Kebiasaan Minum Jamu Sudah Dilakukan Sebelum RI Merdeka (Javanologi UNS)
Dream – Hari itu Youtuber Jerome Polin tengah berkumpul dengan tiga kawannya yang dia sebut Wasedayboys. Wasedaboys adalah grup pertemanan Jerome Polin selama kuliah di Waseda University di Jepang. Ketiga temannya itu asli orang Jepang, Mereka adalah Tomohiro Yamashita, Yusuke Sakazaki, dan Ryoma Otsuka.
Dalam video berjudul “ Reaksi Wasedaboy Coba Minum Jamu Pertama Kalinya! Ngakak” itu terlihat Jerome tengah memperkenalkan jamu sebagai minuman tradisional Indonesia.
Pada uji coba pertama, ketiga sahabatnya dan Jerome meminum jamu beras kencur. Meski menurut warga Jepang itu baunya menusuk, mereka tidak terlalu mengeluh akan reaksinya. “ Rasanya hangat,” ujar salah satu Wasedaboys.
Lalu mereka kemudian mencoba jamu kedua: kunir asem. Dari sini ketiganya kontan tersentak. Wajah mereka langsung pucat pasi setelah menenggak kunir asem. “ Pahit betul,” kata salah satu Wasedaboys.
Bahkan ada yang langsung berlari setelah menenggak kunir asem. Ia kemudian datang dengan wajah pias. “ Sampai keluar air mata,” akunya jujur.
Begitulah reaksi orang Jepang saat diminta pertamakali mencoba jamu.
Jamu sendiri telah resmi diajukan ke UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 7 April 2022 lalu.
Pengajuan jamu ke UNESCO telah dilakukan sesuai dengan standar dan kaidah yang telah ditetapkan oleh UNESCO. Adapun proses riset dilakukan oleh Tim Riset Jamupedia, sebuah lembaga riset dan pengarsipan budaya sehat jamu, sejak bulan Juni 2021.
Riset yang melibatkan ratusan pelaku langsung budaya sehat jamu itu mencakup dari para perajin jamu, penjual jamu gendong, hingga konsumen jamu yang ada di empat provinsi di Indonesia yaitu Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Lalu bagaimana dengan sejarah jamu di Indonesia? Berikut sejarah jamu menurut buku “ The Power of Jamu” yang ditulis oleh Dr. Martha Tilaar dan Prof. Dr. Ir. Bernard T. Wijaya, MM, dan “ Jurnal Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia,” karya Ernie H. Purwaningsih, Departemen Farmasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang terbit tahun 2011 seperti dikutip Jamupedia.
1. Masa Prasejarah
Penyakit yang diderita oleh manusia purba beraneka ragam, meskipun bukti-bukti yang diperoleh hanya dari tulang dan gigi. Jumlah Pithecanthropus pada masa ini terlalu kecil untuk penarikan kesimpulan mengenai penggunaan biomedisin sebagai terapi penyembuhan. Studi tentang penggunaan biomedisin lebih pada penelitian fosil feses dan sampah dapur.
Namun salah satu petunjuk tertua yang mengindikasikan rakyat di tanah Jawa memanfaatkan ramuan herbal untuk kesehatan adalah dengan ditemukannya fosil berupa lumpang, alu, dan pipisan yang terbuat dari batu. Kalau anggapan itu benar, jamu sudah dikenal sejak zaman Mesolitikum.
Zaman Mesolitikum dikenal juga dengan nama zaman Batu Pertengahan atau zaman Batu Madya. Zaman ini berlangsung antara tahun 10.000 - 5.000 Sebelum Masehi (SM).
2. Masa Pra Kolonial
Bukti paling awal mengenai penggunaan jamu ditemukan pada abad ke-8 Masehi. Pada dinding Candi Borobudur terdapat relief pohon Kalpataru, yakni pohon mitologis yang melambangkan ‘kehidupan abadi’. Di bawah pohon terdapat relief orang menghancurkan bahan-bahan untuk pembuatan jamu. Ditemukan juga relief perempuan sedang mencampur tanaman untuk pemulihan dan perawatan tubuh.

(Relief di Candi Borobodur/Liputan6)
Bukti penggunaan ramuan herbal pada relief di Candi Borobudur dan Candi Prambanan itu menunjukkan tradisi jamu sudah ada antara abad ke-8 hingga abad ke-9. Pada abad ke-12 ada Candi Penataran yang juga memuat relief serupa.
Dokumen lain ditemukan di Bali. Ditulis pada daun lontar kering. Pada umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa Kuna. Usada Bali menguraikan penggunaan jamu. Diperkirakan Usada Bali ditulis antara 991-1016 M.
