Ilustrasi Ritual Pada Malam Satu Suro Oleh Masyarakat Jawa (Foto: Shutterstock.com)
Dream – Tanggal satu suro merupakan hari pertama dalam kalender penanggalan Jawa yatu bulan Sura atau Suro. Tahun baru dalam penanggalan Jawa ini bertepatan dengan 1 Muharam atau tahun baru dalam kalender Islam.
Keputusan tahun baru Hijriyah atau tahun baru Islam tersebut berdasarkan awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar Bin Khatab. Pada tahun 931 Hijriyah atau 1443 tahun Jawa, yakni pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa Kuno.
Biasanya masyarakat Jawa dan Islam akan memeringati malam satu Suro dengan ritual menjelang tahun baru Islam tersebut. Banyak pandangan masyarakat Jawa menganggap malam satu Suro sangat keramat dan sakral. Ada latarbelakang historis peristiwa penting yang terjadi pada bulan Suro, khususnya para penganut agama Islam yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu.
Maka dari itu sebagian masyarakat Jawa pada malam satu Suro dilarang keluar rumah kecuali untuk berdoa dan menjalankan ritual ibadah. Ritual menjelang malam satu Suro sering dilakukan masyarakat. Apa saja ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa pada malam satu Suro?
Ritual menjelang malam satu Suro yang pertama adalah siraman. Siraman atau mandi besar dengan disertai air yang dicampur kembang setaman.
Siraman ini merupakan ritual menjelang malam satu Suro sebagai bentuk untuk menyucikan raga. Siraman sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Suro. Tirakat yang dilakukan antara lain seperti lebih ketat dalam menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari segala hal yang negatif.
Ritual menjelang malam satu Suro ini dilakukan dengan berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan. Berdoa supaya Tuhan menjaga kita, dan keluarga serta kerabat dari marabahaya.
Siraman biasanya dilakukan dengan mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur tubuh sebanyak tujuh kali siraman. Dalam kepercayaan Jawa, tujuh artinya pitu, yaitu merupakan doa supaya Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan.
Selain itu juga sebanyak 11 kali siraman, dalam Bahasa Jawa sewelas yang artinya doa agar Tuhan memberikan kawelasan atau belas kasihan. Juga bisa dilakukan sebanyak 17 kali, dalam Bahasa Jawa pitulas, artinya supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan.
Siraman ini sebaiknya dilakukan langsung di bawah langit, atau tidak di bawah atap rumah. Maksudnya adalah secara langsung kita menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
Ritual menjelang malam satu Suro selanjutnya adalah melakukan tapa bisu atau membisu. Tirakat tapa bisu ini dilakukan sepanjang bulan Suro yaitu berupa sikap mengontrol ucapan yang keluar dari mulut. Sepanjang tapa bisu diusahakan mengucapkan hal-hal yang baik dan dilarang mengatakan kata-kata buruk.
Karena dalam bulan Suro yang dipenuhi dengan tirakatan, doa-doa lebih mudah dikabulkan oleh Allah. Bahkan ucapan yang buruk pun juga bisa terwujud. Maka dari itu hati-hatilah dalam berucap. Karena ucapan buruk bisa benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
Ziarah makam para leluhur merupakan ritual menjelang malam satu Suro yang sering dilakukan masyarakat Jawa. Biasanya mereka melakukan ziarah ke makam para leluhur masing-masing ataupun para leluhur yang telah berjasa. Seperti orang yang telah mendirikan (membabat) desa, pahlawan, pejuang kemerdekaan, veteran, ulama, dan tokoh leluhur lainnya.
Selain untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahului kita, ziarah merupakan tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya.
Cara menghormati leluhur dan menghargai jasa-jasanya juga bisa dilakukan dengan merawat makam mereka. Makam leluhur merupakan tempat bersejarah untuk mengenang jasa-jasa leluhur dan meneladani perjuangan beliau di masa hidupnya.
Ziarah makam ini juga menjadi pengingat kita sebagai manusia yang masih hidup, bahwa semua yang hidup pada akhirnya akan mati, dalam kepercayaan Jawa Kuno disebut Sangkan Paraning Dumadi.
