#BeGood: Kisah Sabar di Tubir Maut, Tertimbun Beton Rp2 Miliar

Reporter : Eko Huda S
Senin, 8 Februari 2021 14:40
#BeGood: Kisah Sabar di Tubir Maut, Tertimbun Beton Rp2 Miliar
“Sempat mau dipotong kaki, tapi saya tak mau. Untung tak jadi diamputasi,” kata Sabar.

Dream – Lelaki itu berjalan mendekat sambil tertawa ringan. Kerutan wajahnya terlihat samar. Dia duduk di sofa panjang. Memunggungi tenda mungil, kelir hijau tua. Sambil memperbaiki posisi songkok Bone di kepala, pria paruh baya itu menyambut hangat.

“ Duduk Nak,” pinta dia.

Dialah Haji Sabar. Tidak tampak raut muram di wajahnya. Padahal, gempa yang mengguncang Sulawesi Barat 15 Januari lalu telah merenggut tiga anak dan dua cucunya. Saat ditemui sore itu, dia selalu menyelipkan tawa di antara ceritanya. Senja yang sayu pun terasa cerah mendengar gelaknya.

Nama Haji Sabar menyeruak di antara kabar bencana. Viral. Di tengah musibah itu, dia melakukan aksi menggetarkan. Di tengah duka dan bencana itu, Haji Sabar masih rela menyambung hidup orang lain. Membagikan sembako. Padahal, dia juga korban.

“ Saya yang viral, meninggal anaknya, cucunya, rumahnya, tapi masih bagi sembako,” kelakar Haji Sabar, kemudian menepuk jidat dan tertawa. Dia memperbaiki letak songkok Bone dengan garis emas melingkar di sisinya.

Itu bukan bantuan pemerintah. Haji Sabar mendapat sumbangan dari keluarga. Tak ditimbun. Semua mengalir ke warga. “ Waktu viral, banyak keluarga datang bawa bantuan. Daripada menumpuk, saya bagi ke orang yang butuh,” kata dia.

Haji Sabar memang bukan sembarang orang. Ibaratnya, jika kita mengetuk pintu tiap rumah di Mamuju dan menanyakan nama itu, penghuninya pasti tahu. Orang beken.

Dia pengusaha sukses. Usahanya menggurita. Bisnis Haji Sabar berkibar di bawah bendera Rappang. Pundi-pundi uangnya penuh dari usaha bengkel, toko bangunan, hingga tenda hajatan.

Masuk Mamuju tahun 1985. Haji Sabar memboyong keluarga dari Sidrap. Mengadu nasib dari nol. Tak ada rumah. Mereka menumpang kerabat.

Sopir pete-pete jadi profesi pertama. Roda hidup terus menggelinding. Awal 90an, giliran Haji Sabar di atas. Dia membuka bengkel mobil dan las. Usaha nekat itu terus berkembang. “ Pakai nama usaha Rappang karena saya dari Rappang,” kata dia.

Haji Sabar makin naik daun. Usaha melebar ke jasa sewa tenda. Saban bulan 20 kali tarup tergelar. Sekali sewa Rp2 juta. Itu hanya itungan kasar. “ Coba dikalikan,” selorohnya.

Dia tak sedang membual. Kucuran keringat itu nyata. Dari menumpang, Haji Sabar membangun rumah megah. Istana bertingkat. Roda bisnisnya terus berputar. Melaju makin kencang. Usahanya beranak-pinak.

Tapi, gempa itu mengubah segalanya. Merenggut 105 nyawa, termasuk tiga anak dan dua cucu Haji Sabar. Ribuan orang mengungsi. Lindu magnitudo 6,2 menjungkalkan bagunan-bangunan perkasa, termasuk istana dan bisnis Haji Sabar yang jaya itu. Semua rebah. Dalam sekejap mata.

“ Tak ada yang tahu musibah. Terjadi begitu saja. Saya goyang, langsung roboh,” ucap Haji Sabar.

1 dari 2 halaman

8 Jam Terkubur

Haji Sabar, korban gempa Sulbar

Haji Sabar di tengah puing-puing rumahnya (Dream/ Nasrullah Yasin)

Seperti hari yang sudah-sudah, malam itu keluarga Haji Sabar berkumpul di rumah induk. Setelah sang istri wafat setahun lalu, anak-anaknya sering datang. “ Kata mereka tidak ada yang hibur bapak,” tutur Haji Sabar.

Pada malam bencana, rumah itu dihuni delapan orang. Tiga anak dan dua cucu meninggal. Haji Sabar, satu cucu, dan sang mertua, selamat.

Haji Sabar membuka gawai. Dengan bantuan kacamata, dia memperlihatkan gambar rumah sebelum dirontokkan gempa. Berlantai empat. Ditopang pilar-pilar raksasa, ukuran 60 kali 60 sentimeter. Benar-benar megah.

“ Padahal ini rumah banyak yang penasaran mau lihat,” Haji Sabar kembali tertawa. Dia terus memaku mata ke layar. Memperbesar beberapa gambar, memerhatikan detailnya.

Rumah itu dibangun sebelum gempa Palu 2018. Sudah dihuni, tapi belum diresmikan. Punya tujuh kamar dan satu aula besar. Bilik Haji Sabar paling lebar. Seratus meter persegi. Lebih luas dari lapangan badminton.

Dua meter sebelah kanan rumah Haji Sabar, berdiri gedung tingkat dua. Itu kediaman Adi, salah satu putranya. Nasib bangunan ini lebih mujur. Masih tegak sampai kini.

Jika lewat Jalan WR Monginsidi Mamuju, mata pasti tersangkut di dua kediaman megah itu. “ Jadi ini rumah sebenarnya sudah tiga kali gempa. Mulai dari gempa Palu, Mamasa, dan Mamuju,” kata dia.

Rumah Haji Sabar sebenarnya masih gagah saat lindu magnitudo 5,9 menggoyang di sore hari. Tak ada retakan. Karena itu pula mereka berani tidur di rumah itu. Tapi istana kokoh itu tersungkur saat gempa magnitudo 6,2 mengocok bumi Mamuju beberapa jam kemudian.

“ Gempa ke dua, baru runtuh semua,” Haji sabar mengingat-ingat, sambil menyemburkan asap dari mulutnya.

Sangat cepat. Gempa menyergap saat Mamuju terlelap. Ketika banyak orang meringkuk di bawah selimut. Pukul setengah tiga dinihari. Gemuruh, hanya itu yang diingat Haji Sabar. Disusul guncangan yang datang bergelombang.

Semua ambruk dalam sekejap. Mata gelap. Suasana senyap. Haji Sabar mengira semua keluarga sudah lari menyelamatkan diri. “ Saya tak bisa bergerak lagi,” kenangnya.

Haji Sabar membuka songkok di kepala. Ditaruhnya di atas meja. Dengan dialek Bugis khas Rappang, dia meneruskan cerita. Kini berbaring di kursi panjang, memeragakan kejadian mencekam yang baru ia lewati. Rokok yang sejak tadi diisap dibuang ke belakang.

“ Saya tidur begini, runtuh tiang rumah. Saya tidur di atas rosban (kasur) ada cucuku saya pangku. Itu yang selamat,” tutur Haji Sabar sambil berbaring.

Dia kembali duduk, sedikit jongkok. Tangan mengambil kerikil. Haji Sabar mulai menggambar lantai, letak ruangan. Batu-batu kecil dan beberapa puntung rokok jadi penanda posisi keluarganya di dalam rumah sebelum gempa melanda.

Di kamarnya, ada dua anak dan tiga cucu. Ada pula sang mertua. Satu anaknya, Haji Ririn, ada di lantai tiga.

Haji Sabar terus menggambar. Setiap ruangan, letak kasur, posisi lemari, pintu, hingga ruang TV. Sesekali terdengar suara gesekan cincin-cincin besar di jemari, beradu dengan batu dalam genggaman.

“ Sebelum kejadian, mertuaku pergi sembahyang tahajud di ruang televisi. Dia selamat,” kata Haji Sabar.

Jelang subuh buta itu, Haji Sabar terperangkap timbunan beton. Tetap sadar. Dia terus menenangkan sang cucu dalam dekapan, Naila. Kaki bocah itu juga terjepit.

“ Cucuku teriak, ‘Papa Aji!’ Saya bilang, ‘Tunggu dulu, Nak’,” suaranya meninggi. Rokok dibakar lagi. Asap bergumpal. Tebal.

