Tiga Kisah Putus Asa di Tengah Krisis Kelaparan Ekstrem Dunia: Tikus, Tulang dan Lumpur pun Dikonsumsi Demi Bertahan Hidup

Reporter : Sugiono
Selasa, 25 Oktober 2022 19:33
Tiga Kisah Putus Asa di Tengah Krisis Kelaparan Ekstrem Dunia: Tikus, Tulang dan Lumpur pun Dikonsumsi Demi Bertahan Hidup
Bagi saudara-saudara kita di beberapa negara lainnya, makanan pokok seperti beras, gandum atau roti merupakan kemewahan yang tak terbeli.

Dream - Di berbagai belahan dunia, kelaparan ekstrem menjadi pemandangan sehari-hari. Mirisnya, meski sudah datang bantuan dari PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya, bencana kelaparan tersebut seolah tak pernah berkesudahan.

Bagi sebagian rakyat Indonesia, beras mungkin mudah didapatkan meski sesekali sulit terbeli karena harganya yang naik turun kayak roller coaster.

Namun bagi saudara-saudara kita di beberapa negara lainnya, makanan pokok seperti beras, gandum atau roti merupakan kemewahan yang tak terbeli.

Baru-baru ini BBC menurunkan artikel tentang berbagai masalah kelaparan yang melanda beberapa negara di dunia. Tiga di antaranya mewakili kondisi kelaparan di India, Somalia, dan Brasil.

Tiga orang ini mengalami kelaparan ekstrem di mana mereka tinggal. Mereka pun menceritakan bagaimana bertahan hidup di tengah kelaparan ekstrem itu.

1 dari 7 halaman

Makan Tikus Sawah untuk Bertahan Hidup

Rani dari India mengaku dia dan keluarganya memakan tikus dua kali dalam sepekan. Rani dan keluarganya mengonsumsi tikus sawah, bukan yang ditemukan di rumah-rumah.

Dalam kultur sosial masyarakat India, Rani hidup di tengah komunitas kasta paling rendah. Selama bertahun-tahun, komunitas Rani yang disebut Irula, menderita karena diskriminasi.

Rani beserta keluarganya tinggal di dekat Chennai, India Selatan. Dia bekerja di sebuah LSM yang menyelamatkan komunitas Irula dari kondisi kerja yang buruk.

Kekeringan dan kelaparan ekstrem melanda dunia.

" Kami menguliti tikus dan memanggang dagingnya dalam api, kemudian memakannya. Sesekali kami memotongnya dalam potongan kecil dan memasaknya dengan daun lentik dan saus asam," tutur perempuan 49 tahun tersebut.

Perempuan yang memutuskan berhenti sekolah saat kelas lima SD ini mengaku sudah terbiasa makan tikus sejak kecil. Meski demikian, Rani tak pernah sakit karena makan tikus sawah selama hidupnya.

" Saya sudah makan tikus sejak kecil dan tak pernah mengalami masalah kesehatan. Saya memberi makan tikus kepada cucu saya yang berusia dua tahun. Kami terbiasa dengan itu," ujarnya.

2 dari 7 halaman

Belajar Menangkap Tikus Sawah Sejak Kecil

Rani mengatakan komunitasnya kebanyakan tinggal di luar kota atau desa-desa. Satu hari, orangtua dan kakek-neneknya mengatakan kalau mereka sudah tak punya apa-apa untuk dimakan.

Bahkan meski itu adalah umbi-umbian. Di masa-masa sulit itulah, tikus menjadi makanan yang sangat dibutuhkan Rani dan keluarganya.

Kekeringan dan kelaparan ekstrem melanda dunia.

Rani belajar menangkap tikus sawah sejak berusia sangat muda. Kemampuan yang dia dapat saat masih kecil tersebut membantu Rani dan keluarganya bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Bukan hanya tikusnya, biji-bijian yang dikumpulkan hewan pengerat di sarangnya juga diambil untuk dijadikan makanan sehari-hari oleh keluarga Rani.

" Saya hanya bisa makan ayam atau ikan sebulan sekali. Tikus banyak tersedia dan gratis," pungkasnya.

3 dari 7 halaman

Somalia Alami Kekeringan Paling Parah

Beda lagi ceritanya dengan wanita asal Somalia bernama Sharifo Hassan Ali berikut ini. Ibu berusia 40 tahun dengan tujuh anak ini juga mengalami kesengsaraan di tengah kelaparan ekstrem.

Sebelumnya, PBB menyebut Somalia menghadapi kelaparan yang parah. Selain itu, kekeringan yang melanda Somalia saat ini merupakan yang terburuk dalam 40 tahun terakhir.

