Hidup Mati Menembus Rakhine

Reporter : Muhammad Ilman Nafi'an
Selasa, 5 September 2017 11:00
Hidup Mati Menembus Rakhine
"Kalau ketahuan, saya yang ditangkap," ucap Fikri.

Dream - Konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar, mengakibatkan etnis Rohingya kembali menderita. Pasokan makanan yang hampir tak ada, rumah hancur, mengakibatkan kondisi mereka semakin memprihatinkan.

Dunia luar yang peduli rupanya tak diberi kemudahan memberikan bantuan. Pemerintan dan militer Myanmar ingin menutupi tindak kekerasan yang telah menelan ribuan nyawa itu.

Bisa masuk ke titik konflik untuk memberi bantuan bukan berarti sebuah keberhasilan. Malahan, hal itu harus diartikan siap ditangkap militer.

" Kalau ketahuan, saya yang ditangkap atau orang yang bawa saya yang ditangkap," kata Direktur Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Tanggap Bencana, Ahmad Fikri, di Gedung Baznas, Senin 4 September 2017.

Fikri merupakan salah satu orang yang bisa sampai ke lokasi yang menjadi titik konflik, Sittwe. Dia tiba di sana pada pertengahan Ramadan 1438 H, atau sekitar pertengahan Juni lalu.

Sekitar dua pekan Fikri tinggal di kawasan Sittwe. Meski membawa misi kemanusiaan, bukan berarti dia lepas dari bahaya. Dia pun menangkap kesan langsung sesaat begitu tiba di negara yang kini dipimpin Aung San Suu Kyi itu.

" Yang pertama, setiap orang ke sana (Myanmar) itu akan mendapat sebuah kesan, negara itu negara yang miskin terbelakang," kata Fikri.

1 dari 2 halaman

Pakai Sopir Beda Agama

Pakai Sopir Beda Agama © Dream

Untuk mendistribusikan bantuan ke Sittwe, Fikri harus ditemani warga setempat. Bahkan ketika menuju titik pengungsian, dia harus punya cara jitu: menggunakan sopir lokal dan menutup jendela mobil dengan gorden.

" Kami dari wisma, sopirnya orang Buddha, pas mau mendekat ke kamp pengungsian sopirnya Muslim. Ya, mungkin orang sana strateginya seperti itu," ucap dia.

Sebelum sampai di kamp pengungsi di Sittwe, dia menggambarkan kondisi pos penjagaan tentara Myanmar yang selalu bersiaga. Pelatuk siap melontarkan timah panas. Kawat berduri dan balok kayu ditata di pos penjagaan.

" Jarak pos penjagaan ke lokasi pengungsian sekitar dua kilometer," kata Fikri. Setibanya di lokasi, dia hanya diberi waktu dua hingga tiga jam saja.

2 dari 2 halaman

Berawal dari Assalamualaikum..

Berawal dari Assalamualaikum.. © Dream

Raut wajah para pengungsi dipenuhi rasa tegang dan ketakutan. Pakaian mereka lusuh. Bahkan mayoritas anak-anak tidak mengenakan pakaian. Sementara terdapat luka akibat penyakit di kulit mereka.

Mendapat bantuan tidak seketika membuat para pengungsi antusias. Mata mereka tetap awas, memerhatikan dengan seksama apakah kedatangan Fikri dibuntuti tentara atau tidak. 

" Pas kami datang ucapkan 'Assalamu'alaikum' baru mereka sedikit tenang," ucap dia.

Kekhawatiran Fikri pada militer juga diperparah dengan kondisi alam. Sebab, waktu itu dikabarkan badai topan akan datang.

Benar saja. Sekembalinya ke wisma, Fikri tak dapat keluar. Dia terjebak badai.

" Kalau khawatirnya, takut kemalaman khawatir pulangnya kenapa-kenapa. Kedua itu badai, jadi kita mau pulang itu susah. Yang kita khawatirkan tiba-tiba genting, kita nggak bisa terbang," ucap dia.

Dalam bantuannya, Baznas memberikan kebutuhan pokok dan membangun pompa-pompa air agar para pengungsi mendapat suplai air bersih dan kebutuhan sanitasi. Selain itu, Baznas juga memberikan bantuan pendidikan untuk warga etnis Rohingya.

Beri Komentar