Orangtua Marah/ Foto: Shutterstock
Dream - Hubungan orangtua dan anak memang tak selalu manis. Ada kalanya renggang, memanas bahkan malah jadi traumatis dan beracun atau dikenal dengan istilah " toxic" .
Sikap orangtua pada anak saat kecil, efeknya begitu besar yaitu jangka panjang. Terutama dalam hal kesehatan mentalnya. Orangtua yang sehat secara emosional memahami perasaan anak-anak mereka, mendorongnya untuk mengejar impian, meminta maaf ketika mereka melakukan kesalahan, dan mendiskusikan masalah melalui komunikasi yang sehat.
Sayangnya, beberapa keluarga mengalami hal yang disfungsional, di mana orangtua sangat kritis, suka mengontrol, dan kasar yang mengabaikan kebutuhan anak-anak, dan itu dianggap dianggap normal. Banyak orangtua yang tak menyadari kalau sikap ke anak-anaknya begitu toxic dan membuat anak mengalami masalah mental.
Coba refleksi diri, bila kecenderungan berikut muncul saat menghadapi anak segera perbaiki pola asuh. Bila memang sulit dan juga mengalami masalah psikologis, tak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan psikolog/ psikiater demi keluarga yang lebih sehat mental dan menenangkan.
1. Perilaku yang berpusat pada diri sendiri
Beberapa orangtua mungkin mementingkan diri sendiri, tidak menghadirkan diri sepunuhnya untuk anak, egois, atau tidak peduli dalam hal kebutuhan anak-anak mereka. Orangtua cenderung tak berusaha memahami perasaan anaknya dan lebih mementingkan kenyamanan dirinya.
Orangtua yang toksik tidak dapat mengendalikan emosi mereka yang menyebabkan ledakan emosi dan perilaku yang tidak terduga. Mereka sering bereaksi berlebihan, menjadi dramatis, atau membesar-besarkan kejadian.
3. Mengontrol Perilaku
Orangtua yang toksik menolak menerima anak sebagai orang dewasa yang memiliki identitas tersendiri dan dapat membuat keputusan sendiri. Mereka menggunakan kekuasaan dan kendali melalui rasa bersalah dan uang.
Mereka menyerang privasi anak mereka dengan membaca surat mereka, datang tanpa diundang, menawarkan nasihat yang tidak diminta, dan mengambil tindakan mengenai kehidupan pribadi mereka tanpa berkonsultasi.
4. Sangat Menuntur
Orangtua yang terlalu menuntut mengharapkan anak-anak mereka memenuhi harapannya. Mereka terus-menerus menggunakan ancaman atau perilaku manipulatif untuk mencari perhatian dari anak-anak.
Sumber: FirstCry
Dream - Rasa empati, peduli dengan orang lain dan sekitar, tak mau merugikan dan menyakiti orang lain bukan muncul dalam sekejap. Empati perlu diasah sejak dini, dengan menormalkan anak merasakan berbagai emosi.
Seringkali kita sebagai orangtua saat anak sedang bahagia mendapat nilai bagus, hadiah atau karena hal lain, memberinya senyuman, tepuk tangan atau pelukan. Sementara ketika anak bersedih, marah, kecewa, kita memintanya segera menghentikan tangisan.
Tak hanya itu kadang juga terlontar kata-kata yang melabelinya seperti " cengeng" , " manja" , " nakal" dan sebagainya. Hal ini seakan anak tak boleh merasakan emosi negatif sebagai manusia biasa, padahal hal itu sangat normal.
Samanta Elsener, seorang psikolog lewat akun Instagramnya @samanta.elsener mengungkap kalau mengakui emosi anak lalui memvalidasinya memang bukan hal mudah. Orangtua perlu belajar dan latihan. Hal ini sangat penting untuk perkembangan emosi anak dan mengasah empatinya agar juga bisa mengenali emosi orang lain dan bagaimana menyikapinya.
" Emang paling susah belajar mengenali emosi anak, terus divalidasi pula. Kenapa harus divalidasi bukannya nanti makin jadi nangisnya? Makin susah disuruh berhenti nangis. Lha, emang kenapa sih kalau anak nangis? Boleh donk anak nangis. Itu bentuk ekspresi emosi anak lho. Kalau divalidasi anak jadi tahu orang tuanya paham perasaan dia dan bisa berempati ke anak," ungkap Samantha.
Menyuruh anak berhenti menangis sambil meneriaki, mengancam atau menakut-nakutin justru akan membuat emosi anak tak sehat. Merasa tak didengarkan dan membuat jarak dengan orangtua
" Kalau disuruh berhenti nangis apalagi pakai jerit teriak dan mengancam, anak makin merasa terancam dan makin jauh dari orangtua," tulis Samantha.
Ia pun membagikan cara bagi orangtua untuk melakukan validasi pada anak yang sedang memiliki emosi negatif. Kalimat-kalimat berikut bisa digunakan. Seperti " kelihatannya kamu sedih banget dengan apa yang baru saja terjadi" .
Kalimat lainnya " mama perhatikan kamu merasa excited dan nervous juga secara bersamaan" , " kamu terlihat lagi kesal/ kecewa, mama ada di sini sama kamu" .
Lihat video menarik yang dibuat oleh Samantha.
Lihat postingan ini di Instagram
Dream - Belum ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 bakal berakhir. Prioritas saat ini adalah mampu bertahan hidup, menjaga kesehatan fisik maupun mental seluruh keluarga termasuk anak-anak.
Untuk menjaga kesehatan fisiknya, ayah bunda pasti sudah tahu hal-hal yang harus disiapkan dan dilakukan. Mulai dari menyiapkan makanan sehat, vitamin, masker hingga face shield.
Lalu bagaimana dengan kesehatan mental anak selama pandemi? Hal tersebut kerap kali luput dari perhatian.
Menurut dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K), spesialis kedokteran jiwa konsultan psikiatri anak dan remaja RS Pondok Indah Bintaro Jaya dalam webinar yang digelar RS Pondok Indah Group pada 29 Juni 2021, anak-anak jadi pihak yang paling terdampak karena pandemi dalam hal kesehatan mental.
" Anak tidak mengeluh ketika punya perasaan lonely/ kesepian, mereka tak bisa mengatakannya. Lebih banyak mengatakan bosan. Mereka harus kompromi dengan perubahan, gak bisa exercise, kalau pun bisa terbatas, belum lagi terjadi perubahan pola asuh selama pandemi. Misalnya terjadi permasalah ekonomi, masalah rumah tangga," kata dr. Anggia.
Penting bagi orangtua untuk memperhatikan perubahan sikap dan perilaku anak sehari-hari. Jika ada perubahan seperti menarik diri, lebih suka sendiri, sering mengeluhkan nyeri tanpa sebab, tak termotivasi, bisa jadi anak sedang mengalami stres.
Tanpa disadari, seringkali sikap orangtua saat di rumah dan kondisi pandemi membuat anak mengalami stres tinggi. Salah satunya karena orangtua meluapkan emosi negatif pada anak karena hal lain.
" Kita harus membantu diri kita dulu sebagai orangtua, perbaiki emosi kita dulu baru membantu emosi anak-anak agar bisa bertahan saat pandemi, dan sehat jiwa tentunya. Prinsipnya menjaga susasa hati mood orangtua. Jangan jadikan anak-anak tong sampah orang dewasa. Kalau di ruang praktik banyak yang cerita mereka dicurhati orangtuanya, anak-anak juga punya perasaan lho," ujar dr. Anggia.
Dokter Anggia mengingatkan para orangtua untuk menggunakan tiap kesempatan membangun kelekatan dengan anak. Eksplor hal lain di luar jam sekolah misalnya. Buat aktivitas menyenangkan bersama anak yang melibatkannya.
Kuncinya adalah benar-benar hadir untuk anak secara fisik dan pikiran. Jangan sampai saat bersama anak, otak dan pikiran malah tertuju pada gadget atau pekerjaan dan mengeluhkan banyak hal pada anak. Pasalnya, banyak orangtua saat sedang stres dan emosinya tak stabil malah melampiaskannya pada anak. Ini sangat berbahaya.
Advertisement
4 Komunitas Jalan Kaki di Indonesia, Perjalanan Jadi Pengalaman Menyenangkan
Mau Liburan? KAI Wisata Tebar Promo HUT ke-16, Ada Diskon Bagi yang Ultah Bulan September
Si Romantis yang Gampang Luluh: 4 Zodiak Ini Paling Cepat Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama
Lebih dari Sekadar Bermain, Permainan Tradisional Ajak Anak Latih Fokus dan Kesabaran
Halte TJ Senen Sentral yang Terbakar, Berubah Jadi Halte Jaga Jakarta
Nyaman, Tangguh, dan Stylish: Alas Kaki yang Jadi Sahabat Profesional Modern
4 Komunitas Jalan Kaki di Indonesia, Perjalanan Jadi Pengalaman Menyenangkan
Mau Liburan? KAI Wisata Tebar Promo HUT ke-16, Ada Diskon Bagi yang Ultah Bulan September
Sosok Ferry Irwandi, CEO Malaka Project yang Mau Dilaporkan Jenderal TNI ke Polisi