Pada abad ke-15 hingga ke-16, Primbon Kartasuro juga memulai penggunaan istilah Djamoe (jamu).
3. Abad ke-19 dan Era Kolonial
Memasuki abad ke-19, ada Serat Centini yang menguraikan berbagai hal tentang jamu. Yang ditulis Kanjeng Gusti Adipati Anom Mangkunegoro III antara tahun 1810 – 1823.

(Serat Centini/Jamupedia)
Pada tahun 1850, R. Atmasupana mengkurasi sekitar 1.734 ramuan jamu. Dari bukti-bukti tersebut bisa dikatakan jamu adalah unsur penting bagi kehidupan rakyat Nusantara, khususnya di Jawa. Penggunaan jamu di luar Jawa tidak memiliki pencatatan yang baik, sehingga masih susah dilacak.
Sejarah jamu di masa kolonial bisa dibilang sedang berjaya. Dahulu, orang-orang Eropa mengalami penyakit baru karena mereka tinggal di daerah tropis di Nusantara. Mereka kesulitan mengobati penyakit tersebut, selain karena karakter penyakit berbeda, obat kiriman dari negara asal lama baru sampai dan banyak yang rusak selama perjalanan. Karena hambatan itu, para dokter dan peneliti mulai melirik kebiasaan warga lokal yang menggunakan ramuan herbal untuk pengobatan.
Laman insideindonesia.org menerbitkan laporan tentang sejarah jamu berjudul The Triumph of Jamu karya Hans Pols pada 2010. Dalam laporan tersebut dinyatakan para dokter dan peneliti dari Belanda, Inggris, hingga Jerman sangat tertarik untuk meneliti jamu. Hasil dari penelitian itu ada yang dibukukan, antara lain, Practical Observations on a Number of Javanese Medications karya dr. Carl Waitz yang terbit pada 1829. Buku tersebut menjelaskan ramuan herbal dari Jawa bisa menggantikan obat yang biasa dipakai di Eropa. Beberapa temuan Carl adalah rebusan sirih bisa mengobati batuk, rebusan kayu manis untuk meringankan demam, daun kayu manis digunakan untuk meringankan gangguan pencernaan.
Pada tahun 1850, ahli kesehatan asal Belanda, Geerlof Wassink menginstruksikan kepada para dokter agar menggunakan herbal untuk pengobatan. Hasil dari praktik para dokter itu kemudian dipublikasikan dalam jurnal Medical Journal of the Dutch East Indies.

(Pembuat jamu/Javanologi UNS)
Penelitian yang lebih mendalam dilakukan di Kebun Raya Bogor. Pada 1892, ahli farmasi Willem Gerbrand berhasil membuktikan efek jamu secara farmakologis. Ia berhasil mengisolasi bahan aktif tanaman yaitu morfin, kinin, dan koka. Dari ketiga bahan tersebut khasiat jamu bisa dibuktikan secara ilmiah. Setelah itu terbitlah Materia Indica. karya dr. Cornelis L.van der Burg, buku setebal 900 halaman itu merangkum pemanfaatan jamu di Indonesia.
4. Tahun 1900
Pada awal tahun 1900-an penggunaan jamu mengalami penurunan cukup drastis karena penemuan terbaru tentang bakteri oleh Louis Pasteur. Selain itu, penemuan Sinar X juga memberi andil jamu semakin ditinggalkan. Meski demikian, di Indonesia justru muncul pengusaha-pengusaha jamu yang beberapa di antaranya nantinya menjadi pabrik jamu multi-nasional. Pabrik-pabrik tersebut antara lain, Jamoe Iboe (1910), Jamu Jago (1918), Nyonya Meneer (1919) dan Sido Muncul (1940).
Memasuki tahun 1930, kondisi pasca-perang membuat dunia belum stabil. Salah satu efeknya adalah mahalnya harga obat. Oleh karena itu, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai langkah preventif.
Pada tahun 1939, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunjukkan ketertarikan terhadap jamu dengan diadakannya konferensi. Dalam konferensi itu diundang dua pengobat tradisional yang kemudian mempraktikkan pengobatan menggunakan jamu di depan dokter-dokter peserta konferensi. Masih di tahun 1939, di Kota Solo, Jawa Tengah diadakan Konferensi I Jamu yang dihadiri juga oleh para dokter.
Hampir 30 tahun berselang, Kota Solo kembali menjadi tuan rumah Konferensi II Jamu pada 1966. Konferensi tersebut bertujuan untuk kembali mempromosikan jamu setelah seolah-olah tenggelam akibat efek perang dan krisis sosial ekonomi, terutama di Pulau Jawa.
