Ilustrasi (Foto: Shutterstock.com)
Dream - Pengguna media sosial digegerkan dengan beredarnya foto sepucuk surat peringatan. Surat itu diduga dikeluarkan oleh pengelola pabrik ditujukan kepada karyawannya yang Muslim.
Surat itu berisi pengumuman mengenai aturan waktu sholat. Para karyawan diingatkan untuk tidak sholat di jam kerja.
" Tim manajemen menginformasikan setiap karyawan tidak diizinkan melaksanakan sholat selama jam kerja, kecuali di waktu makan siang," demikian bunyi peringatan itu.
Tak hanya itu, para karyawan yang melanggar akan dikenai hukuman denda yang cukup besar.
" Bagi karyawan yang didapati melanggar aturan baru ini akan dikenakan denda sebanyak 500 ringgit (setara Rp1,7 juta) untuk satu kali kesalahan," demikian lanjutan surat tersebut, dikutip dari World of Buzz.
Surat peringatan itu dibuat dengan tanggal 30 Juli 2019 dan viral di media sosial. Diduga surat itu berasal dari perusahaan yang beroperasi di Taman Perindustrian Sungai Kapar, Selangor, Malaysia.
Dream - Kasus viralnya informasi jual beli data Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi perbincangan di Twitter. Bermula dari akun @hendralm yang mengunggah tangkapan layar di Facebook mengenai dugaan praktik ilegal itu.
Kasus itu sempat menjadi perhatian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
" Hari ini secara resmi Dirjen Dukcapil melaporkan ke Bareskrim," kata Tjahjo, dilaporkan Merdeka.com, Rabu, 31 Juli 2019.
Tjahjo mengatakan meski data masyarakat aman, dia ingin polisi menangkap dan mengusut pelaku jual beli data pribadi.
" Data itu di dukcapil itu aman ya termasuk MoU kami dengan beberapa lembaga perbankan lembaga keuangan juga aman. Tapi ada oknum masyarakat yang menggunakan media lain mengakses dan itu adalah tindak kejahatan yang hari ini tim Dirjen Dukcapil melaporkan kepada Bareskrim untuk diusut," kata dia.
Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh ingin berkoordinasi dengan Bareskrim agar penyalahgunaan data bisa segara terkuak.
" Kita tidak melaporkan orang. Kita hanya melapor ada kejadian peristiwa, kan yang ada di Facebook itu," ucap Zudan.
Tapi, kabar itu berubah. Dilansir Liputan6.com, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menyebut pihak Dukcapil justru melaporkan akun penyebar informasi adanya dugaan praktik ilegal jual beli data tersebut, @hendralm.
Dedi menyebut, pihak Dukcapil Kemendagri mengklaim server data Dukcapil memiliki tingkat pengamanan yang ketat dan berlapis.
Pihak Dukcapil, kata Dedi, akhirnya memilih melaporkan akun @hendralm sebagai sasaran, alih-alih meminta penelusuran praktik jual beli data pribadi.
" Si akun yang mengeluarkan konten itu (yang akan dilaporkan)" ucap Dedi.
Hal tersebut berdasarkan komunikasi awal antara penyidik Bareskrim Polri dengan pihak Dukcapil sebelum laporan resmi dibuat. Hasilnya, Dukcapil merasa adanya unsur pencemaran nama baik dan didiskreditkan. Termasuk menyoal maraknya berita bohong alias hoaks di sosial media.
" Kalau misalnya masyarakat yang membocorkan atau menyebarluaskan data kependudukan, sesuai Undang-Undang 2013 Pasal 95 a, ancaman hukuman dua tahun denda Rp 25 juta. Kalau staf Dukcapil yang membocorkan, Pasal 95 b, ancaman hukuman enam tahun, denda Rp 75 juta," tutup Dedi.
Dream – Penjualan data pribadi, seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) masih terjadi di Indonesia. Data yang seharusnya menjadi rahasia dan hanya diketahui si pemilik bisa dengan mudah didapatkan orang lain.
Yang lebih mengesalkan, banyak oknum memanfaatkan data pribadi tersebut dan menjualnya dengan harga sangat murah. Salah satunya dilakukan lewat grup sebuah aplikasi sosial media.
Bukti keberadaan jual beli data ini diunggah oleh seorang waerganet Twitter bernama @hendralm.
“ Ternyata, ada, ya, yang memperjualbelikan data NIK+KK. Parahnya lagi ada yang punya sampai jutaan data. Gila gila gila,” cuit @hendralm, dikutip Dream, Senin 29 Juli 2019.
Menurut pantauan Dream, di grup medsos yang diunggah oleh warganet ini, jual beli KK dan NIK mematok harga beragam. Salah satunya adalah pelaku yang mau dibayar senilai Rp5 ribu pe rkartu.
Malah, ada data foto selfie dengan KTP yang digunakan untuk mendaftar rekening paylater.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha menuturkan hal ini sebenarnya memang tidak boleh terjadi. Namun, saat ini regulasi yang mengatur memang masih abu-abu.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada regulasi sama sekali. Dia mengatakan perlindungan data pribadi secara umum sudah diatur dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 199 tentang HAM, dan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
" Pemerintah sedang mempersiapkan regulasi perlindungan data pribadi yang tertuang dalam UU Perlindungan Data Pribadi," ujar Pratama kepada Liputan6.com.
Selain itu, ada pula Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (PDPSE) yang ditetapkan pada 7 November 2016.
" RUU Perlindungan Data Pribadi saat ini sudah berada di Sekretariat Negara sebelum disahkan oleh DPR. Definisi data pribadi diperjelas dalam salah satu pasal di RUU PDP," kata dia.
Pratama juga menyarankan agar masyarakat tidak mudah mengunggah KTP dan KK miliknya, kecuali benar-benar dibutuhkan. Alasannya, sebagian besar layanan di internet tidak memerlukan NIK dan KK.
“ Apabila menemukan pesan atau aplikasi yang meminta mengupload data NIK dan KK sebaiknya memang harus waspada," kata dia.
(Sumber: Liputan6.com/Agustinus Mario Damar)
Advertisement
Momen Haru Sopir Ojol Nangis dapat Orderan dari Singapura untuk Dibagikan
Hj.Erni Makmur Berdayakan Perempuan Kalimantan Timur Lewat PKK
Siswa Belajar Online karena Demo, Saat Diminta Live Location Ada yang Sudah di Semeru
Cetak Sejarah Baru! 'Dynamite' BTS Jadi Lagu Asia Pertama Tembus 2 Miliar di Spotify dan YouTube
Komunitas Warga Indonesia di Amerika Tunjukkan Kepedulian Lewat `Amerika Bergerak`
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas