Gajah Sumatera | Foto: Dok. Kementerian Kehutanan
DREAM.CO.ID – Kelangsungan hidup Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Pulau Sumatera kini menghadapi ancaman eksistensial yang serius. Data teranyar dari dua kantong habitat utama, yakni Bengkulu dan Riau, menunjukkan tren penurunan populasi yang berjalan linear dengan laju kerusakan hutan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit ilegal dan pembalakan liar.
Di Provinsi Riau, kondisi kritis terlihat jelas di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan. Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro, mengonfirmasi adanya penurunan jumlah individu gajah liar di kawasan yang tersisa seluas 83.000 hektare tersebut.
Berdasarkan data monitoring terbaru yang dirilis Selasa (25/11), estimasi populasi gajah di Tesso Nilo saat ini hanya berkisar 150 ekor. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan data tahun 2004 yang mencatat keberadaan sekitar 200 individu.
Menurut Heru, faktor determinan penurunan ini adalah hilangnya hutan primer yang berfungsi vital sebagai " apotek alam" . Alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur membuat gajah kesulitan mendapatkan pakan beragam dan tanaman obat alami yang krusial bagi imunitas serta kesehatan kawanan gajah liar.
“ Gajah itu butuh hutan primer atau hutan alami. Karena di situ tempat makanan yang beragam, termasuk obat-obatan untuk dia. Makanya penting menjaga Tesso Nilo, karena itu apoteknya satwa liar,” jelasnya dikutip dari GoRiau, 27 November 2025.
Masifnya perambahan di Tesso Nilo telah memicu respon keras dari pemerintah pusat. Kementerian Kehutanan RI melaporkan telah mengirimkan pasukan gabungan tambahan yang terdiri dari 30 personel TNI dan 20 polisi kehutanan ke lokasi pada Selasa (25/11). Pengerahan ini dilakukan pasca-perusakan pos komando Satuan Tugas (Satgas) Kehutanan oleh massa yang menolak penertiban.
Satgas Kehutanan, yang beroperasi intensif di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tercatat telah menyita sekitar 4.700 hektare lahan sawit ilegal di kawasan taman nasional tersebut. Operasi ini mencakup pemutusan akses jalan dan perobohan infrastruktur perkebunan ilegal.
" Operasi penegakan hukum kami di Tesso Nilo dirancang untuk memutus mata rantai bisnis yang merusak kawasan ini, bukan untuk mengorbankan masyarakat. Fokus kami tertuju pada pemilik lahan, pemodal, dan operator alat berat yang berbisnis di dalam kawasan hutan negara," tegas Dwi Januarto Nugroho, pejabat senior Kementerian Kehutanan, dilansir dari Reuters, 27 November 2025.
© Deforistasi di Lanskap Seblat, Bengkulu | Foto: Dok. IPB
Situasi serupa terjadi di lanskap Seblat, Bengkulu. Guru Besar Ekologi dan Manajemen Satwa Liar IPB University, Prof. Burhanuddin Masyud, memaparkan data deforestasi yang mengkhawatirkan.
Dalam periode singkat antara Januari 2024 hingga Oktober 2025, tercatat 1.585 hektare habitat gajah telah hilang. Angka deforestasi tersebut belum memperhitungkan estimasi 4.000 hektare area perambahan ilegal yang diduga kuat telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Burhanuddin menekankan bahwa ancaman terbesar bukan hanya pada berkurangnya luasan hutan, melainkan pada fragmentasi habitat. Terputusnya koridor migrasi musiman, seperti yang terjadi di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis, berdampak fatal pada siklus biologi gajah. Terhambatnya pertemuan antar-kelompok untuk kawin secara langsung menekan angka reproduksi dan mempercepat kepunahan lokal.
" Jika koridor musiman hilang, sinkronisasi perilaku fisiologis untuk kawin dapat terganggu. Ketika reproduksi terganggu, penurunan populasi menjadi tak terhindarkan," tegas Burhanuddin dalam keterangan tertulisnya.
Kerusakan habitat gajah ini terbukti membawa dampak ekologis luas yang merugikan manusia. Di Pelalawan, degradasi hutan di hulu Sungai Nilo yang berada di dalam kawasan TNTN telah memicu bencana hidrometeorologi rutin.
Heru Sutmantoro mencatat bahwa Desa Air Hitam dan Lubuk Kembang Bunga kini menjadi langganan banjir tahunan akibat hilangnya daya serap air di area tangkapan hujan.
“ Hulu sungainya kan ada di Taman Nasional Tesso Nilo. Sungai Nilo yang bermuara ke Sungai Kampar itu hulunya di Tesso Nilo. Jadi bukan hanya gajah yang terdampak, tapi kehidupan manusia juga mengalami masalah,” pungkas Heru.
Sebagai langkah strategis, Prof. Burhanuddin menekankan pentingnya koordinasi antarlembaga untuk segera melakukan pemetaan ulang wilayah jelajah gajah secara komprehensif, terutama pada area-area yang terhubung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Ia juga menyoroti keharusan implementasi ketat Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, khususnya terkait penetapan area pelestarian seperti koridor ekologis dan kawasan bernilai konservasi tinggi.
Selain itu, pengembangan wilayah konservasi gajah menggunakan pendekatan flying squad dianggap sebagai solusi realistis yang terbukti efektif di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Program ini, kata dia, tidak hanya berfungsi untuk mereduksi konflik, tetapi juga membuka peluang bagi wisata edukasi bagi masyarakat.
Advertisement
Berawal dari Perasaan Senasib, Komunitas Kuda Klub Eksis 10 Tahun Patahkan Mitos `Mobil Malapetaka`

Siklon Tropis Senyar: Dari Bibit 95B hingga Awan Ekstrem di Sumatera

Sentuh Minoritas Muslim, Dompet Dhuafa Salurkan Bantuan hingga Pelosok Samosir


Konflik Panas di PBNU: Syuriah Bikin Surat Edaran Pemberhentian, Ketum Gus Yahya Sebut Tak Sah


Dulu Hidup Sebagai Tunawisma, Ilmuwan Ijeoma Uchegbu Raih Gelar Tertinggi dari Raja Inggris
Penampilan Alya Zurayya di Acara Dream Day Ramadan Fest 2023 Day 6

Kuliner Ekstrem asal Islandia Ini Pakai Daging Beracun Ikan Hiu Greenland, Berani Makan?



Habitat Terus Tergerus Masif, Populasi Gajah Sumatera Kian Terdesak ke Ambang Kepunahan


Hore! Bansos PKD Periode November 2025 untuk 216 Ribu Warga Jakarta Sudah Cair