Intip Upacara Tujuh Bulanan GKR Hayu di Kraton Yogyakarta

Reporter : Mutia Nugraheni
Rabu, 19 Juni 2019 14:06
Intip Upacara Tujuh Bulanan GKR Hayu di Kraton Yogyakarta
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri keempat Sri Sultan Hamengkubuwono X, saat ini sedang hamil anak pertamanya.

Dream - Ritual dan upacara adat di Kraton Yogyakarta selalu menarik perhatian, salah satunya adalah acara Tingkeban. Setiap prosesinya dibuat sedetail mungkin dan penuh makna.

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri keempat Sri Sultan Hamengkubuwono X, saat ini sedang hamil anak pertamanya. Usia kandungan GKR Hayu sudah memasuki usia 7 bulan dan baru saja menggelar acara Tingkeban pada Selasa, 18 Juni 2019.

Tujuh bulan dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai pitulungan yang artinya adalah pertolongan. Ritual ini merupakan sebuah doa meminta pertolongan pada Yang Maha Kuasa untuk ibu yang sedang mengandung dan memohon keselamatan bagi janin.

Melalui akun Twitter resmi Kraton @kratonjogja, prosesi Tingkeban GKR Hayu diperlihatkan ke publik. Digelar di area Kraton Kilen, GKR Hayu dan sang suami KPH Notonegoro serta keluarga besar tampak bahagia menjalani tiap prosesi.

1 dari 5 halaman

Jalani 20 Ritual

Jalani 20 Ritual © Dream

Menurut Twitter resmi @KratonJogja terdapat 20 tahapan yang dilakukan dalam Prosesi Upacara Tingkeban GKR Hayu. Diawali dengan Miyos Dalem Ngarsa Dalem dan diakhiri dengan Andrawina.

Salah satu momen yang dibagikan adalah saat siraman yang dilakukan oleh 7 sesepuh. Para sesepuh ini adalah para sepuh perempuan yang sudah memiliki cucu.

2 dari 5 halaman

Kenakan Kain 7 Kali

Kenakan Kain 7 Kali © Dream

Selepas siraman, GKR Hayu mengenakan nyamping dan semakan atau kain motif klasik Kraton sebanyak tujuh kali. Nyamping dan semekan urutan yang ketujuh bermotif lurik lasem adalah motif yang dianggap paling pantas dikenakan.

Maksud dari kain lurik ini adalah agar anak yang dilahirkan tidak lupa asal-usul dan selalu bersikap sederhana.

3 dari 5 halaman

Brojolan

Brojolan © Dream

Prosesi selanjutnya adalah Brojolan. GKR Mangkubumi melewatkan dua kelapa cengkir masing-masing bergambar Kamajaya dan Kamaratih dari rongga kain lurik yang dianggap pantas. Kelapa cengkir dilewatkan di perut untuk kemudian diterima GKR Hemas dan besan putri.

Selanjutnya, GKR Hemas dan Ibu Besan menggendong kelapa cengkir tersebut menuju ke kamar GKRHayu. Ritual Tingkeban atau Mitoni ini sampai sekarang juga banyak dilakukan oleh kalangan rakyat biasa.

Tidak lain tidak bukan demi memohon kepada Allah SWT keberkahan melalui kehamilan. Sangat menarik ya Sahabat Dream.

Lihat saja urutannya di bawah ini.

 

4 dari 5 halaman

Uniknya Penyajian Teh untuk Sri Sultan Hamengku Buwono X

Uniknya Penyajian Teh untuk Sri Sultan Hamengku Buwono X © Dream

Dream - Perayaan Idul Fitri selalu digelar penuh tradisi dan meriah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat beberapa waktu lalu sempat menggelar acara Garebeg Sawal yang biasanya dipadati oleh para masyarakat.

Hal yang juga selalu digelar di dalam Kraton adalah Ngabekten atau sungkeman. Dalam acara ini seluruh putra-putri, kerabat dan abdi dalem Kraton, melakukan sungkem kepada Ngarso Dalem atau Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Dikutip dari Kratonjogja.id, dalam Ngabekten terdapat semacam upacara minum teh. Perlengkapannya sangat klasik, berupa gelas-gelas yang merupakan peninggalan dari era Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Hampir seluruh peralatan minum teh ini berasal dari luar negeri, seperti Jerman, Perancis, Belanda.

Ada pula aturan pembuatan teh bagi Sultan. Membuat teh bagi Ngarso Dalem tak boleh sembarangan. Harus mengikuti pakem yang ada. Yaitu, mulanya air didihkan dalam ceret tembaga dan dipindahkan ke ceret khusus untuk Sultan.

 

5 dari 5 halaman

Tak Boleh Dikipas

Tak Boleh Dikipas © Dream

Untuk menjaga suhu air, ceret tersebut tetap dipanaskan di atas bara namun tidak dikipasi agar asap tidak masuk dan mengakibatkan air minum berbau sangit. Pada Ngabekten, teh untuk Sultan akan diseduh di teko khusus berwarna merah muda dengan gambar menara.

Teh tersebut disajikan dalam nampan perak, termasuk satu set teko dari perak dengan motif bunga, set cangkir keramik warna merah muda dengan gambar wajah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dan sendok emas.

      View this post on Instagram

A post shared by Kraton Jogja (@kratonjogja) on

Dalam teko-teko perak bermotif bunga tersebut disediakan air teh, susu, air putih, dan juga gula.

Penyajian minuman dan perlengkapan yang kaya ragam ini merupakan salah satu esensi baku dari sebuah upacara Kraton Yogyakarta.

Di sisi lain, tradisi minum teh menjadi sarana identifikasi dan pengamanan bagi kerabat, abdi dalem tertentu, ataupun tamu undangan, yang dikenali dari alat minum yang digunakan.(Sah)

Beri Komentar