Ilustrasi (Shutterstock.com)
Dream - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan dugaan upaya eksploitasi anak pada kasus guru ngaji yang meruda paksa 12 santriwatinya di Kota Bandung. Atas temuan ini, LPSK mendorong Polda Jawa Barat menguak dugaan tersebut.
" LPSK mendorong Polda Jabar juga dapat mengungkapkan dugaan penyalahgunaan, seperti eksploitasi ekonomi serta kejelasan perihal aliran dana yang dilakukan oleh pelaku dapat diproses lebih lanjut," ujar Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar, dalam keterangan tertulis.
Temuan tersebut muncul saat persidangan perdana berlangsung pada Selasa, 7 Desember 2021. Menurut Livia, pelaku membuat pengakuan dengan menyebut anak-anak yang dilahirkan para korban sebagai anak yatim piatu.
" Fakta persidangan mengungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan para korban diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak," kata dia.
Selain itu, Livia mengungkapkan pelaku juga mengambil dana Program Indonesia Pintar (PIP) milik para korban. Bahkan dari keterangan salah satu saksi, terungkap pesantren yang dikelola pelaku mendapatkan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) namun penggunaan tidak jelas.
" Para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren," kata dia.
Atas kasus ini, LSPK memberikan perlindungan terhadap 29 orang yang 12 di antaranya masih di bawah umur. Mereka terdiri dari pelapor, korban, serta saksi.
Livia juga menyatakan pihaknya memberikan bantuan rehabilitasi psikologis bagi korban. Selain itu, memfasilitasi Penghitungan Restitusi (ganti rugi) yang berkasnya segera disampaikan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Pengadilan Negeri Bandung.
" LPSK juga memberikan bantuan layanan medis saat salah satu saksi korban menjalani proses persalinan di RS," ungkap dia.
Dream - Guru di salah satu pondok pesantren di Bandung, HW, 36 tahun, didudukkan di kursi pesakitan. Dia dituduh merudapaksa santriwatinya.
Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandung, Agus Mudjoko, mengatakan, kasus ini sudah masuk persidangan dengan agenda perdana pada Selasa, 7 Desember 2021. Menurut Agus, terdakwa melakukan perbuatannya dalam kurun waktu 2016 hingga 2021.
" Korban rata-rata mengalami trauma berat," ujar Agus.
Kepala Sie Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Dodi Gazalai Emil, menyatakan, jumlah korban berdasarkan data yang dia terima sebanyak 12 orang. Mereka adalah peserta didik di salah satu pesantren di Kota Bandung dan rata-rata berusia di bawah umur.
" Rata-rata usia 16-17 tahun," kata Dodi.
Menurut Dodi, tujuh dari 12 korban sampai hamil. Bahkan mereka melahirkan sembilan bayi.
" Yang sudah lahir itu ada sembilan bayi, kayaknya ada yang hamil berulang, tetapi saya belum memastikan," ucap dia.
Dalam lembar dakwaan, HW dijerat dengan pasal 81 ayat (1), ayat (3) juncto Pasal 76D Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dikutip dari Merdeka.com.
Kasus ini menjadi sorotan banyak pihak. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sampai buka suara, menuntut pelaku dihukum berat.
Lewat Instagramnya, Ridwan menyatakan pelaku sudah ditangkap dan diadili. Sedangkan tempat mengajar pelaku langsung ditutup begitu kasus ini pertama kali mencuat.
" Semoga pengadilan bisa menghukum seberat-beratnya dengan pasal sebanyak-banyaknya kepada pelaku yang biadab dan tidak bermoral ini," tulis Ridwan.
Para korban, terang dia, saat ini sedang dalam penanganan Tim DP3AKB Jabar. Mereka menjalani trauma healing dan disiapkan pola pendidikan baru.
" Meminta forum institusi pendidikan/forum pesantren untuk saling mengingatkan jika ada praktik-praktik pendidikan yang di luar kewajaran," tulis dia.
Selain itu, Ridwan juga meminta aparat di level desa dan kelurahan selalu memonitor setiap kegiatan publik di wilayah kewenangannya. Dia juga meminta para orangtua untuk rajin dan rutin memonitor situasi pendidikan anak-anaknya di sekolah berasrama.
" Sehingga selalu up to date terkait keseharian anak-anaknya," tulis Ridwan.
Dia berharap kejadian ini tidak terulang lagi. " Semoga keadilan bisa dihadirkan oleh pengadilan kepada kasus ini," tulis dia.
Sementara, Kementerian Agama menyatakan sejak kasus ini mencuat enam bulan lalu, pesantren yang menjadi lokasi guru bersangkutan mengajar ditutup dan dibekukan. Sampai saat ini, tempat tersebut tidak difungsikan kembali untuk kegiatan belajar mengajar.
" Sampai sekarang tidak difungsikan sebagai tempat atau sarana pendidikan," ujar Plt Kepala Biro Humas. Data, dan Informasi Kemenag, Thobib Al Asyhar.
Seluruh peserta didik di pesantrent tersebut, kata Thobib, dikembalikan ke daerah asal. Sebagian besar santri bukan berasal dari daerah dekat pesantren.
" Pendidikan mereka dilanjutkan ke madrasah atau sekolah sesuai jenjangnya yang ada di daerah masing-masing dengan difasilitasi Kasi Pontren dan Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan Kabupaten Kota Setempat," ucap dia, dikutip dari Kemenag.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Penampilan Alya Zurayya di Acara Dream Day Ramadan Fest 2023 Day 6
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Kata Ahli Gizi Soal Pentingnya Vitamin C untuk Tumbuh Kembang Anak
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR