Menunggu Takdir ke Tanah Suci

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 19 Januari 2017 20:35
Menunggu Takdir ke Tanah Suci
Jutaan Muslim Tanah Air mengantre untuk bisa berhaji ke Tanah Suci.

Dream – Pagi itu hati Maskun berbunga-bunga. Wajah sumringah. Senyum terus merekah. Bahagia. Di benak terus membayang, mimpi terakhir dalam hidup yang bertahun-tahun dipendam segera menjelma nyata.

Berlembar-lembar dokumen dibundel. Semua rapi. Dimasukkan ke dalam map berkelir pink. Berkas-berkas itulah yang dia harap mengantarkan ke Tanah Suci. Hari itu, lelaki kurus ini hendak mendaftar sebagai calon jemaah haji.

Tapi Maskun mendadak diam. Senyumnya terkulum. Dia sadar, sudah tak muda lagi. Untung, kelebat sang istri memulihkan rasa percaya diri. “ Saya sampaikan ke istri semoga masih dikasih umur ke Tanah Suci,” kenang Maskun.

Maskun risau. Kala itu usianya sudah di enam puluhan ujung. Semua pasti mahfum, antrean haji di Indonesia bukan hanya satu dua tahun. Bahkan sampai hitungan dasawarsa. Mau berangkat usia berapa dengan daftar tunggu selama itu?

Meski begitu hati Maskun masih mengembang. Di Desa Branggahan itu dia membulatkan tekad, harus mendaftar haji hari itu juga. Dan pagi hari, pada Mei lima tahun silam, dia berangkat ke kantor Kementerian Agama Kabupaten Kediri.

Motor bebek hitam pun menderu. Maskun di belakang. Dibonceng sang istri, Wasilatur Rofiah alias Wiwik, yang masih lebih tangkas mengendalikan setir. Lima menit menyusuri jalan aspal, mereka tiba di kantor itu. Siap mendaftar.

Semua berkas dalam map dibongkar. Semua lengkap, tapi hanya sati dari mereka yang mendaftar. Petugas pencatat pun bertanya, mengapa hanya Maskun yang daftar. Melihat Maskun sudah lanjut, Wiwik disarankan ikut mendaftar.

“ Bapak harus didampingi,” tutur Wiwik saat berbincang dengan Dream. Dan perempuan yang kala itu berusia lebih setengah abad ini menuruti saran petugas pendaftaran haji.

Mereka resmi terdaftar sebagai calon haji tahun 2012 itu. Tapi harus bersabar, menunggu giliran. “ Kami dapat jatah berangkat tahun 2023,” tutur Wiwik.

Sebelas tahun bukan waktu singkat. Tapi mereka masih lebih beruntung. Sebab di Sidrap, Sulawesi Selatan, sana, saudara-saudara Muslimnya ada yang harus menunggu hingga 32 tahun untuk mendapat giliran berangkat.

“ Masalah bisa berangkat, hanya Allah yang tahu. Yang penting, kami sudah niat ingin haji,” ujar Wiwik.

***
Niat berhaji Maskun memang sudah lama. Sejak masih remaja. Tapi baru mendaftar saat usia senja. Sebab biaya untuk menunaikan Rukun Islam ke lima ini tak sedikit. Butuh puluhan juta.

Gaji sebagai guru agama harus dibagi untuk makan dan sekolah ketiga anak. Jika masih ada sisa, disisihkan untuk uang muka pendaftaran haji. Tabungan ada. Tapi belum cukup.

Sehingga keluarga ini harus hidup sederhana untuk memenuhi kebutuhan dan menyisihkan uang untuk dana haji dalam waktu lama. Bertahun-tahun mengencangkan ikat pingang. Hidup irit.

“ Rencana kami waktu itu, kalau anak-anak sudah lulus kuliah, barulah kami akan berhaji,” tutur Wiwik.

Untuk mewujudkan impian berhaji, Wiwik harus putar otak. Akhirnya menggeluti sejumlah usaha. Produksi telur asin, jualan baju, hingga bisnis kue kering dan katering pernah dicoba. Alhamdulillah, hasil keringat Wiwik bisa ditabung.

Namun sayang, krisis ekonomi 1997 menghempaskan impian Wiwik dan Maskun. Harga komoditas yang melangit membuat usaha mereka gulung tikar. Keluarga ini kembali bertahan dengan pendapatan seadanya. Keinginan mendaftar haji kembali harus dikekang.

Maskun tak menyerah. Saat masih aktif mengajar, tempat kerja Maskun menggelar arisan dana haji. Saban bulan wajib setor Rp250 ribu. Dia tertarik. Namun sang istri merasa iuran itu terlalu mahal bagi mereka. “ Jika dipaksa memberatkan ekonomi kami,” ujar Wiwik.

Mimpi haji kembali dipendam. Mereka pasrah. Jika sudah jadi suratan takdir, kata Wiwik, mereka akan ke Tanah Suci. “ Jika tidak, setidaknya sudah berniat ingin berhaji.”

***
Harapan berhaji kembali membuncah tahun 2011. Ketiga anak mendorong Maskun dan Wiwik, meminta keduanya segera daftar. “ Mumpung masih sanggup,” ujar Wiwik.

Tak hanya mendorong, anak-anak mereka juga urunan untuk mencukupi uang muka pendaftaran haji. Informasi program dana talangan haji dari salah satu bank syariah swasta nasional membuat mereka semakin sumringah. Harapan kembali tebal.

“ Waktu itu harus bayar Rp25 juta perorang, jadinya Rp50 juta. Itu untuk biaya pemesanan kursi antrean saja,” kata Wiwik. Kini, lima tahun sudah mereka menungu. Sesuai urut kacang, mereka baru bisa terbang berhaji enam tahun lagi.

Maskun dan Wiwik juga mendengar kabar pengembalian kuota haji Indonesia dari 168.800 menjadi 211.000 dan ditambah 10.000. Wiwik percaya antrean bisa dipangkas menjadi lebih singkat dengan kuota baru itu.

Tapi mereka tak terlalu gembira. Sebab, masing-masing masih harus membayar Rp15 juta untuk akomodasi. Uang itu harus dibayarkan sebagai pelunasan saat Maskun dan Wiwik akan berangkat haji nanti. “ Jadi tak ada pengaruhnya daftar antrean jadi singkat,” kata Wiwik.

Kini, mereka hanya berharap bisa melunasi biaya haji. Sehingga bisa berangkat ke Tanah Suci dengan tenang. “ Saya berharap antrean suami saya bisa dimajukan, mengingat usianya sudah sangat tua,” harap Wiwik.

Maskun, Wiwik, dan jutaan calon jemaah haji Tanah Air memang harus bersabar. Penantian dan keyakinan mereka untuk berhaji ke Tanah Suci tak pernah lekang dengan antrean berdasawarsa itu. Semoga mimpi mereka terkabul. Amin....

Beri Komentar