`Dai Lahir dari Permintaan Masyarakat`

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 30 Maret 2017 20:10
`Dai Lahir dari Permintaan Masyarakat`
Pendakwah lahirr dari masyarakat. Suara yang disampaikan adalah respon keadaan masyarakat.

Dream – " Intinya adalah bagaimana ada pedoman bersama berceramah di rumah-rumah ibadah." Kalimat itu meluncur dari mulut Lukman Hakim Syaifuddin. Sang Menteri Agama.

Lukman yang sedari tadi bergegas dari acara di Balai Kartini Jakarta sampai harus menghentikan langkahnya. Berbicara di depan para jurnalis yang mencegatnya. Kabar itu memang sedang jadi sorotan di sepertiga akhir Maret 2017.

Sang menteri memang tak asal bicara. Dia sudah berpikir matang. Ada keresahan terhadap ceramah-ceramah di rumah ibadah.

Sontak usul Sang Menteri jadi perhatian. Apalagi muncul berselang beberapa bulan dari wacana sertifikasi khatib yang sempat memantik protes.

Ada yang sepakat, namun tidak sedikit yang menentang. Dengar saja ucapan tokoh ulama, Din Syamsuddin. Dengan keras dia meminta pemerintah tak perlu mengatur urusan dakwah. Pedoman dakwah, tabligh, ceramah keagamaan merupakan Alquran dan hadis.

Soal kebijakan pedoman ceramah memang bukan hanya jadi polemik di Indonesia. Beberapa Negara, sudah pernah mengalaminya. Bahkan ada yang sudah melakukannya.

Tengok saja Malaysia. Isi khutbah sholat jumat disediakan oleh otoritas yang ditunjuk. Tujuannya agar isi ceramah yang disampaikan sama. Cara serupa dilakukan di Bangladesh lain. Saban Jumat 300 ribu masjid menerima tulisan khutbah. Dan di Negeri Ratu Elizabeth, khutbah diminta disampaikan dalam bahasa Inggris.

Sebagian besar Negara ini memang sengaja membuat penyeragaman khutbah. Alasannya satu. Mereka cemas akan muncul khutbah berisi kebencian. Akhirnya melahirkan kelompok-kelompok radikal. Tapi setiap Negara punya masalah yang berbeda-beda. Tak bisa dipukul rata.

Lantas bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai wacana itu? Apakah pedoman ceramah kebebasan penceramah menyampaikan dakwah jadi terbatas? Berikut wawancara jurnalis Dream, Ahmad Baiquni, dengan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis melalui pesan WhatsApp awal pekan ini:


Kementerian Agama berencana membuat pedoman ceramah di tempat ibadah. Bagaimana Anda memandang rencana ini?

Pedoman ceramah di rumah ibadah itu bagian dari peningkatan kualitas da’i kita. Sehingga para da’i bisa menyampaikan yang lebih efektif, efisien, dan sesuai dengan koridor kebangsaan dan keagamaan kita.

Saya tidak berharap pedoman itu membatasi kreativitas, kebebasan untuk menyampaikan ajaran, kebebasan berbicara. Oleh karena itu, prinsip pedoman sebenarnya setelah sebelumnya ada ide sertifikasi dari Pak Menteri. Nah, sertifikasi itu saya sampaikan tidak realistis. Yang bisa dilakukan adalah pedoman yang bisa ditaati.

MUI itu sudah ada pedoman da’i. Bahkan di dalamnya juga tercantum tentang bagaimana materi dakwah yang baik, bagaimana etika da’i, bahkan ada dewan etik ketika ada da’i-da’i yang dianggap tidak sesuai dengan akhlak sebagai da’i

Bagaimana pendapat Anda tentang alasan lahirnya usul pedoman ceramah ini?

Sebenarnya berkenaan dengan isi ceramah yang kadang dianggap kontra atau tak sepakat dengan ideologi negara, kita bisa melakukan identifikasi untuk memastikan dugaan itu. Dan yang lebih penting adalah pemerintah memberi pembinaan sebelum melakukan penindakan.

