Ilustrasi Masker Covid-19. (Foto: Freepik.com)
Dream - Bekerja sama dengan Harvard University, seorang insinyur biomedis di Massachusetts Institute of Technology (MIT) saat ini tengah mengembangkan masker yang bisa menyala saat mendeteksi virus corona.
Pandemi menjadi perhatian utama bagi insinyur MIT, Jim Collins, selama bertahun-tahun sebelum muncul wabah virus corona pada akhir Desember 2019 lalu di Wuhan, China.
Pada tahun 2014, laboratorium bioteknologi Collins di MIT mulai mengembangkan sensor yang dapat mendeteksi virus Ebola ketika virus itu menempel di atas selembar kertas.
Tim ilmuwan dari MIT dan Harvard pertama kali menerbitkan penelitian mereka pada tahun 2016. Pada saat itu, mereka merancang teknologi untuk mengatasi ancaman virus Zika.
Sekarang, mereka hanya perlu menyesuaikan teknologi sensor mereka untuk mengidentifikasi virus corona yang menjadi penyebab Covid-19.
Collins dan timnya sedang merancang masker yang bisa menghasilkan sinyal fluoresens ketika orang positif Covid-19 bernapas, batuk, atau bersin.
Jika teknologi ini terbukti berhasil, maka masker buatan Collins bisa mengatasi kekurangan dalam melakukan skrining Covid-19, yang selama ini mengandalkan thermal gun danpengukur suhu badan.
" Anda dapat membayangkan masker ini digunakan di bandara saat kita melewati pemeriksaan keamanan atau menunggu untuk naik pesawat," kata Collins.
" Anda bisa menggunakannya dalam perjalanan ke dan dari kantor. Pasien bisa menggunakannya ketika mereka masuk atau menunggu di ruang tunggu sebagai langkah skrining pendahuluan untuk mengetahui siapa yang terinfeksi," tambah Collins.
Dokter bahkan mungkin menggunakannya untuk mendiagnosis pasien di tempat, tanpa harus mengirim sampelnya ke laboratorium.
Collins mengatakan proyek di laboratoriumnya saat ini sedang dalam 'tahap sangat awal,' tetapi hasilnya menjanjikan.
Selama beberapa minggu terakhir, timnya telah menguji kemampuan sensor untuk mendeteksi virus corona berbentuk sampel air liur.
Tim juga bereksperimen dengan desainnya. Saat ini, laboratorium sedang membahas apakah akan menanamkan sensor di bagian dalam masker atau mengembangkan modul yang dapat dipasang pada masker yang dijual bebas.
Collins berharap bisa menunjukkan konsep ini berfungsi dalam beberapa pekan yang akan datang.
" Begitu kita berada di tahap itu, maka tinggal menyiapkan uji coba pada individu yang terinfeksi untuk melihat apakah teknologi ini bekerja dalam dunia nyata," kata Collins.
Pengidentifikasian virus dengan teknologi sensor ini secara umum sudah terbukti bekerja dengan baik.
Pada 2018, sensor laboratorium MIT dapat mendeteksi virus yang menyebabkan SARS, campak, influenza, hepatitis C, West Nile, dan penyakit lainnya.
" Kami awalnya melakukan ini untuk membuat diagnostik berbasis kertas yang murah. Dalam perkembangannya, kami dapat menggunakannya pada plastik, kuarsa, dan juga kain," kata Collins.
Sensor ciptaan Collins terdiri dari bahan genetik - DNA dan RNA - yang berikatan dengan virus. Bahan itu dibekukan-keringkan di atas kain menggunakan mesin yang disebut lyophilizer. Mesin ini menyedot uap air dari bahan genetik tanpa membunuhnya.
Bahan genetik itu bisa tetap stabil pada suhu kamar selama beberapa bulan, sehingga masker memiliki umur penyimpanan yang relatif lama.
Untuk mengaktifkannya, sensor memerlukan dua hal. Yang pertama adalah kelembaban, yang dikeluarkan tubuh kita melalui partikel pernapasan seperti lendir atau air liur. Kedua, sensor perlu mendeteksi urutan genetik virus.
Collins mengatakan sensor ciptaannya hanya perlu mengidentifikasi segmen kecil dari urutan genetik untuk menemukan virus. Begitu mendeteksi virus, sensor akan mengeluarkan sinyal berupa fluoresens dalam satu hingga tiga jam.
Sinyal itu tidak terlihat oleh mata telanjang, jadi Collins menggunakan perangkat yang disebut flourimeter untuk mengukur cahaya fluoresens.
Di luar laboratorium, pejabat publik bisa menggunakan flourimeter tangan - yang menurut Collins 'berharga sekitar satu dolar' - untuk memindai masker.
Sensor buatan Collins mungkin menawarkan bentuk deteksi yang lebih murah, lebih cepat, dan lebih sensitif daripada tes diagnostik tradisional.
Karena sensor Collins sangat spesifik, maka dapat mendeteksi berbagai jenis virus. Dalam kasus Zika, sensor ciptaan Collins mengenali dua strain dari Afrika, satu dari Asia, dan satu lagi dari Amerika.
Collins yakin sensornya dapat mengidentifikasi lebih banyak kasus dengan mendeteksi virus itu sendiri, daripada gejalanya.
Sementara alat pendeteksi suhu yang dipasang di bandara seringkali melewatkan orang-orang tanpa gejala atau pra-gejala atau mengalami gejala selain demam.
" Saat ini kami dibatasi oleh waktu dan orang karena kami hanya tim yang relatif kecil. Kami terbatas pada berapa banyak yang dapat kami miliki di laboratorium, dan mereka semua bekerja sekeras yang mereka bisa," pungkas Collins.
Sumber: Business Insider
Advertisement
Momen Kocak Nikita Willy Tak Bisa Bedakan Cabe Rawit dan Cabe Keriting
Komunitas Emak-Emak Matic, Melek Teknologi Bisa dapat Cuan
Erick Thohir Dilantik Jadi Menpora Gantikan Dito Ariotedjo
Bahagia dan Haru, Para Siswa Sambut Kembali Kepsek SMP N 1 Prabumulih
Ohn No Khao Swe, Mi Myanmar Didaulat Jadi Mi Terenak di Dunia Versi TasteAtlas
Kisah Haru Suami yang Setia Rawat Istri Buta Selama 12 Tahun
Aksi Menteri Kesehatan Rusia Bantu Penumpang yang Kena Serangan Hipertensi di Pesawat
Demo Ojol 17 September 2025: Tuntutan, Jalur Aksi, dan Imbas Bagi Warga Ibu Kota
Save Janda, Komunitas Bagi Ibu Tunggal untuk Saling Berdaya dan Menguatkan
Oshiya Jadi Profesi Unik di Jepang, Bantu Dorong Penumpang Masuk Kereta
Momen Kocak Nikita Willy Tak Bisa Bedakan Cabe Rawit dan Cabe Keriting