Dia ingat betul saat Basarnas datang. Hari masih terang-terang tanah. Evakuasi dimulai. Dia terus ngobrol agar sang cucu tenang. Bocah kelas enam SD itu berhasil keluar. “ Saya masih tertindih,” ujar Haji Sabar.

Di tubir hidup dan mati itu Haji Sabar berusaha melepaskan kaki dari impitan reruntuhan. “ Masih sempat saya menarik kaki satu dan satu ini yang tinggal,” ia terus bercerita.

Haji Sabar mengelus kaki yang terlihat masih memar. Kedua kakinya ketiban tiang yang jatuh ke kasur. Saat bantuan datang, kaki kirinya berhasil lepas dari impitan beton. Kaki kanan masih tersangkut.

Di bawah reruntuhan itu, Haji Sabar mengebor dan menghunjamkan betel ke bongkahan-bongkahan beton. Dia harus hati-hati. “ Kalau pecah yang di atas, saya pasti tertimpa juga,” matanya melotot, suara kembali meninggi.

Delapan jam lebih berjuang. Dia akhirnya berhasil dikeluarkan dari puing-puing rumah jelang tengah hari. Setengah sebelas siang. Dia digotong ke mobil, dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara.

“ Kaki bengkak, tak bisa jalan,” tutur Haji Sabar. “ Sempat mau dipotong kaki, tapi saya tak mau. Untung tak jadi diamputasi.”

Semua orang tertegun. Bersabar menyimak penuturan Pak Haji. Sesekali mereka menggeleng kepala. Heran. Terkadang tergelak, ikut terkekeh kala Haji Sabar cerita sambil tertawa. Rokok membara tak pernah lepas dari jepitan jemarinya.

Di rumah sakit Haji Sabar menyaksikan jasad-jasad keluarga. Anak-anak dan cucu-cucunya. “ Langsung saya lihat anakku terbaring satu, datang kakakya. Katanya meninggal semua adikku,” ucapnya penuh sesal.

Haji Sabar menarik napas dalam-dalam. Disusul embusan kuat. Dia bangkit dari kursi. Tangan meraih songkok yang sedari tadi ditanggalkan. Dikembalikan ke atas kepala.

“ Artinya kita tidak bisa bikin apa-apa, kalau saya mau diambil juga ya pasti diambil, pasti saya mati,” Haji Sabar mengenang malam kelam itu.

Gawai di genggaman kembali menyala. Haji Sabar menunjukkan keluarganya. Dia tatap dalam-dalam setiap foto. Sesekali menjelaskan sosok di potret kenangan itu. “ Pokoknya tumbang semua,” sesalnya.

Kini rumah megah itu rebah. Simbol kesuksesan Haji Sabar tinggal gunungan beton. Tulang-tulang besi menyembul dan melilit bongkahan. Semrawut. Mirip benang kusut. “ Rumah ini sekitar Rp2 miliar di luar, belum di dalamnya,” dia menaksir nilai rumah yang lebur itu.

Sebuah ekskavator membersihkan puing rumah Haji Sabar

Sebuah ekskavator membersihkan puing-puing rumah Haji Sabar (Deram/ Abdi Latief)

Sore itu sebuah ekskavator terparkir di atas sisa rumah. Baru istirahat setelah bekerja keras menyingkirkan puing rumah yang porak-poranda. Di belakangnya, truk hijau beroda sepuluh baru saja padam mesinnya.

Kini, Haji Sabar berkemah di samping puing lambang kejayaan itu. Tak ada lagi kamar jumbo. Haji Sabar hanya menghuni tenda mini. Hanya cukup seorang saja. Di depan rumah Adi, dibangun tiga tenda kerucut putih. Kursi berjajar di depan bivak-bivak itu. Saban hari ramai tamu.

“ Kalau saya tidur di rumah selalu ada perasaan mau jatuh. Tapi sebenarnya biar kita di mana kalau mau mati ya mati juga, tapi kan masih ada perasaan takut,” Haji Sabar tertawa lepas.

2 dari 2 halaman

Tangis Pengungsi

Haji Sabar mengubah posisi duduk. Kaki kanan yang masih memar samar tersorot sinar lampu. Mengusapnya berkali-kali. Mata menerawang. Terus membayangkan orang-orang di sekitar yang merana karena gempa.

“ Ada yang datang menangis butuh susu,” kata Haji Sabar, setelah jeda. Dia kembali diam, mengingat-ingat kejadian yang membuatnya viral di media sosial.

Tangis itu menyentuh kalbu Haji Sabar. Kebetulan cucunya punya tiga susu. Dia meminta satu untuk diberikan orang. Haji Sabar janji memberi ganti ke cucunya. “ Saya berikan susu cucu saya kepada orang itu, mereka pulang sangat gembira,” kata dia.

Cerita itu viral. Banyak orang kagum. Sabar telah mengetuk hati puluhan bahkan ratusan orang dengan bantuan itu. Setelah cerita itu viral, datang susu berkarton-karton. “ Kalau kamu baik, datang banyak penggantinya. Lain juga penggantinya itu,” dia tertawa lirih sambil mengepulkan asap rokok.

Tenda Haji Sabar, korban gempa Sulbar

Tenda yang dibangun di rumah anak Haji Sabar (Dream/ Nasrullah Yasin)

Sabar pantang menyimpan harta di tengah tetangga kelaparan. Kondisi Mamuju setelah gempa memang memprihatinkan. Rumah mereka roboh. Tak punya penghasilan. Mereka menumpuk di banyak titik. Mengungsi.

Stadion, kantor bupati, hingga gedung gubernuran, disulap jadi lokasi pengungsian. Belum lagi mereka yang mendirikan tenda-tenda di bekas reruntuhan rumah, seperti Haji Sabar itu.

Karena itulah Haji Sabar tergerak. Dia membagikan lagi sumbangan dari keluarga. “ Buat apa kita simpan-simpan,” tegas dia.

Haji Sabar berhenti sejenak. Tiba-tiba tangan memegang dompet dan membukanya. Dia menunjukkan kartu penduduk. “ Nama lengkap Sabar saja,” katanya, sambil tertawa.

Di kartu identitas, Haji Sabar tercatat lahir 1959. Telah berumur. Cucunya saja sudah 17. “ Hanya delapan yang masih hidup,” kata dia.

Dari dompet itulah dia mengenang sang istri. dia bercerita almarhumah sangat ringan tangan. Tak segan membuka dompet untuk siapa saja. Memberi bantuan. Orang Rappang dan Pinrang yang mampir ke rumah saat ke Mamuju. Banyak dari mereka yang dibantu.

“ Aji perempuan (istrinya) itu suka bersedakah, itu kebiasaanya,” kata Haji Sabar.

Dia kerap kaget saat mendadak diminta berhenti di tengah jalan saat bermobil. Sang istri turun dan memberikan bantuan, ke masjid juga orang-orang yang membutuhkan.

“ Ketemu orang susah disumbang, orang butuh disumbang. Ini saja saya tidak kenal, akhirnya seperti saudara,” kata Haji Sabar sambil menunjuk salah seorang di depannya.

Haji Sabar banyak belajar dari sang istri soal sedekah. Setelah gempa itu, perilaku sang istri menjadi teladannya. “ Itu makanya orang bertanya-tanya, betulkah itu Haji Sabar kena musibah kemudian bagi sembako. Itu betul,” terangnya.

Cerita tersekat. Adi datang mendekat. Dia memperlihatkan gawainya kepada Haji Sabar. Di layar, tampak beberapa bocah menyapa. Mereka anak-anak Adi yang kini tinggal di Parepare. “ Papa Aji, Papa Aji,” teriak bocah-bocah di layar itu.

Gempa boleh menghancurkan rumah dan usaha. Tapi semangat Haji Sabar tak goyah. Dia bertekad kembali membangun usaha di Mamuju. Tanah yang sudah 36 tahun ditempati.

“ Kita lihat Palu, bagaimana kencangnya bisa bangkit kembali, kita juga mau begitu,” kata dia.

Istana itu memang sudah rata dari tanah. Tapi Haji Sabar yakin bisa membangun kembali. “ Mudah-mudahan bisa membangun lagi rumah yang lebih besar,” suaranya meninggi, nadanya semakin cepat. Bersemangat.

Seperti tak ada sesal yang menyelinap dalam setiap ucapan dari Haji Sabar, meski sesekali ia terdiam dalam ceritanya. Semangat untuk terus bertahan menutupi semuanya. Ia meminta kepada semua orang untuk terus berjuang. “ Saya tanya Adi, kita bangun lagi ini semua,” tutur Haji Sabar.

Laporan: Abdi Latief

Beri Komentar