Bayi/ Foto: Shutterstock
Dream - Kasus stunting di Indonesia masih sangat tinggi. Stunting, menurut World Health Organization (WHO), merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang.
Stunting biasanya ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak yang berada di bawah standar untuk seusianya. Banyak faktor yang membuat seorang anak mengalami stunting.
Menurut dr. Dini, seorang spesialis anak, ada lima faktor yang membuat anak lebih berisiko mengalami stunting. Ayah bunda wajib mengetahui hal ini. Jika memang si kecil memiliki faktor risiko tersebut, harus dilakukan pemantauan tumbuh kembang yang lebih ketat. Apa saja risiko tersebut?
1. Bayi lahir dengan berat badan rendah
Menurut dr. Dini di akun Instagramnya, @diniadityarini bayi yang lahir dengan berat rendah, yaitu kurang dari 2.5 kg dan panjang kurang dari 47 cm sangat berisiko stunting. Untuk itu, lakukan pemeriksaan setiap bulan dan konsultasi intensif jika si kecil berat badannya sangat rendah saat lahir.
2. Bayi prematur
Bayi yang lahir prematur yaitu bayi yang lahir sebelum masa kehamilan 37 minggu. Pada bayi yang lahir prematur, dokter anak akan melakukan pemeriksaan lebih detail. T
3. Tumbuh kembang tak optimal
Pertumbuhan yang tidak signifikan pada 6 bulan pertama, harus diwaspadai. Hal ini biasanya ditandai dengan tidak terjadi kenaikan berat badan sebesar 800-100 gram per bulan pada 3 bulan pertama atau tidak naik 600 gr per bulan pada usia 3 – 6 bulan.
© Pexels.com
4. Perkembangan kemampuan yang lambat
Perlambatan tumbuh kembang, yang ditandai dengan tidak bisa mengangkat kepala pada usia 2 bulan, tidak bisa tengkurap pada usia 4 bulan. Bila si kecil mengalami keterlambatan, jangan tunda untuk melakukan konsultasi dengan dokter anak spesialis tumbuh kembang. Hal ini agar bisa segera diatasi dan terapi dilakukan lebih cepat.
5. Sering sakit
Anak yang sering mengalami sakit, seperti infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran kemih, dengan gejala-gejala panas/demam dan batuk pilek juga sangat berisiko stunting. Hal ini karena penyerapan nutrisi tidak optimal yang secara langsung akan berpengaruh pada tumbuh kembangnya.
Dream - Kebiasaan tidur seseorang sangat dipengaruhi rutinitasnya saat bayi. Ada yang biasa tidur di kamar terang, tapi ada juga yang lebih suka tidur di tempat gelap.
Bagaimana dengan si kecil? Mungkin ayah bunda bingung ingin menidurkannya di kamar yang gelap atau terang. Sebelum menentukan, ketahui dulu fakta-fakat berikut ini dikutip dari KlikDokter.com.
© Dream
Studi dari The National Center for Biology Information (NCBI) di Amerika Serikat menemukan bahwa tidur dengan lampu yang menyala dapat memperpendek durasi pelepasan hormon melatonin sekitar 90 menit.
Disebutkan pula bahwa paparan terhadap lampu sepanjang waktu tidur dapat menekan produksi melatonin hingga 50%. Melatonin merupakan hormon yang mengatur siklus bangun dan tidur.
Hormon melatonin memiliki peran yang penting, bahkan terhadap anak-anak. Sebab, dengan siklus bangun dan tidur yang baik, anak-anak dapat terhindar dari berbagai masalah kesehatan.
Dengan memiliki tidur yang cukup, tumbuh kembang anak dapat berlangsung dengan baik. Selain berkaitan dengan pertumbuhan fisik, tidur juga memengaruhi kemampuan daya ingat anak. Hal itu dikarenakan saat tidur, bagian otak hipokampus dan lobus anterior medial-temporal anak sangat aktif.
Nah, salah satu kiat untuk mendukung tercapainya tujuan ini adalah dengan meredupkan cahaya ketika tidur. Ruangan tidak perlu gelap sempurna. Hanya saja, lampu sebaiknya diatur menjadi lebih redup.
Dream - Hidangan telur setengah matang biasanya jadi menu favorit saat sarapan. Cukup ditaburi garam dan lada, telur pun bisa langsung disantap dan langsung bikin kenyang.
Bagi orang dewasa, makan telur setengah matang terkadang memicu masalah pencernaan. Pasalnya, telur setengah matang ini masih mengandung bakteri yang bisa menimbulkan keluhan seperti muntah diare.
Bagaimana jika diberikan pada anak balita atau bayi, amankah? Telur setengah matang tidak dianjurkan untuk berikan pada balita apalagi bayi. Dikutip dari KlikDokter.com, hal itu karena mengonsumsi telur yang belum matang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit dari bakteri bawaan makanan yang disebut Salmonella.
Bakteri ini bisa menyerang siapa saja, tapi risikonya akan lebih besar terjangkit pada balita, lansia, atau orang yang sistem kekebalan tubuhnya rendah, seperti ibu hamil dan orang sakit.
Dalam banyak kasus, tidak diperlukan perawatan medis khusus saat terjangkit Salmonella. Gejalanya pun akan hilang dengan sendirinya dalam waktu sekitar satu minggu. Pada beberapa kasus, dibutuhkan antibiotik untuk mengurangi risiko komplikasi.
Tidak masalah jika memang ingin memberikan menu telur untuk si kecil, tapi pastikan memasaknya hingga benar-benar matang agar bakterinya mati. Panas yang digunakan saat memasak mampu membunuh bakteri sehingga aman dikonsumsi balita.
© MEN
Bisa dengan diorak arik, rebus, dadar atau dicampur dengan menu lain. Berikan balita berbagai variasi olahan menu dengan cara memasak telur yang beragam, mengingat nutrisi yang terkandung di dalamnya sangat bermanfaat.
Cara Beriman kepada Kitab-Kitab Sebelum Al-Quran, Ketahui Juga Setiap Ajaran di Dalamnya
20 Foto Lawas Artis Saat Masih SD, Nagita Slavina Bule Banget, Disebut Rafathar Versi Cewek!
Potret Ayu Ting Ting usai Jual Pakaian Bekas di Depan Rumah, Raup Rp40 Juta
20 Foto Lawas Artis Saat Masih SD, Nagita Slavina Bule Banget, Disebut Rafathar Versi Cewek!