© 2025 Dompet Dhuafa
DREAM.CO.ID - Di sebuah desa kecil di pelosok Jawa, senja turun perlahan di antara gemerisik daun kelapa. Di langgar sederhana, seorang kiai tua duduk bersila, dikelilingi santri muda yang membaca kitab kuning dengan suara lirih. Lampu minyak menggantung redup, menerangi wajah-wajah tekun yang menandai bait demi bait dengan pensil. Tak ada sorotan kamera, tak ada gemuruh mikrofon — hanya kesunyian dan ketulusan yang bekerja diam-diam menjaga peradaban.
Dari tempat-tempat sederhana seperti inilah bangsa ini tumbuh — dari langgar, dari pesantren, dari tangan-tangan yang mengaji dan mengabdi.

Sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran kiai dan santri. Jauh sebelum republik berdiri, pesantren menjadi pusat penyemaian kesadaran kebangsaan. Di tengah penjajahan, masjid dan kitab berubah menjadi simbol perlawanan. KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, dan KH Wahab Hasbullah di Jombang adalah contoh nyata ulama yang menautkan ajaran Islam dengan semangat kemerdekaan.
Puncak peran santri terekam dalam sejarah saat “ Resolusi Jihad” dikumandangkan pada Oktober 1945 di Surabaya — seruan moral dan spiritual untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Sejak itu, tinta perjuangan pesantren tak pernah kering. Hanya medianya yang berubah: dari bambu runcing menjadi pena, dari doa menjadi karya sosial dan pendidikan.
Setelah kemerdekaan, pesantren menjelma menjadi pusat pemberdayaan umat — mendirikan sekolah, rumah sakit, koperasi, hingga lembaga sosial. Semua dilakukan dalam semangat khidmah, pengabdian tulus kepada masyarakat.
Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, tapi ruang hidup tempat karakter ditempa. Santri diajarkan disiplin, kesabaran, dan kerendahan hati. Tradisi ngaji kitab, ro’an (gotong royong), dan tawadhu’ (rendah hati) melahirkan wajah Islam Nusantara yang lembut, ramah, dan penuh toleransi.
Nilai-nilai itu membuat pesantren menjadi kekuatan moral di tengah masyarakat majemuk. Islam yang dipraktikkan bukanlah Islam yang menolak perbedaan, tetapi Islam yang menghargai budaya lokal tanpa kehilangan kemurnian ajaran. Dari pesantren lahir banyak tokoh bangsa — mulai dari pejuang kemerdekaan hingga cendekiawan modern.
Bagi santri, ilmu bukan alat untuk berkuasa, tetapi jalan pengabdian. Dalam kesederhanaan hidup mereka tersimpan pelajaran: pengetahuan sejati harus menuntun manusia pada kemanusiaan.
Kini, santri hidup di dua dunia — kitab dan gawai. Mereka membaca tafsir melalui Zoom, mengkaji fikih lewat aplikasi digital, dan berdiskusi lintas negara di forum daring. Dunia digital membuka ruang baru bagi dakwah dan pembelajaran, namun nilai klasik pesantren tetap menjadi jangkar yang menuntun mereka.
Santri modern belajar menjadi warga global tanpa kehilangan akar lokal. Mereka mempraktikkan Islam Wasathiyah — Islam moderat yang kini menjadi wajah Indonesia di mata dunia.
Banyak pesantren kini berkembang menjadi techno-pesantren, menggabungkan ilmu agama dengan keterampilan digital, kewirausahaan sosial, dan literasi lingkungan. Dari sini, santri belajar bahwa pengabdian tidak harus besar, yang penting adalah ketulusan.
Kiai dan santri mungkin tak muncul di layar televisi, tetapi dari balik kesunyian mereka, bangsa ini belajar tentang kekuatan moral yang senyap. Di tengah dunia yang gaduh oleh opini dan ambisi, pesantren mengajarkan makna keheningan — tempat manusia belajar kembali menjadi manusia.
Nilai-nilai pesantren menjadi penawar di tengah polarisasi sosial dan politik: kesederhanaan, kebersamaan, dan keikhlasan. Mereka mengingatkan bahwa membangun negeri bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi tentang kejujuran hati dan keteguhan moral.
Dari langgar kecil hingga ruang digital, semangat santri tetap menyala. Mereka membuktikan bahwa peradaban besar sering lahir dari ruang sederhana — dari hati yang tulus dan doa yang tenang.
Namun, di balik kesunyian itu masih banyak santri yang belajar dalam keterbatasan: dinding asrama rapuh, kitab yang diwariskan, dan semangat yang tak pernah padam. Mereka terus tersenyum, sebab bagi mereka, ilmu adalah cahaya, dan pengabdian adalah jalan pulang.
Di titik inilah, kepedulian sosial menemukan maknanya. Semangat gotong royong yang dulu membangun langgar kini menjelma dalam gerakan wakaf yang membangun masa depan. Melalui inisiatif seperti yang diusung Dompet Dhuafa, semangat berbagi untuk santri terus hidup — agar mereka dapat belajar dengan layak, beristirahat dengan nyaman, dan tumbuh menjadi penjaga akhlak bangsa.
Mari wujudkan wakaf asrama santri melalui program wakaf Dompet Dhuafa:
Advertisement
Pria Ini Punya Sedotan Emas Seharga Rp233 Juta Buat Minum Teh Susu

Celetukan Angka 8 Prabowo Saat Bertemu Presiden Brasil

Paspor Malaysia Duduki Posisi 12 Terkuat di Dunia, Setara Amerika Serikat

Komunitas Rubasabu Bangun Budaya Membaca Sejak Dini

Kasus Influenza A di Indonesia Meningkat, Gejalanya Mirip Covid-19