Yang kedua, tentunya rambu-rambu itu tidak bisa hanya didasarkan pada penegakan hukum tanpa ada pembinaan. Perlu disampaikan, menilai benar dan tidaknya sebuah ajaran yang disampaikan, itu kembali kepada majelis agama masing-masing. Ini bukan hanya satu agama. Agama apapun yang hidup di Indonesia harus mentaati kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara.

Ada keresahan akibat muatan ceramah. Apakah Anda melihat hal ini sudah begitu mengkhawatirkan?

Harus ada kebesaran jiwa ya, antara ceramah-ceramah yang dianggap menyebarkan kebencian dengan hakikat yang terjadi dalam penegakan keadilan. Jadi, tidak semata-mata kepada penceramah. Tetapi, pemerintah bisa mengoreksi mengapa ada ceramah-ceramah yang dianggap bertentangan dengan kebijakan Negara.

Kalau bertentangan dengan ideologi negara, apalagi menentang Pancasila, kami setuju ditindak tegas, karena itu kesepakatan kita. Tapi ketika mengkritisi negara dianggap melawan Pancasila, dianggap memecah belah, ini perlu kita lihat dengan seksama.

Seperti apa muatan ceramah yang ideal?

Yang jelas ceramah itu menyampaikan kebaikan, menyampaikan ajaran Islam, yang kadang-kadang isinya memang kritik terhadap kebijakan atau keburukan yang ada di sekitarnya. Sehingga tidak mungkin isi ceramah itu akan menyebarkan kebencian, kalau dia mengerti tentang Islam.

Oleh karena itu perlu juga pembinaan. Kemudian, perlu instropeksi, kira-kira ini dalam kritik yang membangun atau memang sengaja bertentangan dengan ideologi Negara.

MUI selama ini punya panduan untuk para penceramah?

MUI telah membuat pedoman dakwah, bagaimana cara berdakwah yang baik, ini metodenya. Lalu medianya, media dakwah yang efektif seperti apa. Kita juga menyampaikan tentang materi dakwah yang baik.

Juga, etika da’inya, orang yang berdakwah. Jangan menyinggung hal-hal yang menjadi perbedaan di masyarakat, yang sifatnya memang khilafiyah.

Kita juga menyampaikan jangan sampai menyebarkan kebencian. Jangan bertentangan dengan ideologi kita, Pancasila. Karena kita sepakat Pancasila itu bukan agama, tapi juga bukan berarti anti-agama. Sehingga, ber-Pancasila itu adalah sarana bagaimana menyatukan pikiran-pikiran Islam yang tidak ada di Indonesia.

Nah, pedoman dakwah yang berisi tentang materi, etika, metode, dan media, itu kita sosialisasikan dengan membuat ToT (Training of Trainer), dengan memberi pelatihan, bahkan nanti kita berlakukan da’i bersertifikat agar punya kualifikasi.

Sebenarnya siapa berwenang membuat pedoman ceramah?

Yang berhak membuat pedoman itu ya, majelis agama-agama. Karena yang mengerti tentang isi keagamaan ialah majelis agama. Sementara Pemerintah atau Kementerian Agama itu hanyalah memfasilitasi saja. Karena urusan benar dan tidak dalam pedoman berdakwah itu sepenuhnya ada pada majelis agama. Pemerintah memfasilitasi, atau sebatas koordinasi.

Andai pedoman ceramah itu diterapkan, apakah itu bentuk intervensi negara terhadap kehidupan beragama?

Kalau sampai masuk pada materi dakwah, menilai benar tidaknya dakwah, itu sudah jelas intervensi negara yang tidak pada kewenangannya. Negara atau pemerintah dalam hal ini fungsinya adalah koordinatif saja dengan majelis-majelis agama.

Saya berharap ini tidak hanya untuk kalangan Muslim, meskipun Indonesia memang mayoritas Muslim. Tapi juga pada agama-agama lain. Karena radikalisme, kadang-kadang juga penolakan terhadap ideologi negara bisa muncul dari agama apapun. Yang patut lebih jeli adalah apakah motifnya karena agama atau karena respon terhadap ketidakadilan.

Apakah pedoman ceramah juga ada di negara lain atau hanya di Indonesia?

Ya, pastilah dalam kekuasaan-kekuasaan itu ada pedoman berbangsa dan bernegara. Yang saat ini masih berlaku seperti di Malaysia, di Brunei Darussalam, itu da’i diatur oleh Negara, bahkan digaji oleh Negara. Sehingga, Negara bisa mengaturnya.

Nah, di Indonesia da’inya jadi dengan sendirinya. Da’inya berdasarkan permintaan masyarakat. Maka, Pemerintah tidak punya pengaruh kepada para da’i. Karena da’inya bukan pegawai Pemerintah. Kalau itu berbasis masjid, berapa sih masjid yang dibangun oleh Pemerintah? Kan mayoritas adalah swadaya masyarakat.

Oleh karena itu, peran Pemerintah yang mau memaksimalkan (pada da’i) itu tidak lepas dari bantuan Pemerintah terhadap para da’i. Da’i yang sifatnya lepas tidak pernah dibantu oleh pemerintah. Jadi peningkatan SDM-nya itu bukan karena peran Pemerintah.

Soal ulama disertifikasi seperti wacana sebelumnya, apa masih relevan?

Ulama itu yang mensertifikasi, bukannya yang disertifikasi. Karena proses menjadi ulama itu dari bawah, tidak sekali jadi. Jadi ulama itu, ada dua hal yang sekaligus melekat pada dirinya, berilmu tinggi dan banyak beramal baik. Nah, ini mau disertifikasi apa? Gitu lho. Jadi, sertifikasinya adalah kepercayaan publik dan peran nyata di masyarakat melalui ilmu dan amalnya.

Apakah pedoman dan sertifikasi ini benar-benar efektif membuat ceramah lebih baik?

Sebenarnya sertifikasi itu lebih pada soal jaminan kehidupan. Makanya saya tidak yakin kalau sertifikasi dengan pemberian honor atau pemberian insentif.

Lha, kalau pemerintah tidak memberikan insentif, pemerintah tidak memberikan fasilitasi untuk pengembangan SDM, lalu memberikan pedoman dan barangkali bisa diberikan sanksi, itu kan tidak adil. Sementara pengajaran-pengajaran itu selain berdasarkan niat menyampaikan beragama yang baik, juga merespon kehidupan sekitar yang kurang adil, yang kurang baik. Sehingga ceramah maupun program da’i itu berbasis kebutuhan lingkungan dan masyarakat sekitar. Sehingga yang disampaikan adalah kebutuhan masyarakat sendiri.

Jika memang perlu ada pedoman, bagaimana caranya mengawasi ceramah?

Ceramah itu sebenarnya tidak perlu diawasi. Cukup diserahkan pada selera masyarakat. Masyarakat selera tidak atau dia mendapat respon tidak, pengakuan dari masyarakat apa tidak. Sebenarnya itu cara mengukurnya.

Nah, kalau diukur dengan cara ujian kan tidak mungkin. Karena memang yang diinginkan adalah kiprahnya di publik itu.

Pengawasan itu cukup dilihat dari respon publik saja. Respon publik merasa dilukai, merasa kurang enak, dia bisa lapor (MUI) dan dibentuklah dewan etik yang melibatkan orang-orang terpercaya.

Apa harapan Anda kepada para penceramah dan muatan yang disampaikan?

Penceramah itu adalah cermin dari tugas menyampaikan kebenaran seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, saya berharap para da’i itu selain berbekal materi yang banyak juga mampu menggunakan media semaksimal dan seefektif mungkin dan kehidupannya menjadi teladan.

Jadi jika mengucapkan kebaikan itu, dia telah mengerjakannya. Demikian juga menyampaikan keburukan, dia telah menjauhinya. Sehingga apa yang disampaikan itu adalah bagian dari cermin perilakunya dan lebih bisa meresap kepada para pendengarnya. (Laporan: Ahmad Baiquni)

Beri Komentar