(Facebook.com/Kerja Dari Rumah)
Dream - Tak ada yang tahu kapan malaikat maut akan datang mencabut nyawa kita. Ibarat tamu yang datang tanpa permisi lalu masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi. Begitulah kematian.
Mereka sangat dekat, bahkan melebihi tipisnya kulit ari. Hal itulah yang bisa kita saksikan dalam video berikut ini.
Bagaimana kematian itu bisa datang kapan saja tanpa mengenal waktu dan tempat. Dalam video ini terlihat orang yang tampak segar bugar bisa tiba-tiba jatuh dan meninggal.
Maka, pantaskah kita menghabiskan seluruh potensi dan energi kita hanya untuk mengejar hal-hal berbau duniawi yang hanya sementara dengan mengorbankan akhirat kita?
Think again..
(Facebook.com/Kerja Dari Rumah)
© Dream
Dream - Seorang fotografer perang Amerika Serikat berhasil menangkap momen sebuah ledakan bom mortir yang secara tidak sengaja meledak di Afghanistan.
Sayangnya, kecelakaan itu membunuh dirinya dan juga empat tentara Afghanistan.
Hilda Clayton sedang memotret tentara Afghanistan yang berlatih menembakkan mortir di Qaraghahi bulan Juli 2013.
Namun latihan yang menggunakan peluru sungguhan itu berujung maut setelah mortir yang dipegang tiba-tiba meledak.
Hilda, yang saat itu berusia 22 tahun, sempat mengabadikan momen ledakan itu sebelum terbunuh bersama 4 tentara Afghanistan yang terlibat dalam latihan.
Kini, setelah empat tahun berselang, pihak keluarga Hilda mengizinkan foto detik-detik memilukan itu dipublikasikan.
Menurut situs Stars and Stripes, kematian perempuan yang menjadi informan visual saat perang itu adalah, yang pertama dalam sebuah dokumentasi pertempuran Angkatan Darat Amerika Serikat.
Hilda adalah fotografer perang dari Divisi 1 Kavaleri Brigade Tempur Lapis Baja ke-4 yang diterjunkan di Gamberi, Provinsi Laghman, Afghanistan.
Foto-foto Hilda itu dipublikasikan di Majalah Militer Review edisi Mei-Juni.
Dalam sebuah artikel bersama foto itu, Militer Review menulis, " Aktivitas Clayton dalam membuat dokumentasi tidak hanya membantu membentuk dan memperkuat kemitraan (dengan Afghanistan), tapi juga menunjukkan risiko perempuan dalam konflik perang."
(Ism)
© Dream
Dream - Mata bocah dalam foto itu merona merah. Air matanya tumpah. Menghiasi tatapan yang hampa. Sementara, tangan bocah itu tengah memainkan biola yang pangkalnya dia jepit di dagu.
Bocah itu adalah Diego Frazao Torquato. Pemain biola asal Brasil yang tengah berduka saat prosesi pemakaman sang guru, John Evandro da Silva, yang tewas akibat kekerasan gengster. Melalui tangis dan nada-nada pilu biola itulah doa-doa untuk sang guru dipanjatkan.
Foto itu telah mengundang simpati publik. Tak hanya di Negeri Samba, tapi juga di berbagai belahan dunia. Banyak orang yang memandang foto itu, larut dalam sebuah keharuan. Bahkan tak jarang orang yang menemukan foto itu di dunia maya mencari kisah yang menjadi latarnya.
Wajar saja Diego menangis dalam prosesi pemakaman Oktober 2009 itu. Sebab, ada ikatan batin yang begitu erat di antara keduanya. Bagi bocah kelahiran 1997 ini, Evandro tak hanya sekadar guru, melainkan juga penyelamat hidup.
Masa kecil Diego memang cukup pahit. Dia tinggal di lingkungan yang keras. Kehidupannya sungguh lekat dengan penyakit, termasuk meningitis dan leukemia. Belum lagi kelaparan. Dan Evandro lah orang yang mengentaskan dia dari belitan hidup yang mendera.
Di tangan Evandro, Diego tumbuh menjadi pemain biola jempolan. Dia kemudian tergabung dalam orkestra Afroreggae binaan Evandro. Meski berbalut penyakit ganas, semangatnya berlatih biola tak pernah pudar.
Melalui orkestra itu pula Diego kerap bermain dalam pertunjukan amal untuk memerangi perdagangan anak-anak. Dia berpartisipasi dan menjadi bintang dalam berbagai konser amal, salah satunya pada Parade de Lucas. Pada Desember 2009, dia juga berpartisipasi dalam konser Rede Globo untuk kampanye yang sama.
Karena kisah hidup yang inspiratif dan aktivitas sosial itulah, Diego menerima penghargaan " Make a Difference Award" dari O Globo pada 2010. Bagi masyarakat Brasil, Diego merupakan " simbol harapan" . Harapan untuk memerangi leukemia. Harapan untuk memerangi kekerasan, seperti yang menimpa guru Evandro da Silva.
Namun pada 2010, kesehatannya menurun. Dia mengalami infeksi setelah menjalani operasi usus buntu. Penyakit yang dia derita semenjak kecil pun semakin mengganas. Yang menyedihkan, dia tak mampu melakukan kemoterapi.
Dalam kondisi parah itu, dia masih memelihara asa. Diego tetap ingin mewujudkan mimpi untuk berkeliling dunia dengan biolanya. Namun sayang, tak lama setelah foto legendaris itu diambil, maut terlebih dulu menjemputnya. Angan itu dia bawa hingga ke liang kubur. (Ism, Dari Berbagai sumber)
Advertisement
Dompet Dhuafa Kirim 60 Ton Bantuan Kemanusiaan untuk Penyintas Bencana di Sumatera

Perlindungan Rambut Maksimal yang Ringan dan Praktis Lewat Ellips Hair Serum Ultra Treatment

Temukan Pengalaman Liburan Akhir Tahun yang Hangat di Archipelago Hotels

Kolaborasi Strategis KEC dan Archipelago Hadirkan Perusahaan Manajemen Hotel Baru di Madinah

Komunitas `Hutan Itu Indonesia` Ajak Anak Muda Jatuh Cinta Lagi pada Zamrud Khatulistiwa


Siiru Jalin Kerja Sama Strategis dengan BPKH Limited untuk Perkuat Ekosistem Umrah Mandiri Indonesia

Siiru Jalin Kerja Sama Strategis dengan BPKH Limited untuk Perkuat Ekosistem Umrah Mandiri Indonesia

Viral 300 Juta Tayangan dalam Sehari, MOMOYO Rayakan 1.000 Gerai dengan ‘Capybara Chocolate’



Viral 300 Juta Tayangan dalam Sehari, MOMOYO Rayakan 1.000 Gerai dengan ‘Capybara Chocolate’

Siiru Jalin Kerja Sama Strategis dengan BPKH Limited untuk Perkuat Ekosistem Umrah Mandiri Indonesia