Ritual menjelang malam Satu Suro selanjutnya adalah menyiapkan sesaji bunga. Ritual ini biasanya dilakukan masyarakat dengan menyiapkan sesaji bunga dalam sebuah wadah berisi air bening an bunga setaman.
Ritual ini memiliki makna yang mendalam berdasarkan keyakinan Jawa Kuno. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang telah berjasa semasa hidupnya, ritual sesaji bunga dilambangkan sebagai doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di dalam setiap bunga.
Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kanthil, kenanga, semuanya memiliki makna doa tersendiri. Bunga-bunga itu ditaburkan ke makam para leluhur sebagai bentuk penghormatan dan doa.
Ritual jamasan pusaka merupakan tradisi dalam perawatan dan pelestarian warisan pusaka dari para leluhur. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah karya seniman leluhur kita di masa lalu. Karya seni itu tentu saja memiliki falsafah hidup yang begitu mulia.
Pusaka merupakan warisan budaya luhur yang bernilai sejarah. Karena pusaka adalah kearifan lokan para leluhur bangsa yang wajib dilestarikan.
Sikap menghargai peninggalan pusaka menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa untuk berbuat yang lebih baik untuk negeri.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, leluhurnya, dan para pendahulunya. Karena mereka semua telah berjuang hingga kita bisa hidup seperti sekarang. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut dari akarnya.
Ritual menjelang malam satu Suro yang sering dilakukan masyarakat adalah larung sesaji. Larung sesaji merupakan ritual sedekah bumi. Sesaji berupa uborampe atau ragam bahan umbi-umbian dan hasil bumi lainnya.
Sesaji dari hasil bumi itu kemudian dilarung atau dihanyutkan ke laut, danau, telaga, gunung, dan tempat-tempat sakral lainnya. Tujuan dari ritual larung sesaji ini adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan karena sudah menyediakan berbagai macam makanan untuk umat manusia.
Substansi ritual larung sesaji perlu dipahami secara mendalam dari sejarah dan makna-makna yang ada supaya terhindar dari perbuatan musyrik.
Dalam tradisi Jawa, ritual larung sesaji memiliki latar belakang untuk menjelaskan semuanya. Pertama dalam melaksanakan ritual, hati tetap teguh dan memiliki keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, nilai filosofi bahwa larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos. Ketiga, simbol interaksi harmonis antara manusia dengan alam semesta. Disadari atau tidak, manusia tinggal di bumi tidaklah sendiri, melainkan bersama jagad fisik maupun metafisik.
Itulah 6 ritual menjelang malam satu Suro yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kuno. Segala macam ritual jangan dinilai secara fisik saja, namun perlu dipahami dari makna filosofi dan tujuan yang tersembunyi di balik simbol-simbol ritual.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengisi malam 1 Suro. Berdoa dan memohon keselamatan kepada Tuhan adalah yang paling utama. Di lereng Gunung Raung, Jawa Timur, masyarakat menggelar tradisi Baritan.
Tradisi ini dilakukan di pelataran kampung, mirip dengan acara selamatan biasa. Mereka menggunakan takir atau piring yang dibuat dari daun pisang yang diisi makanan.
Kemudian masyarakat berkumpul bersama dan memanjatkan doa mohon ampun dan perlindungan kepada Allah SWT. Ritual ini dilakukan untuk memohon perlindungan dari balak dan segala kejahatan dunia.
Setelah selesai membaca doa-doa, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Tradisi ini memiliki nilai sosial yang kental. Tali silaturahmi bisa terjalin erat karena acara-acara semacam ini. Di mana masyarakat berkumpul bersama setelah kesibukan sehari-hari yang membuat mereka mungkin jarang bertemu.
Advertisement
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik
Kebiasaan Pakai Bra saat Tidur Berbahaya? Cari Tahu Faktanya
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Senayan Berbisik, Kursi Menteri Berayun: Menanti Keputusan Reshuffle yang Membentuk Arah Bangsa
Ditagih Janji Rp200 Juta oleh Ibu Paruh Baya, Ivan Gunawan: 'Mohon Jangan Berharap Bantuan Saya'