Pemerintah Keluarkan Perppu Ormas, Apa yang Berubah?

Reporter : Maulana Kautsar
Rabu, 12 Juli 2017 19:20
Pemerintah Keluarkan Perppu Ormas, Apa yang Berubah?
Tak ada lagi mekanisme pengajuan melalui sidang peradilan.

Dream - Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau Ormas. Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam Perppu itu adalah mekanisme pembubaran Ormas.

Dalam Perppu nomor 2 tahun 2017, mekanisme pembubaran ormas tertuang dalam Pasal 61 Ayat 3b, yang berbunyi, " Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia."

Sementara, dalam undang-undang sebelumnya, masalah ini terdapat pada Pasal 70 ayat 1. Berdasar pasal itu, proses pencabutan status badan hukum ormas diharuskan, " untuk diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia."

Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Wiranto, mengatakan Perppu bukan bertujuan untuk mendiskreditkan ormas Islam.

" Pemerintah mengharapkan masyarakat untuk tetap tenang dan dapat menerima perppu ini dengan pertimbangan yang jernih," kata Wiranto, sebagaimana dikutip Dream dari laman setkab.go.id, Rabu 12 Juli 2017.

Jumlah Ormas di Indonesia, kata Wiranto, telah mencapai 344.039. Mereka beraktivitas di segala bidang kehidupan, baik dalam tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Ia menekankan, ormas tersebut harus diberdayakan, didayagunakan dan dibina sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan nasional.

Namun dalam kenyataannya, lanjut dia, terdapat kegiatan-kegiatan Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa dengan telah menimbulkan konflik di masyarakat.

Perppu yang baru dikeluarkan ini, kata Wiranto, dibuat karena UU Nomor 17 Tahun 2013 tidak lagi memadai untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Menurut dia, UU itu tidak mewadahi asas hukum administrasi contrario actus, yaitu lembaga yang mengeluarkan izin adalah lembaga yang seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya.

Selain itu, Wiranto menjelaskan pengertian tentang ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dalam Undang-Undang tersebut tidak hanya sebatas pada ajaran atheisme, Marxisme dan Leninisme.

" Padahal sejarah Indonesia membuktikan bahwa ajaran-ajaran lain juga bisa menggantikan dan bertentangan dengan Pancasila," ujar mantan Ketua Umum Partai Hanura itu.

Beri Komentar