Allahu Akbar, Tuna Netra Pemecah Batu Ini Rawat 184 Anak Yatim

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 5 Juli 2018 12:00
Allahu Akbar, Tuna Netra Pemecah Batu Ini Rawat 184 Anak Yatim
Kehidupan Surono memang penuh keterbatasan, tetapi dia tetap bersemangat menjalani hidup.

Dream - Sudah sejak 1995 Sarono menekuni pekerjaan sebagai pemecah batu. Tapi dia bukan pekerja biasa. Sarono memecahkan batu dalam kondisi tak melihat.

Sarono seorang tuna netra. Dia tinggal di Jalan Cipinang Jaya II B, Jakarta Timur, tetap bersemangat menjalani hidup. Tapi kegigihannya bekerja mengalahkan orang-orang normal, bahkan lebih baik.

Setiap hari, Sarono menjalani profesi dengan penghasilan yang tentu tidak menentu. Tetapi, dari hasilnya memecah batu, Sarono mampu menyekolahkan anak yatim dan merawat dhuafa. Sebagian anak yang dia asuh sudah bekerja, bahkan ada yang kuliah.

Perjalanan hidup Sarono bermula pada 1994. Di tahun itu, sang istri mengalami sakit parah dan harus menjalani operasi setahun kemudian.

Operasi tersebut membuat istrinya tidak bisa memiliki anak. Meski begitu, Sarono menerima kondisi yang dia alami.

Untuk menyambung hidup, Sarono pernah berjualan telur asin. Di awal usaha, dagangannya laris. Lambat laun, telur asin yang dia jual sepi peminat.

Dia lalu berjualan pisang. Sayangnya, usaha tersebut juga tidak memberikan hasil yang cukup.

Sarono memutuskan menjadi pemecah batu berangkat dari pengalamannya saat pulang dengan dagangan pisang yang tidak laku. Di perjalanan, Sarono tersandung batu. Kakinya berdarah. Dia lalu mengucap doa.

" Ya Allah, terima kasih ya Allah, semoga engkau memberikan rezeki dari sini. Mudah-mudahan dari darah kotor ini keluar, mengurangi dosa saya," ucap Sarono, dikutip dari Liputan6.com, Kamis 5 Juli 2018.

Sarono memecahkan batu menggunakan palu hingga menjadi butiran kasar. Butiran tersebut kemudian diayak hingga menghasilkan pasir. Sarono kemudian menjual pasir tersebut.

Pria paruh baya ini bekerja dua kali sehari pukul 07.00-11.00 WIB dan pukul 16.00-17.30 WIB. Di sela dua waktu itu, Surono beristirahat untuk sholat dan makan di rumah.

Awal mula Surono mengasuh anak yatim terjadi pada 2003. Kala itu, dia berkenalan dengan dua anak yatim yang kemudian dia asuh.

Tiap tahun, anak asuhnya bertambah. Surono mengaku tidak pernah merasa kesulitan merawat mereka, meski kini jumlah anak asuhnya mencapai 184 orang. Banyak donatur yang datang memberikan derma.

Bagi Surono, anak yatim merupakan amanah yang harus dijalankan. Rasa syukurnya tidak pernah berhenti, meski dalam kondisi penuh keterbatasan, dia tetap bisa membesarkan banyak anak.

Sebenarnya, tempat tinggal Surono tidaklah luas. Hanya seukuran 10x3 meter. Tentu saja, tempat itu tidak bisa menampung seluruh anak asuhnya. Sebagian dari mereka tinggal bersama orangtuanya bagi yang masih memiliki orangtua.

Anak-anak yatim itu sering datang untuk main di rumah Surono. Di rumah itu, ada pula kaum dhuafa yang dirawat Surono dan istrinya.

" Dhuafa ini kan orangnya susah, ada bapaknya, tapi enggak diurusin.

Merawat anak asuh yang jumlahnya sudah banyak tentu butuh biaya besar. Tetapi, Surono mengaku sama sekali tidak pernah meminta bantuan donatur. Dia justru banyak dicari donatur yang ingin menyalurkan derma.

Kini, sebagian anak asuhnya sudah bekerja dan tinggal sendiri. Bahkan ada yang kuliah.

" Ada yang udah kuliah sana di Pasar Rebo, ada juga yang udah kerja di Tip Top (supermarket), gajinya dia Rp1,7 (juta) alhamdulillah, karena dia udah punya duit sendiri," kata Surono.

Meski penuh keterbatasan, Surono bisa berbangga karena mampu merawat dan membesarkan anak asuhnya. Dia hanya berharap anak-anak asuhnya menjadi sholeh.

Sumber: Liputan6.com/Devira Prastiwi

Beri Komentar