Ancaman Bom di Pesawat Saudi Airlines Tak Bisa Dianggap Remeh, Polri Diminta Usut Tuntas

Reporter : Daniel Mikasa
Selasa, 24 Juni 2025 16:32
Ancaman Bom di Pesawat Saudi Airlines Tak Bisa Dianggap Remeh, Polri Diminta Usut Tuntas
Berdasarkan hukum Indonesia, ancaman bom terhadap penerbangan—meskipun tidak benar—bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme.

Anggota Komisi III DPR RI, Surahman Hidayat, mengapresiasi langkah cepat Densus 88 Antiteror Polri yang tengah menyelidiki kasus ancaman bom terhadap pesawat Saudi Airlines nomor penerbangan SV-5726 yang mengangkut jemaah haji Indonesia dari Jeddah menuju Jakarta.

Insiden ini membuat pesawat tersebut harus melakukan pendaratan darurat di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, setelah menerima ancaman bom yang dikirim melalui email berbahasa Inggris. Dari penelusuran awal, pengirim email diduga berasal dari luar negeri, kemungkinan besar dari India.

“ Saya mengapresiasi kinerja tim penjinak Bom Satuan Brimob Polda Sumatera Utara untuk memeriksa pesawat SV-5726 yang sempat mendarat darurat di Bandara Kualanamu dan melakukan pengamanan bersama satuan TNI dari Kodam I/Bukit Barisan dan TNI AU. Tim gabungan dengan sigap telah menyisir seluruh bagian pesawat termasuk kabin, ruang kargo, dan barang-barang yang diangkut. Hasilnya, tidak ditemukan bahan peledak atau benda mencurigakan dan semuanya dinyatakan aman,” ujar Surahman dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).

Menurut Surahman, berdasarkan hukum Indonesia, ancaman bom terhadap penerbangan—meskipun tidak benar—bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Sesuai UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, setiap ancaman kekerasan yang menimbulkan ketakutan luas, terutama terhadap sarana vital seperti pesawat, dapat dijerat pidana, meskipun bom tersebut ternyata tidak nyata.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 437, menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan dapat dikenai sanksi pidana hingga delapan tahun. Hal serupa diatur dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023 Pasal 600) tentang penyebaran informasi palsu yang berdampak pada ketertiban umum dan keamanan negara.

“ Jadi, meskipun ancaman itu dikirim lewat email dan ternyata palsu, pelakunya tetap bisa dijerat hukum berat. Apalagi kalau terbukti ada motif ideologis atau politik, seperti yang sedang didalami Densus 88 dalam kasus ini,” tegas politisi PKS dari Dapil Jawa Barat X (Ciamis, Kuningan, Pangandaran, Kota Banjar).

Surahman turut menyampaikan apresiasi terhadap kerja Densus 88 yang telah menjalin kerja sama dengan otoritas Arab Saudi serta Interpol dalam melacak pelaku pengirim email ancaman kepada pesawat SV-5726, yang membawa Kloter 12 Embarkasi Jakarta-Bekasi (JKS). Menurutnya, respons cepat ini sangat penting karena menyangkut keselamatan jemaah haji Indonesia dan kredibilitas keamanan nasional.

“ Saya minta Polri usut tuntas kasus ini. Karena kasus ini tidak bisa dianggap enteng, apalagi menyangkut keselamatan jemaah haji Indonesia dan kredibilitas sistem keamanan nasional. Densus 88 dan pihak terkait memang perlu menuntaskan penyelidikan sampai ke akarnya, termasuk siapa pelaku, apa motifnya, dan apakah ada jaringan yang terlibat,” ujarnya.

Menanggapi dugaan asal email yang terdeteksi dari India, Surahman mengingatkan agar aparat tak langsung menyimpulkan lokasi pelaku, karena jejak digital bisa dengan mudah disamarkan.

“ Dengan menggunakan VPN atau proxy, pelaku bisa dengan mudah menyamarkan lokasinya memakai layanan VPN atau jaringan proxy dari negara lain, misalnya memantulkan koneksi melalui server di India. Dengan mengunakan email spoofing atau server relay, bisa saja email dikirim melalui server pihak ketiga, atau bahkan dengan teknik spoofing yang menyamarkan asal usul sebenarnya,” jelasnya.

Ia juga menambahkan, dalam skenario ekstrem, pelaku bisa memanfaatkan jaringan botnet—menggunakan perangkat orang lain yang terinfeksi malware untuk mengirim email, sehingga jejaknya mengarah ke individu yang sama sekali tidak terlibat.

“ Kasus ini membutuhkan penyelidikan cybercrime yang melibatkan teknik digital forensik yang cukup rumit, yang tidak cuma melacak alamat IP dan server pengirim, tapi juga pola komunikasi, metadata, dan butuh bantuan otoritas luar negeri untuk mengurai jalur lintas negara jika terindikasi pelaku berada di luar negeri. Diperlukan juga audit keamanan bandara untuk mengevaluasi respons dan pencegahan ke depan,” pungkasnya.

Beri Komentar