Untuk mendapatkan makanan, sebagian besar warga yang desanya mengalami kekeringan terpaksa mengungsi ke tempat yang telah disediakan oleh pemerintah.

Sharifo termasuk salah satu pengungsi tersebut. Dia terpaksa meninggalkan desanya dan menempuh perjalanan lebih dari 200 km.

4 dari 7 halaman

Lihat Orang Makan Bangkai, Minum Air Campur Lumpur

Alih-alih naik truk atau bus yang disediakan pemerintah, Sharifo dan pengungsi lainnya harus berjalan kaki dari Lower Shabell ke pengungsian sementara di pinggir ibu kota Mogadishu.

Kekeringan dan kelaparan ekstrem melanda dunia.

Dalam perjalanan yang ditempuh selama lima hari itu, Sharifo menyaksikan pemandangan yang mengerikan akibat bencana kelaparan ekstrem yang melanda negaranya.

" Saya menyaksikan ratusan binatang yang mati dalam perjalanan ke Mogadishu. Orang-orang bahkan memakan bangkai dan kulit binatang," ungkap Sharifo.

Lebih miris lagi, Sharifo terpaksa minum air bercampur lumpur lantaran sungai-sungai banyak yang kering kerontang. Hanya sedikit air yang mengalir.

" Sungai mengering sepenuhnya. Hanya ada sedikit air yang mengalir, jadi kami terpaksa minum air berlumpur," tambahnya.

Sharifo sebenarnya tidak berasal dari keluarga miskin. Dulu, sebelum kekeringan melanda, dia memiliki 25 sapi dan 25 kambing. Tapi semua hewan ternaknya itu mati akibat kekeringan.

" Tak ada hujan dan tak ada yang tumbuh di peternakan saya," ujarnya. Untuk memenuhi keperluannya, Sharifo bekerja sebagai tukang cuci baju di pengungsian. Namun penghasilannya tak cukup untuk membeli makanan.

5 dari 7 halaman

Terpaksa Makan Tulang dan Kulit yang Dibuang Penjual di Pasar

Sementara di belahan Benua Amerika, nenek Lindinalva Maria da Silva Nascimento, terpaksa makan tulang dan kulit ayam yang dibuang oleh penjual daging lokal.

Nenek berusia 63 tahun dari Sao Paulo, Brasil, itu tak mampu membeli daging yang layak sejak pensiun dari pekerjaannya. Dengan uang cuma sekitar Rp60 ribu, Lindinalva membeli makanan bagi dirinya, suaminya, putranya dan dua cucunya.

Tak mampu membeli daging, Lindinalva terpaksa memunguti tulang dan kulit ayam. Itu pun dia harus membayar Rp10 ribu per kilonya.

" Saya memasak tulang dengan sedikit daging yang masih tertinggal di kulit. Saya menambahkan kacang-kacangan untuk menambah rasa," ungkapnya.

6 dari 7 halaman

Dulu Lemari Es Penuh dengan Buah dan Daging

Mirisnya, kulit ayam itu digoreng tanpa menggunakan minyak, dan lemak yang terkumpul disimpan dalam toples untuk menggoreng makanan di lain hari.

Lindinalva mengaku sebelumnya dia punya kulkas yang penuh dengan daging dan sayuran. Tapi semua itu sekarang tinggal kenangan.

" Saya tak bisa membeli buah, sayur dan manisan. Sebelumnya, saya punya lemari pendingin yang penuh dengan daging dan sayuran, serta kulkas yang terisi kubis, tomat, bawang, ada banyak sekali," katanya.

Lindinalva kehilangan mata pencaharian karena pensiun dini lantaran pandemi Covid-19. Kondisi ekonominya tambah runyam sejak putranya juga menganggur.

7 dari 7 halaman

Empat Faktor Penyebab 'Tsunami' Kelaparan

Satu-satunya cara Lindinalva untuk bertahan hidup adalah menggantungkan dirinya pada donasi makanan dari orang yang dikenal dan bantuan dari lembaga sosial setempat.

Badan Pangan Dunia (WFP) mengungkapkan bahwa kelaparan yang melanda dunia saat ini lebih buruk dari sebelumnya.

Badan itu menyebut penyebab 'krisis kelaparan seismik' yang terjadi saat ini karena empat faktor. Selain konflik atau perang, kelaparan juga disebabkan oleh guncangan iklim, pandemi Covid-19 dan kenaikan biaya.

Sumber: BBC

Beri Komentar