#BeGood: Perjuangan Badar Roedin untuk Makam Pahlawan Covid-19

Reporter : Eko Huda S
Rabu, 15 April 2020 20:30
#BeGood: Perjuangan Badar Roedin untuk Makam Pahlawan Covid-19
"Bayangkan kalau itu anak kita sendiri. Jangan sampai keluarga mereka terpukul dua kali, sudah kehilangan karena tugas, jasadnya ditolak pula," ujar Badar.

Dream – Pada sebuah tegalan. Di atas tanah rata. Pria berkaus oblong itu menawarkan ladangnya. Bukan dijual. Tidak pula untuk disewa. Tapi disiapkan sebagai areal kuburan. Makam bagi tim medis yang gugur di garis depan melawan virus corona. Covid-19. Lahan itu disediakan gratis.

Pria itu adalah Badar Roedin. Lurah Talunombo. Sebuah desa di Sapuran, Wonosobo, Jawa Tengah. Pekan lalu, videonya viral. Dia janji menghibahkan tanah untuk tenaga medis yang meninggal dunia akibat Covid-19.

Dia prihatin. Hatinya sedih, terenyuh mendengar kabar ada jenazah perawat yang ditolak warga. Bagi Badar, tak ada satupun pembenar menolak jasad korban corona. Terlebih tim medis. “ Saya tergugah. Mereka sudah berjuang hingga titik darah penghabisan, harus diperlakukan manusiawi,” tutur Badar.

Kabar yang menggetarkan hati Badar itu datang dari Ungaran. Ibu kota Kabupaten Semarang. Berjarak 90 kilometer di utara Talunombo. Kamis silam, warga di Dusun Sewakul geger. Sebagian warga menolak jasad perawat Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi yang meninggal akibat terinfeksi Covid-19.

Perawat perempuan itu memang bukan warga Dusun Sewakul. Tak tinggal di Kelurahan Bandarjo, Kecamatan Ungaran Barat, tersebut. Tenaga medis yang wafat itu berdomisili di Susukan. Desa berjarak 50 kilometer, di selatan kampung warga yang protes itu.

Tapi, keluarga besar sang perawat dikebumikan di Sewakul. Dia berwasiat ingin dimakamkan di dekat pusara sang ayah. Karena ditolak, jasad perawat itu dimakamkan di Bergota. Di kompleks permakaman Dokter Kariadi. Pahlawan yang namanya diabadikan sebagai rumah sakit tempat sang perawat mengabdi.

Tragedi itulah yang sampai ke telinga Badar. “ Saya kasihan. Pas mencangkul di sawah, muncul pikiran menyiapkan lahan untuk petugas medis yang gugur karena corona,” papar dia.

Penolakan, kata Badar, tidak perlu terjadi. Semua hanya soal komunikasi. Masyarakat harus diberi pemahaman tentang virus corona. Detail. Tak hanya cara mencegah. Tapi juga memperlakukan mereka yang terinfeksi. Termasuk korban meninggal dunia.

“ Ini tugas pemerintah,” kata dia. Badar tidak sepakat dengan penangkapan warga yang menolak pemakaman itu. Penjara, bukan solusi.

Tapi, mewujudkan niat baik tak mudah. Tanah yang disiapkan Badar itu memang milik pribadi. Keluarga sudah iklhas bila dipakai areal permakaman. Namun, warga menolak. Takut tertular corona.

“ Kami maklum, kami sadar kekhawatiran warga,” kata Badar.

Seratus meter dari tegalan itu, memang ada dua rumah warga. Badar juga membangun rumah di dekat lahan seluas 1.785 meter persegi tersebut. Jaraknya bahkan cuma 25 meter. Sangat mepet.

Badar harus minta kesepakatan warga. Meski kepala desa, dia tak iingin mengambil keputusan semaunya. “ Saya harus minta persetujuan warga,” tutur dia.

Badar juga terus memberi pemahaman kepada warga. Petugas medis sudah bertaruh nyawa merawat pasien Covid-19. Para pejuang itu tidak sepatutnya ditolak. Demi kemanusiaan.

“ Bayangkan kalau itu anak kita sendiri. Jangan sampai keluarga mereka terpukul dua kali, sudah kehilangan karena tugas, jasadnya ditolak pula,” ujar Badar.

1 dari 2 halaman

Badar memang masih hijau di pemerintahan. Dilantik Desember lalu. Sebelum virus corona melanda negeri ini. Usia pun masih terbilang belia untuk ukuran pemimpin. Baru 32 tahun.

Tapi, bau kencur bukan berarti hampa pengalaman. Badar sudah kenyang asam garam. Delapan tahun mengembara ke Malaysia. Jadi pekerja migran. Di perantauan itulah dia memupuk harapan besar pada kampung halaman.

Dia tak ingin ada perantau lagi dari tanah kelahiran. Minimal menguranngi. Dia tak ingin warganya pergi jauh karena himpitan ekonomi. Seperti pengalaman pahitnya.

Dari negeri jiran itulah Badar memotret potensi kampung halaman. Dia ingin menggarapnya untuk menyejahterakan warga.

“ Saya punya gagasan tapi belum dapat jalannya,” tutur pria yang menikah dua tahun silam.

