Kesaksian Warga Soal Banjir Aceh: Seperti Tsunami
Banjir Sumatera
Reporter : Okti Nur
Seorang warga Kabupaten Pidie Jaya di Aceh, mengatakan bahwa banjir tersebut “seperti tsunami”.
DREAM.CO.ID - Indonesia menjadi salah satu wilayah di Asia yang dilanda hujan deras dan badai. Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi wilayah yang paling parah terdampak.
Jumlah korban tewas akibat banjir meningkat menjadi 631 orang pada Selasa, 2 Desember 2025. Hampir 500 orang masih hilang, sementara ribuan lainnya terluka. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan sekitar satu juta orang telah dievakuasi.
Foto-foto setelah banjir juga menunjukkan jembatan hanyut, jalanan tertutup lumpur dan puing, serta tumpukan kayu gelondongan di mana-mana. Di sisi lain, banyak warga masih menunggu bantuan makanan.
Arini Amalia, seorang warga Kabupaten Pidie Jaya di Aceh, mengatakan bahwa banjir tersebut “seperti tsunami”.
“Menurut nenek saya, ini yang paling parah, yang paling parah dalam hidupnya,” kata Amalia dari wawancaranya dengan BBC, dikutip Rabu, 3 Desember 2025.
Petugas bantuan berusaha mencapai warga dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor, karena banyak jalan tidak dapat dilalui kendaraan besar.
Di landmark Jembatan Kembar di Sumatera Barat, tempat banjir menyapu dan meninggalkan endapan lumpur serta puing dalam jumlah besar.
Seorang wanita bernama Mariana menyaksikan alat berat membersihkan jalan sambil berharap mereka menemukan anggota keluarganya yang hilang, termasuk putranya yang berusia 15 tahun.
“Melihat eskavator itu, melihat betapa tebal lumpurnya… saya terus berpikir, dalam kondisi seperti apa anak saya saat mereka menemukannya?” katanya.
“Apakah tubuhnya masih utuh? Ibu saya, ipar saya… Melihat kondisi di sini, mungkin wajah mereka bahkan tidak bisa dikenali lagi," lanjutnya.
Maysanti, yang tinggal di Tapanuli Tengah, salah satu daerah paling terdampak di Sumatera Utara, mengatakan bahwa petugas bantuan kesulitan mencapai distrik tempat tinggalnya.
“Semuanya hilang; persediaan makanan kami habis. Kami tidak bisa makan,” katanya.
“Mi instan saja diperebutkan sekarang. Makanan kami habis; kami butuh makanan dan beras. Akses ke tempat kami benar-benar terputus.”
Ia mengatakan ia harus berjalan beberapa kilometer dari rumahnya hanya untuk mendapatkan sinyal internet dan kebutuhan dasar seperti air bersih.
Di Aceh Tengah, tempat pihak berwenang menyediakan perangkat Starlink, ribuan orang terlihat mengantre di depan kantor kabupaten pada Minggu, 30 November 2025, malam untuk menghubungi keluarga atau mengisi daya ponsel.
“Sudah lima hari tanpa sinyal. Kami menunggu sejak kemarin kalau-kalau jaringan kembali. Saya berencana menghubungi ibu saya di Banda Aceh, tapi sampai sekarang masih belum bisa,” kata seorang warga bernama Mar.