Pahlawan 'Tak Bermakam'

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 10 November 2016 20:16
Pahlawan 'Tak Bermakam'
Sila pertama Pancasila adalah buah kegigihan pria yang terlahir dari keluarga santri ini. Ki Bagus Hadikusumo yang membuat Bung Karno menangis dan Bung Hatta segan.

Dream - Bung Karno melangkah gagah menuju mimbar. Kala itu, tarikh merujuk angka 1 Juni 1945. Dengan setelan jas, kopiah hitam di kepala, Sang Singa Podium sudah bersiap di depan mikropon.  
 
Suara lantangnya gelegar. Ia mengutarakan pikirannya mengenai dasar negara.
Disaksikan puluhan orang anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
 
Lima butir kalimat terucap dari mulut Putra Sang Fajar, yang menjadi embrio lahirnya Pancasila. Tapi, rumusan itu menempatkan konsep ketuhanan di urutan terakhir.
 
Belum selesai Bung Karno berpidato, seorang pria mengenakan blangkon berdiri. Tak kalah lantang, dia menyela ucapan pria yang kelak dijuluki Bapak Pendiri Bangsa itu. Secara tegas, dia menolak konsepsi Bung Karno. Hingga muncullah perdebatan alot antara Bung Karno dengan pria berblangkon itu. 
 
Debat mereka berlangsung panjang, bahkan hingga sidang dinyatakan selesai. Pria itu terus saja meributkan konsep yang diusung Bung Karno. Bagi dia, konsep ketuhanan harus menjadi yang pertama dan utama dalam bangunan kenegaraan bangsa, bernama Indonesia. 
 
Saking kerasnya, Bung Karno sampai menangis menghadapi kegigihan pria itu. Pada akhirnya, pandangan pria itu disepakati sebagai sila pertama dalam naskah yang dinamai Piagam Jakarta itu. 
 
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada sore hari, 17 Agustus 1945, salah satu Proklamator, Bung Hatta, kedatangan tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). 
 
Kepada Bung Hatta, tamu itu menyampaikan uneg-uneg warga Kristen dan Katolik yang ada di daerah kekuasaannya. Kata opsir itu, mereka keberatan dicantumkannya kalimat ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam naskah Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
 
Bung Hatta tak bisa langsung menjawab. Dia harus dulu berbicara dengan perwakilan dari golongan Muslim. Tiga orang yang ditemui Bung Hatta, dua menyatakan bersedia menerima keberatan itu, sementara satunya kukuh menolak. 
 
Keduanya berusaha membujuk satu orang itu. Usaha mereka berhasil membuat hati pria itu luluh setelah membujuk dengan ucapan dalam Bahasa Jawa halus.
 
Akhirnya, disepakatilah penghapusan kalimat dalam Piagam Jakarta itu. Dan sampai saat ini, buah pikiran pria itu menjadi dasar berdirinya bangsa ini, menjadi negara berdasarkan Pancasila, dengan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
 
Ya, sila pertama itu adalah buah kegigihan pria yang membuat Bung Karno menangis dan Bung Hatta segan. Dia adalah Ki Bagus Hadikusumo, sang ulama pejuang kemerdekaan, dan salah satu pemimpin Persyarikatan Islam Muhammadiyah.
 
***
 
 

1 dari 2 halaman

Negarawan Pendakwah

Negarawan Pendakwah © Dream

Ki Bagus terlahir dari keluarga santri. Sang ayah, Raden Haji Lurah Hasyim, merupakan seorang abdi dalem putihan agama Islam Kraton Yogyakarta. Sejak kecil, dia telah dididik dalam lingkungan keluarga agamis. Selain dari kedua orangtuanya, pria dengan nama kecil R Hidayat ini mendapat asupan ilmu agama dari para kiai di sekitar Kauman.   Ki Bagus sempat merasakan bangku sekolah umum, namun hanya sampai ‘Sekolah Ongko Loro’ atau tingkat tiga sekolah dasar sekarang. Dia melanjutkan pendidikan di pesantren Wonokromo, dan mengkaji banyak kitab fikih dan tasawuf.   Karirnya di dunia dakwah begitu cemerlang. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah pada 1922. Ki Bagus pernah pula menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah pada 1926.   Dalam kongres Muhammadiyah 1937, Ki Bagus ditunjuk oleh KH Mas Mansur untuk menggantikannya memimpin persyarikatan. Ki Bagus sempat menolak lantaran merasa tidak sanggup.    Tetapi, pada 1942 Mas Mansur harus memaksa Ki Bagus menerima jabatan itu karena dia ditunjuk menjadi Pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Saat itu, situasi sedang bergejolak lantaran Perang Dunia II. Ki Bagus kemudian memegang amanah itu selama 11 tahun lamanya.   Dalam masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, Ki Bagus berani melawan kekuasaan militer Dai Nippon yang terkenal kejam. Dia menentang keras perintah militer Jepang yang mewajibkan rakyat Indonesia setiap pagi menghadap ke arah timur laut. Ini sebagai bentuk penghormatan terhadap Kaisar Jepang yang dianggap sebagai titisan Dewa Matahari.   Saat Republik berdiri, kiprah Ki Bagus tidak bisa dianggap remeh. Dia tercatat sebagai salah satu anggota konstituante. Melalui jabatan itu, dia terus memperjuangkan pemberlakuan hukum Islam di negara Indonesia.   ***    

2 dari 2 halaman

Jejak Tak Berbekas

Jejak Tak Berbekas © Dream

Cita-cita itu belum terwujud. Allah SWT menakdirkan Ki Bagus pergi mendahului para pejuang yang lain. Di usianya 64 tahun, Ki Bagus meninggal dunia.   Ki Bagus adalah sosok ulama yang sangat menghindari pengkhultusan. Meski jasanya begitu besar, dia tidak mau dianggap sebagai sosok suci. Bahkan saat meninggal, Ki Bagus tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Hanya di sebuah komplek pemakaman umum Kuncen di Kecamatan Wirobrajan, Yogyakarta.   Tidak ada penanda apapun di makam itu. Hal ini membuat kesulitan untuk menemukan di mana tepatnya letak makam Ki Bagus sebenarnya. Bahkan, banyak orang yang abai lantaran tidak ada yang tahu di mana letak makam sosok ulama satu ini. Semua terkuak saat Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional.   Buah pikiran Ki Bagus selamanya tidak akan pernah hilang dari identitas bangsa Indonesia. Jejaknya begitu besar bagi berdirinya Republik ini. Dan atas buah pikirannya lah, bangsa ini dikenal sebagai bangsa religius.

Beri Komentar