Tapi setidaknya, wabah corona ini menjadi pembuktian. Dunia akan melihat cara pak kades muda ini memimpin warga. Melindungi penduduk dari cengkeraman corona.

Sebelum menawarkan tanah, Badar menghibahkan gaji sebulan untuk satuan tugas penanganan corona di desa. Membeli disinfektan, hand sanitizer, hingga mencetak banner untuk sosialisasi. Sebagian dana berasal dari honor Badar.

“ Penyemprotan disinfektan sudah kami lakukan tiga hari sekali di tempat umum,” tambah Badar.

      View this post on Instagram

Mari kita bergotong royong demi kestabilan ekonomi dan kesehatan dr wabah virus corona

A post shared by Badar Roedin (@badarroedin) on

Video Badar soal sumbangan gaji itu juga viral. Bukan untuk pamer. Tapi hanya memberi motivasi. Dia sadar, banyak kepala desa yang sudah berkorban lebih besar. “ Hanya saja, saya kebetulan yang terekspos,” kata dia.

Menanggulangi corona, kata dia, bukan hanya tugas pemerintah. Tapi tanggung jawab semua orang. Termasuk warga Talunombo. Tanpa kerja sama, sulit mengalahkan virus yang merajalela itu. “ Bebannya berat,” tegas dia.

Kini Badar sudah mengurangi kegiatan Talunombo. Kerumunan diminimalisir. Seperti daerah lain, sholat Jumat sementara ditiadakan. “ Kalau sholat berjemaah masih ada, tidak banyak,” kata dia.

Badar memastikan tidak ada warga terjangkit corona. Dari 2109 kepala, semua sehat. Awal Maret silam, ada perantau tiba dari Hong Kong. Tapi sudah ditangani sesuai prosedur.

“ Diisolasi 14 hari, sekarang sudah keluar. Setelah dites, alhamdulillah hasilnya negatif,” tambah Badar.

Dia mencatat, ada 89 warga masih di perantauan. Tersebar di zona-zona merah pandemi corona. Mereka di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dia berharap, para perantau tak pulang dulu, hingga corona reda.

Meski demikian, dia tak bisa mencegah bila ada perantau yang nekat mudik. Apalagi menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Karena itulah Badar bersiap. Membuat panduan isolasi bagi orang-orang yang pulang kampung.

“ Semula rencananya akan ditempatkan di balai desa, tapi belum ada protokol keselamatannya,” ujar dia.

Badar punya rencana lain. Isolasi dilakukan di rumah masing-masing. Namun, semua keluarga diungsikan ke kerabat maupun tetangga. Satu rumah, satu orang berstatus Orang Dalam Pemantauan. ODP.

“ Itu akan membuat mental mereka stabil. Tidak rikuh. Berbeda kalau isolasinya di rumah orang atau tempat lain, mereka nanti malah sungkan,” ujar Badar.

Tak hanya mencegah penularan corona. Badar juga memikirkan perut warga, bahkan mereka yang masih berada di perantauan. Dia ingin para perantau diberi bantuan. Stimulus. Baik berupa beras maupun uang.

Bukan tanpa alasan. Bacalah data Kementerian Tenaga Kerja yang disampaikan Dengarlah Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, B Satrio Lelono. Dia mencatat 2,8 juta orang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan gara-gara corona.

Dengan stimulus itu, Badar berharap para perantau tak balik kampung, yang bisa saja membawa virus corona. Sehingga, stimulus itu diharapkan bisa mencegah Covid-19 sampai ke kampung-kampung.  

Badar sadar betul ekonomi sedang goyang. Dia juga khawatir warganya di perantauan kesulitan mengepulkan dapur. Stimulus itu sudah diusulkan ke pemerintah di atasnya. “ Tapi belum ada respons,” tambah dia.

2 dari 2 halaman

Di desa, Badar sekuat tenaga mendorong roda ekonomi agar tetap berputar. Meski sebagian besar petani, tak menutup kemungkinan corona menjebol dompet-dompet warganya. Karena itulah pasar tetap dibuka. Tapi dengan prosedur ketat.

“ Kita siapakan tempat-tempat mencuci tangan. Semua harus pakai masker. Tidak boleh berkerumun,” tambah dia.

Badar juga punya jurus pamungkas. Jaga-jaga untuk kondisi terburuk. Dia ingin anggaran Rp200 juta yang diterima Badan Usaha Milik Desa dibelanjakan bahan pangan. Kebutuhan itu disimpan di lumbung desa.

Sehingga, bila Talunombo ditutup total, mereka sudah siap. Warga tak perlu khawatir kelaparan. Lumbung itu tinggal dibuka, isinya dibagikan. Sehingga warga bisa menghadapi pandemi dengan perut kenyang. Tenang.

“ Jika tidak terjadi kemungkinan terburuk, alhamdulillah. Beras bisa dijual lagi atau dibagikan kepada warga kurang mampu melalui program bansos,” terang dia.

Badar hanyalah satu dari ribuan kepala desa yang telah berusaha semampu mereka untuk menanggulangi virus corona. Dalam kondisi pandemi ini, dia berharap pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Terutama rakyat kecil seperti warga Talunombo itu.

“ Tidak harus potong gaji, mengambil kebijakan yang tepat itu lebih penting,” harap Badar.

Beri Komentar