Anak Mengamuk/ Foto: Shutterstock
Dream - Rasa kesal, marah, dan sedih yang dialami anak-anak, bagi orang dewasa seringkali dianggap hal sepele. Kita terbiasa mendengar orangtua yang langsung merespons anak dengan " ayo berhenti menangis" , " sana masuk kamar saja" , atau " sudah berhenti, jangan cengeng" .
Berada dalam situasi di mana anak mengalami 'badai' emosi, memang kerap membuat kewalahan para orangtua. Terutama jika berada di ruang publik, pastinya muncul rasa tak enak.
Saat anak mengamuk, tak bisa mengendalikan emosi, ketenangan orangtua sangat dibutuhkan. Devi Sani, seorang psikolog anak, menjelaskan pada anak yang masih berusia di bawah 7 tahun, mereka memang belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik.
Penting bagi orangtua untuk berada di sebelahnya, menemani, dan membantunya menenangkan diri. Bukan memaksanya untuk berhenti menangis, mengancam atau meninggalkannya sendiri sampai diam sendiri.
Dengan menemaninya saat terjadi 'badai' emosi, akan berdampak sangat besar pada perkembangan otak anak. Juga dalam dalam kondisi psikologis.
" Apa yang terjadi di otak anak kalau kita rajin menemani dan terlihat tenang menghadapi dia yang lagi badai emosi? Reseptor oksitosin lebih banyak yang artinya anak jadi lebih merasa secure, lebih happy dan terkoneksi hatinya," ungkap Devi dalam akun Instagramnya @devisani.
Ia juga menjelaskan jika orangtua tetap konsisten menemani anak saat ia mengamuk, bagian amygdalam di otaknya jadi tak terlalu reaktif. Ini artinya, 'drama' dan marahnya jadi berkurang dan anak lebih bisa menyadari kesalahannya.
Tak hanya itu, bagian prefrontal cortex di otak anak jadi lebih cepat mature. Artinya, anak lebih bisa meregulasi diri, mengontrol diri, lebih bisa diajak tukar pendapat, dan memiliki rasa berharga diri lebih besar.
" Kapan kita terakhir menemani anak ketika ia sedang dilanda badai emosi? Menemani tanpa mencoba untuk mendistraksi. Tidak melihat tangisannya sebagai musuh melainkan memang ia masih belajar meregulasi emosinya," pesannya.
Dream - Anak remaja memiliki level emosi yang memang kadang naik turun. Terutama pada anak yang mengalami pubertas saat hormonnya sedang tak stabil. Dalam kondisi hal ini orangtua kerap mengalami kebingungan dan komunikasi jadi lebih sulit.
Remaja memang sudah bisa menyampaikan perasaannya dengan jelas dan kemarahannya tampak sangat nyata. Dikutip dari KlikDokter, jika salah menanganinya, bisa-bisa kemarahan tersebut malah merugikan dirinya serta orang lain.
Remaja pun kadang belum mempertimbangkan dan menyadari mana yang salah dan mana yang benar. Lalu bagaimana menghadapinya? Ada beberapa hal yang bisa orangtua terapkan saat anak remaja sedang emosi.
1. Hargai privasinya
Dilansir Psychology Today, remaja memandang kamar mereka sebagai “ kastil” yang terhubung dengan kepribadian mereka. Bila anak remaja kini lebih sering di kamar, terutama bila keadaan emosinya sedang tidak stabil, sebaiknya jangan langsung membuka pintu kamarnya untuk masuk. Ketuklah terlebih dulu dan mintalah persetujuan apakah ini waktu yang tepat bagi Anda untuk masuk ke dunianya.
Dengan begitu, mereka tidak akan tersulut emosinya karena merasa terganggu dan akan lebih menghargai orangtua, karena juga menghargai privasi dirinya. Setelah diizinkan masuk, jangan paksa mereka untuk langsung berbicara. Akan lebih mudah prosesnya bila orangtua menggunakan pendekatan seperti “ remaja” juga. Misalnya, bisa terlebih dulu menunjukkan ketertarikan terhadap benda-benda unik yang menjadi pajangan di kamar mereka untuk mencairkan suasana.
Terkadang sebagai orang dewasa, orangtua langsung merespons dengan nada yang agak tinggi ketika mendengar keinginan remaja yang menurut kita tidak masuk akal. Bila terus-menerus seperti itu, si remaja akan merasa tidak dihargai dan bersikap melawan dengan cara membentak.
Selama ini dia juga mencontoh orangtuanya yang selalu memotong pembicaraan dan membentak dirinya kala ada sesuatu yang tak sesuai dengan pemikiran. Daripada langsung memotong dan merespons negatif, sebaiknya dengarkan dulu keluh kesahnya, barulah meresponsnya dengan baik. Seperti memberi pertimbangan dan penilaian yang tidak memojokkan. Dengan begitu, ia sekaligus bisa belajar memilih mana yang baik dan mana yang tidak untuk dirinya sendiri.
Remaja yang sedang emosi akan mudah meledak saat melihat lawan bicaranya menampilkan bahasa tubuh yang menantang, misalnya bertolak pinggang, menunjuk, melipat tangan di dada, atau mendongak. Jarak yang terlalu dekat juga bisa membuatnya semakin marah. Jadi, sebaiknya tampilkan bahasa tubuh yang netral saja dan atur jarak.
4. Setelah emosi lebih stabil, luangkan waktu bersamanya
Remaja yang sering marah-marah sebenarnya membutuhkan kasih sayang yang ekstra. Hanya saja, karena adanya gengsi remaja, yang ditunjukkan oleh mereka justru menarik diri. Karena itu, orang dewasa mesti lebih mengatur atau mengendalikan egonya dengan cara meluangkan waktu lebih terhadap mereka, terutama terkait kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah.
“ Orang tua juga perlu memantau aktivitas anak remajanya, baik di sekolah, lingkungan luar sekolah, dan di rumah,” kata dr. Nadia dari KlikDokter.
Penjelasan selengkapnya baca di sini.
Advertisement
4 Komunitas Animasi di Indonesia, Berkarya Bareng Yuk!
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Hj.Erni Makmur Berdayakan Perempuan Kalimantan Timur Lewat PKK
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Selamatkan Kucing Uya Kuya Saat Aksi Penjarahan, Sherina Dipanggil Polisi
Rekam Jejak Profesional dan Birokrasi Purbaya Yudhi Sadewa, Menkeu Pengganti Sri Mulyani Indrawati