan penggarap.
Mukhabarah adalah kerjasama pengelolaan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu dari hasil panen yang benihnya disediakan penggarap.
Mukhabarah lebih akrab kita kenal dengan bertani namun bukan di tanah milik sendiri, melainkan menggarap tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
Negara Indonesia dengan lahan pertanian dan ladang yang luas memungkinkan praktek mukhabarah ini sudah lumrah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masayarakat.
Berikut pengertian mukhabarah beserta definisi, hukum, syarat, rukun, dan hal yang membatalkannya.
Menurut pendapat para ulama, definisi mukhabarah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu dari hasil panen benihnya berasal dari penggarap.
Bentuk kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Dalam kerjasama mukhabarah adalah bahwa biaya dan benih tanaman berasal dari penggarap.
Menurut Dhahir Nash Imam Syafi’i, mukhabarah adalah menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.
Sementara itu, menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri, dalam mukhabarah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modalnya dari pengelola atau penggarap.
Meskipun hampir sama, para ulama Syafi’iyah membedakan antara mukhabarah dan muzara’ah. Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Jadi perbedaan keduanya adalah terletak pada modalnya. Jika modal menggarap tanah berasal dari penggarap maka disebut mukhabarah. Sedangkan apabila modal berasal dari pemilik tanah maka disebut muzara’ah.
Menurut laman NU Online, keduanya sama-sama dipandang sebagai akad syirkah (kerja sama), yaitu kerja sama antara pemilik lahan dan petani penggarap.
Dasar hukum mukhabarah adalah salah satunya berasal dari Al-Hadis.
“ Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya,” (HR. Bukhari).
Dalam hadis yang lain juga disebutkan sebagai berikut:
“ Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA. sesungguhnya Rasulullah SAW, melakukan bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil berupa buah-buahan atau tanaman,” (HR. Bukhari).
Dalil dari Hadis tersebut merupakan landasan hukum yang dipakai para ulama yang membolehkan akad mukhabarah. Menurut para ulama akad ini bertujuan saling membantu antara petani dengan pemilik lahan pertanian. Di saat pemilik lahan tidak mampu menggarap tanahnya, sedangkan si penggarap tidak memiliki tanah untuk digarap.
Pandangan ulama terhadap hukum mukhabarah adalah terdapat dua pandangan yaitu, pertama membolehkannya berdasarkan hadis yang sudah dijelaskan pada bahasan sebelumnya.
Pendapat ke dua adalah melarang akad mukhabarah dengan alasan jika modal berasal dari penggarap nantinya bisa merugikannya. Hadis di bawah ini menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang akad mukhabarah karena dikhawatirkan ada salah satu pihak yang dirugikan.
“ Rafi’ bin Khadij berkata: di antara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian,” (HR. Bukhari)
Sementara hadis yang membolehkan adalah sebagai berikut:
“ Dari Thawus RA bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu,” (HR. Muslim)
Jadi hukum mukhabarah adalah mubah atau boleh dan seseorang bisa melakukannya untuk dapa memberi manfaat dan mendapat manfaat dari akd tersebut.
Syarat-syarat mukhabarah adalah:
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan akad mukhabarah berakhir atau batal, yaitu:
Pertama jika habis masa mukhabarahnya, artinya waktu yang telah disepakati sudah habis maka otomatis akad berakhir. Jika ingin melanjutnya mukhabarah, maka harus memulai akad lagi.
Ke dua salah satu pihak meninggal dunia.
Ke tiga adanya uzur, seperti tanah garapan terpaksa dijual msialnya untuk membayar hutang dan si penggarap tanah tidak dapat mengelola tanah lagi karena sakit atau karena hal yang lain.
Ke empat jika terjadi bencana alam seperti banjir yang melanda tanah sewaan sehingga kondisi tanah dan tanaman rusak maka akad bisa berakhir (yang keempat ini hal tambahan menurut pendapat Imam al-Mawardi).
Sumber: NU Onine, berbagai sumber.
Meskipun mukhabarah adalah termasuk akad syirkah yang diperbolehkan dalam fikih, namun ada beberapa praktik mukhabarah yang dilarang. Larangan ini muncul karena praktik mukhabarah yang dilakukan tidak sesuai alias menyalahi aturan fikih. Beberapa praktik mukhabarah yang dilarang adalah sebagai berikut:
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN