Dream - Sejak 1944, negara-negara di dunia mendaulat dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang yang layak dipercaya untuk melakukan transaksi internasional. Kesepakatan tersebut muncul lantaran usai Perang Dunia II, negeri Paman Sam itu merupakan negara dengan cadangan emas terbanyak di dunia.
Jika dikalkulasi, jumlahnya lebih dari setengah cadangan emas dunia. Untuk menjamin kepercayaan tersebut, AS pun membuat klaim bahwa setiap US$ 35 dapat dijamin dengan 1 ons emas. Sehingga negara-negara di dunia ramai-ramai mengumpulkan dolar AS sebagai simpanan.
Menurut Direktur Bisnis Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah, Imam Teguh Saptono, AS kemudian terus melipatgandakan jumlah dolar yang beredar tanpa ada jaminan emas yang dijanjikan.
Hal ini terus dilakukan sehingga negara tersebut dapat menimbun kekayaan dalam jumlah yang amat besar tanpa ada kegiatan riil ekonomi yang menjadi landasan.
Namun, sebelum banyak negara pengguna dolar menyadari kecurangan tersebut, pada 1971 AS membatalkan klaim bahwa setiap dolar memiliki jaminan emas yang dapat ditukar. Keputusan ini membuat geger beberapa negara yang kegiatan ekspornya sedang pada titik puncak seperti Jepang.
Imam menjelaskan, kala itu Jepang sedang ada di puncak produksi dan ekspor kendaraan bermotor yang transaksinya menggunakan dolar AS. Jika kepercayaan masyarakat dunia terhadap mata uang AS itu hilang, Jepang pun akan kena dampak, produk kendaraan bermotornya akan menumpuk tanpa ada yang membeli.
“ Oleh karena itu, Jepang memiliki kepentingan untuk mengumpulkan dolar di seluruh dunia, dengan cara membeli berbagai surat utang. Mereka ingin mengurangi suplai dolar agar nilainya tidak turun,” kata Imam di Jakarta, Senin 21 September 2015.
Maka tidak heran jika sampai saat ini, Jepang dan Tiongkok merupakan negara yang menyimpan dolar terbanyak di dunia. Selama puluhan bahkan ratusan tahun, kata Imam, sistem ekonomi tersebut berjalan. Mata uang menjadi komoditas bukan lagi alat tukar.
Di tengah situasi seperti ini, Imam menegaskan pentingnya masyarakat dunia untuk menggunakan sistem ekonomi syariah. Sebab dalam sistem ekonomi Islam ini, peredaran mata uang harus jelas landasannya.
“ Jadi keberadaan uang itu harus dijamin dengan adanya transaksi, kemudian transaksi dijamin dengan adanya perdagangan, perdagangan dijamin dengan adanya produksi serta produksi dijamin dengan adanya permintaan,” terang Imam.
Dengan demikian, peredaran mata uang jelas didasarkan pada kegiatan riil. Sehingga tidak ada segelintir pihak yang mendapat keuntungan berlipat ganda tanpa adanya kegiatan yang ia lakukan. Posisi mata uang pun kembali hanya sebagai alat tukar, bukan komoditas yang diperjualbelikan.
Jika sistem ekonomi syariah tidak dilakukan, ujar Imam, pelipatgandaan mata uang yang menguntungkan segelintir pihak akan terus terjadi. Menguatnya dolar AS pun akan berdampak pada pelemahan mata uang-mata uang lain di dunia, yang menyebabkan negara yang terkait menjadi semakin miskin.
“ Kalau mata uang masih menjadi komoditi, kiamat itu tidak akan terjadi karena tabrakan meteor, tapi karena meladaknya mata uang,” pungkas Imam. (Ism)
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN