Duka Korban Robohnya Crane Masjidil Haram

Reporter : Ahmad Baiquni
Rabu, 7 Oktober 2015 18:29
Duka Korban Robohnya Crane Masjidil Haram
Almarhum dikenang anak dan tetangganya sebagai wanita saleh. Kematiannya begitu mendadak dan tak terduga.

Dream - Nyeri itu nyaris tak terlihat di rumah di Jalan Nyampai Nomor 45, Desa Cibogo, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Rumah itu terlihat begitu asri. Suasana sejuk begitu terasa lantaran rumah itu dikelilingi kawasan perkebunan sayur di lereng gunung Tangkuban Perahu.

Lokasi rumah ini cukup jauh dari pusat kota Bandung. Sekitar 30 kilometer ke arah Barat. Karena macet, waktu yang dibutuhkan dari Bandung ke Lembang bisa mencapai satu jam lebih. Sekitar 100 meter menjelang rumah itu, masih harus ditempuh melalui hamparan jalan batu.

Di rumah inilah Iti Rasmi Damini, 55 tahun, menetap. Dia adalah salah satu jemaah haji asal Indonesia pada musim haji 1436 Hijriah atau 2015 Masehi. Tetapi, dia tidak seberuntung jemaah haji lainnya. Iti harus dipanggil Allah SWT terlebih dulu dalam insiden robohnya derek raskasa (crane) di Masjidil Haram pada Jumat, 11 September 2015.

Minggu siang pekan lalu itu, rumah berwarna hijau muda tersebut tampak sepi. Pagar besi setinggi 50 centimeter itu menutupi bangunan dari depan. Meski tertutup rapat, tetapi tidak terkunci.

Setelah beberapa saat menunggu usai mengucap salam, seorang pria muda kemudian membukakan pintu. Dia mempersilakan masuk untuk bercakap. Tidak ada tanda-tanda kesibukan di rumah itu. Hari saat Dream berkunjung memang sudah lewat tiga pekan setelah musibah jatuhnya crane itu terjadi.

Kabar meninggalnya Iti cepat tersebar melalui media massa beberapa saat usai insiden di Masjidil Haram terjadi. Sebuah crane raksasa milik perusahaan properti Bin Ladin Group rubuh akibat terpaan badai sangat kencang disertai hujan begitu lebat.

Iti, sapaan wanita itu, bersama ratusan jemaah haji lain kala itu tengah menjalankan salat Maghrib. Posisinya tepat segaris dengan crane. Sehingga, ketika alat berat itu roboh, lengan besi crane langsung mengenai jemaah di bawah. Sehingga mereka meninggal seketika. Sebagian lainnya jemaah yang selamat mengalami luka parah.

Begitu kabar tersebar, nama Iti menjadi begitu terkenal. Hampir sebagian besar masyarakat Desa Cibogo mengenal Iti.

“ Kejadiannya hari Jumat. Keesokan harinya, ada perwakilan dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) jam 06.00 WIB datang ke rumah, ketok-ketok pintu. Mereka kasih tahu ibu sudah meninggal,” ujar pria bernama Arbani Sadiq, 31 tahun.

Arbani merupakan putra kedua Iti bersama suami, Darmanto. Selain Arbani, Iti memiliki putri sulung dan bungsu seorang putra.

Arbani mengatakan, pihak keluarga langsung menggelar prosesi tahlilan setelah mendapat kabar kematian itu. Tahlilal dilakukan hingga tujuh hari.

“ Nanti ada tahlilan lagi saat 40 hari ibu meninggal,” kata Arbani.

***


1 dari 2 halaman

Berhaji Tanpa Mau Membebani Anak-anak

Berhaji Tanpa Mau Membebani Anak-anak © Dream

Berhaji Tanpa Mau Membebani Anak-anak

Di mata anak-anaknya, Iti merupakan sosok ibu yang begitu mengayomi. Iti memang hanya seorangi ibu rumah tangga. Hal itu memungkinkan Iti untuk bisa lebih dekat ke anak-anaknya dan fokus mengurusi rumah.

“ Kalau ke keluarga dia selalu mengayomi. Dia selalu menjadi panutan keluarga. Untuk urusan  mendidik agama, biasanya ibu,” ujar Arbani yang merupakan tenaga honorer di sebuah instansi pemerintahan.

Saat masih hidup, terang Arbani, Iti kerap membantu suaminya berkebun benih sayuran. Ini lantaran Darmanto merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Pertanian, yang kerap bergerak di bidang pembibitan tanaman. Usaha tersebut dijalani Iti bersama suaminya sebagai sampingan. Sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidup setelah suaminya pensiun.

Arbani mengaku tidak tahu dari mana kedua orangtuanya bisa mendapatkan biaya untuk menjalankan ibadah haji. Dia hanya tahu, ayah ibunya mendadak menyatakan ingin pergi haji bersama. 

“ Tiba-tiba mereka ngomong ke anak-anak mau daftar berangkat ke haji. Mereka tidak bilang dapat uangnya dari mana. Mereka mengumpulkan uang mungkin sudah lama. Ya, namanya juga pegawai negeri. Kan tahu sendiri, tidak mungkin kalau langsung dapat uang besar,” kata Arbani.

Keinginan berhaji orang tuanya itu terwujud tahun ini. Arbani menjelaskan, keduanya berangkat haji tanpa sedikitpun membebankan pembiayaan kepada anak-anaknya. Pun soal keinginan berhaji, mereka sampaikan kepada anak-anaknya ketika mereka sudah memiliki cukup tabungan.

“ Mereka baru bilang ketika sudah daftar berangkat ke haji. Sebelumnya mereka tidak pernah bilang apa-apa soal berangkat naik haji. Tapi mungkin pas 2011 itu ada rezeki jadi mereka baru bilang ke anak-anak mau berangkat ke haji,” kenang dia.

Selain sebagai ibu rumah tangga, Arbani mengenal sosok ibunya sebagai wanita yang tidak pernah absen dalam kegiatan keagamaan. Iti kerap mengikuti pengajian warga kampung. Kegiatan itu dilakukan Iti sejak masih muda. Bahkan semakin intens setelah semua anaknya telah selesai sekolah.

“ Selalu sama ibu-ibu pengajian. Karena anak-anaknya sudah pada bekerja semua, sudah dewasa semua. Hampir setiap hari itu selalu ada saja kegiatan. Dalam seminggu itu paling liburnya hanya dua hari saja. Pokoknya kegiatan ibu selalu diisi dengan kegiatan keagamaan.  Kalau tidak ada kegiatan lain ibu pasti selalu berangkat ke pengajian,” kenang Arbani.

Pengajian itu kerap berlangsung di masjid. Kebetulan, jarak rumah Iti dengan masjid tidak terlalu jauh. Itu memungkinkan wanita tersebut selalu melibatkan diri dalam pengajian.

Tatkala hari meninggalnya sang ibu, Arbani mengaku tidak memiliki firasat apapun. Bahkan, kabar tersebut baru didapat beberapa jam setelah kejadian dari perwakilan KBIH.

“ Waktu itu juga pas bersamaan saat perwakilan KBIH memberi kabar dengan bapak nelpon ke sini, mengabarkan bahwa ibu meninggal di sana. Bapak langsung menelpon. Awanya satu kali tidak keangkat teleponnya.” 

“ Kemudian bapak menelpon lagi dan mengabarkan ibu meninggal. Waktu nelpon, bapak cerita di Arab, sekitar pukul 02.00 dini hari di sini. Pagi-pagi jam 06.00 WIB saya terima kabar itu. Waktu itu kata bapak kejadian yang menimpa ibu itu sekitar Maghrib,” ungkap dia.

Arbani mendapat informasi, ibunya beserta jemaah haji lainnya rutin salat di Masjidil Haram sejak Ashar hingga Isya. Ini menjadi kebiasaan rutin ibunya sejak berada di Madinah. Iti baru akan kembali ke pemondokan haji usai salat Isya.

“ Saya tidak ada firasat apa-apa. Tahunya baru pas perwakilan dari KBIH saja datang ke sini. Tapi adik saya sempat SMA saya ada ketika kejadian itu. Saya juga tidak menyangka ibu saya ikut jadi korban,” ungkap dia.

***


2 dari 2 halaman

Sosok Santun dan Religius

Sosok Santun dan Religius © Dream

Sosok Santun dan Religius

Iti merupakan sosok yang begitu hangat di mata rekan-rekannya. Dia dikenal sebagai pribadi yang santun. Tidak pernah sekalipun baik perkataan maupun perbuatan Iti yang sampai menimbulkan kebencian di mata para sahabatnya.

Yayah, 55 tahun, mengerti benar bagaimana sosok Iti. Dia cukup paham kebiasaan yang kerap dilakukan Iti.

“ Iti itu baik banget. Tidak pernah bikin kecewa kepada orang lain. Ibu Iti tidak pernah bikin sakit hati orang lain. Orangnya supel sangat baik,” kata Yayah.

Yayah merupakan sahabat yang tinggal tidak jauh dari rumah Iti. Menurut Yayah, Iti selalu menghabiskan waktu dengan pergi ke pengajian, berpindah dari satu masjid ke masjid lain. Hal itu menjadikan Iti sebagai sumber rujukan bagi sahabat di lingkungan pengajian ketika hendak bertanya mengenai persoalan agama.

Kabar meninggalnya Iti di Tanah Suci membuat Yayah merasa begitu kehilangan. Sebab, dia merasa begitu dekat dengan sosok Iti. “ Ya saya kehilangan kebaikannya... Ibu Iti itu baik ke anak saya, ke cucu saya juga,” ungkap dia.

Yayah masih ingat peristiwa tatkala mereka tengah bercengkerama bersama, sekitar dua bulan sebelum keberangkatan Iti ke Tanah Suci. Dia mengenang kala itu mereka terlibat pembicaraan mengenai tetangga mereka yang meninggal dan dimakamkan di Jerman. Kala itu, Iti sempat berkata kepada Yayah, meninggal di manapun tempatnya bukanlah sebuah masalah.

“ ‘Eh kalau meninggal mah di mana saja boleh. Itu mah kan jenazah. Masalah meninggal di mana tidak menjamin masuk surga. Yang menjamin masuk surga itu amal kita dan doa anak saleh’, gitu kata ibu Iti sebelum berangkat ke Tanah Suci,” kenang Yayah.

Ada satu kejadian yang bagi Yayah merupakan sebuah pertanda. Dia ingat betul, kala itu Iti datang ke rumahnya di malam hari. Itu di luar kebiasaan Iti, yang lazimnya selalu berkunjung di siang hari.

Di pertemuan itu, Yayah mengatakan sahabatnya itu sempat berkata tidak percaya bisa berangkat ke Tanah Suci. Perbincangan itu tepat sehari sebelum keberangkatan.

“ Sebelumnya tidak pernah seperti itu. Cuma malam itu saja dia ngobrol sama saya. Tapi pas itu tidak ada perasaan atau firasat apa-apa,” terang dia.

Akhirnya  di Tanah Suci Iti kembali ke Allah SWT. Tertimpa musibah ketika menghabiskan waktu untuk salat di Masjidil Haram.  Sejak Asyhar sampai Isya. Maka, tak heran, nyeri itu nyaris tak terlihat… (eh)

Beri Komentar