Ibu Hamil/ Foto: Shutterstock
Dream - Puasa Ramadan merupakan ibadah wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Sementara bagi ibu hamil dan menyusui yang kondisinya tak memungkinkan, diperbolehkan untuk tak puasa.
Nantinya, puasa wajib diganti di hari lain setelah kondisi ibu dalam keadaan fit dan sehat. Lalu bagaimana jika ibu hamil dan menyusui selama dua tahun berturut-turut atau lebih?
Utang puasa jika ditotal mencapai 60 hari atau lebih dari itu, akan terasa berat untuk mengganti puasa atau mengqadha. Bagaimana sebaiknya ibu mengganti puasa?
Dikutip dari Zakat.or.id, menurut Mazhab Hanafi, seseorang yang sedang hamil diperbolehkan hanya mengganti dengan membayar fidyah puasa untuk ibu hamil saja. Terlebih jika kita harus mengqadha dirasa cukup berat.
Untuk mengqadha (bagi mazhab yang tetap mewajibkan qadha) tidak diharuskan untuk tuntas dalam waktu cepat, terlebih jika sang ibu masih dalam keadaan hamil yang kesekian kalinya. Akan tetapi, kita juga seharusnya sudah mengetahui juga bahwa mengqadha puasa dapat kita lakukan tidak perlu dilakukan secara berturut-turut. Seperti firman Allah,
Artinya : “ Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Artinya: “ … Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah 184)
Sebisa mungkin, berusahalah dengan optimal untuk mengganti puasa di hari lain, ketika ibu sudah tak hamil dan menyusui. Ada trik yang bisa mempermudha membayar puasa yang cukup banyak. Lakukan puasa senin dan kamis sebagai hari qadha puasa, maka dalam tempo 4 bulan, sudah dapat melunasi hutang 1 bulan puasa.
Sementara, fidyah diperuntkkan untuk seseorang yang sama sekali tidak sanggup membayar utang puasa Ramadan, seperti orang tua yang renta atau seseorang mengalami sakit parah hingga tidak ada harapan untuk sembuh. Ibu hamil dan menyusui, wajib berusaha qadha atau bayar utang puasa terlebih dahulu.
Jika utang terlampau banyak, maka sisa hari yang belum di qadha dapat dilunasi dengan fidyah. Penjelasan selengkapnya baca di sini.
Dream - Momen Ramadan bisa jadi membuat dilema para ibu hamil dna menyusui. Di satu sisi, ingin memastikan buah hati mendapat asupan gizi optimal demi tumbuh kembangnya. Sementara juga ingin menjalani ibadah puasa Ramadan.
Puasa membuat kita memang harus menahan haus dan lapar selama 13 jam. Pada ibu hamil dan menyusui terutama yang memiliki masalah kesehatan hal tersebut cukup berat. Terkait hal ini, ada beberapa pendapat fikih yang penting diketahui para ibu.
Dikutip dari BincangMuslimah, pakar ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih dari Universitas Damaskus, yakni Syekh Wahbah al-Zuhaily menyebutkan ada sembilan keadaan yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa yaitu ketika hamil, menyusui, dipaksa orang lain, bepergian, sakit, jihad, sangat lapar, sangat haus dan tua renta. (Syekh Wahbah al-Zuhahaily, Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz 3, Hal 71)
Menurut beliau perempuan hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa, apabila mereka khawatir akan terjadi mudarat terhadap dirinya atau anaknya, semisal akan lemahnya kecerdasan, meninggal dunia atau sakit.
“ Kekhawatiran ini harus berdasarkan praduga kuat dari pengalaman sebelumnya atau informasi seorang dokter muslim yang mahir lagi adil" . (Syekh Wahbah al-Zuhahaily, Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz 3, Hal 78).
Dalil dibolehkannya mereka untuk tidak berpuasa adalah hadist Nabi Muhammad SAW riwayat Anas bin Malik al-Kabiy :
“ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan separuh sholat bagi musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa bagi perempuan yang hamil dan menyusui.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Athar Syarh Muntaqa al-Ahbar, Jus 4, Hal 313)
Namun ulama berbeda pendapat tentang konsekuensi bagi keduanya saat tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadan terkait kewajiban qadha puasa atau membayar fidyah. Setidaknya ada 4 pendapat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayat al-Mujtahid sebagaimana berikut :
Pertama, menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, perempuan yang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan hanya diwajibkan membayar fidyah tanpa harus meng-qadha puasa yang telah ditinggalkan, berdasarkan firman Allah: “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi akan seorang miskin”( Q.S. al-Baqarah; 184).
Kedua, menurut Imam Abu Hanifah keduanya boleh tidak berpuasa namun diwajibkan mengganti puasa (qadha) tanpa harus membayar fidyah. Beliau menyamakan keduanya dengan orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit.
Ketiga, ulama Syafii dan Hanbali memerinci konsekuensi dari keduanya. Jika mereka khawatir terhadap anaknya maka mereka boleh tidak berpuasa tetapi setelah itu mereka wajib qadha dan membayar fidyah. Jika keduanya khawatir akan dirinya sendiri atau khawatir dirinya dan anaknya, maka hanya wajib qadha puasanya saja.
Mereka memerinci demikian karena memandang sisi yang memang berbeda, yakni saat perempuan khawatir akan dirinya berarti dia sama dengan orang sakit. Bila khawatir akan kesehatan anaknya, maka ia dikiaskan dengan orang yang sehat, karena secara fisik memang sehat. Sementara kebolehan tidak berpuasa merupakan sebab lain di luar dirinya
Keempat, ulama Maliki berpendapat bahwa perempuan hamil yang tidak berpuasa, maka diwajibkan qadha puasanya saja, sementara perempuan yang menyusui diwajibkan qadha dan membayar fidyah. Mereka berpendapat seperti itu sebab menyamakan ibu hamil dengan orang sakit, sementara ibu menyusui disamakan dengan orang sehat.
Menurut Imam Ibnu Rusyd pendapat yang paling kuat adalah pendapat Imam Abu Hanifah yang mewajibkan qadha saja, sebab ketidakmampuan berpuasa bagi perempuan yang hamil dan menyusui bersifat sementara sama halnya dengan orang yang sedang sakit. Selengkapnya baca di sini.