Pada 1978 para peneliti jamu mendirikan Himpunan Ahli Bahan Alami Indonesia (HIPBOA). Anggotanya kebanyakan apoteker dan beberapa dokter. Salah satu dokter yang turut mendirikan HIPBOA adalah dr. Sardjono Oerip Santoso. Dua tahun berdiri, HIPBOA akhirnya berganti nama menjadi Perhimpunan Peneliti Bahan Alam (PERHIPBA).
Semakin berkembangnya pabrik-pabrik jamu dan semakin bermunculannya pengusaha jamu, maka pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melindungi para konsumen.
Pada 1990 diteken Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/MENKES/PER/V/1990 yang mengatur izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional. Kemudian ada Keputusan Menteri Kesehatan No.584/MENKES/SK/VI/1995 tentang Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
5. Era Abad ke-21
Kemajuan zaman bisa dibilang membawa angin segar untuk jamu, meski bukan berarti tanpa hambatan. Memasuki tahun 2000-an, semakin banyak seminar dan konferensi yang mempromosikan manfaat jamu. Pada 2007 beberapa kementerian menyusun road map tentang jamu atau obat tradisional Indonesia. Di bawah koorinator Kementerian Ekonomi dan Industri, akhirnya dibentuklah event nasional Hari Kebangkitan Jamu. Pada 28 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sedang naik daun, muncullah beberapa peraturan pemerintah yang mendukung pemanfaatan jamu di ranah medis. Salah satunya Keputusan Menteri Kesehatan No.121 tahun 2008, tentang standar pelayanan medik herbal. Kemudian UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehaan. Di pasal 48 UU tersebut dituliskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional termasuk dari 17 upaya kesehatan.
Upaya pemerintahan itu juga didukung IDI yang mulai membentuk Bidang Kajian Pengobatan tradisional pada 2009. Untuk lebih memberi rasa aman pada konsumen jamu, Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM juga secara bertahap menerbitkan aturan klasifikasi obat tradisional yang layak edar.
Memasuki tahun 2018 hingga sekarang, jamu semakin dekat dengan masyarakat dan menjangkau lebih banyak rentang usia. Salah satunya karena munculnya berbagai inovasi olahan jamu. Kafe-kafe dengan menu jamu kekinian semakin hari semakin menarik minat generasi muda. Selain itu perkembangan teknologi juga membantu distribusi jamu menjadi semakin mudah.
6.Perkembangan Jamu di Luar Jawa
Jamu selalu diidentikkan dengan Jawa. Benar jika dikatakan kata jamu berasal dari bahasa Jawa. Namun jamu seperti halnya batik (yang berasal dari bahasa jawa, tetapi penggunaannya juga digunakan untuk komoditas sejenis dari wilayah lain, misalnya Batik Palembang, Batik Cirebon, Batik Papua, dan lain-lain).
Nusantara adalah rumah bagi berbagai jenis tanaman obat dan racikan aneka jamu. Misalnya, pada tahun 1977 sebuah tim peneliti di Kendari, Sulawesi Tenggara menemukan 449 obat herbal yang masih digunakan. Penemuan ini tidak termasuk puluhan campuran herbal yang belum memiliki hak paten dan hanya diketahui penduduk setempat.
Tentu masih banyak lagi jamu-jamu dari berbagai wilayah Indonesia lainnya. Kita bisa lacak kebudayaan jamu di berbagai wilayah di Indonesia. Pertama Kalimantan, provinsi yang memiliki curah hujan cukup tinggi serta keanekaragaman alam terkaya di dunia. Menurut beberapa literatur, Suku Dayak berhasil mengidentifikasi berbagai tanaman obat yang memiliki sifat untuk penyembuhan. Sedikitnya ada 4.000 spesies tanaman ditemukan di Kalimantan yang memiliki potensi besar untuk obat-obatan baru.
Di Tonsea Minahasa, jamu diracik dengan cara yang sangat sederhana, yaitu berupa ramuan daun segar, tanaman obat yang dikeringkan, ada juga bentuk rebusan, dan ramuan untuk campuran saat mandi seperti preparat asap dan preparat uap. Masyarakat Minahasa terbiasa menggunakan temulawak (tumbulawa), kunyit (kuni), daun tapak kuda (to’dong noat), kumis kucing (makumi nemeong), kencur (sukur), daun sirih (douna), buah pinang (mbua), pare (paria), pala, cengkeh, jahe (sedep), kucai (dansuna kayu), bawang putih (dansuna puti), dan terong (poki-poki) sebagai tanaman obat.
Sejak abad ke-15 Ambon terkenal sebagai pusat perdagangan rempah. Kekayaan alam ini telah menarik perhatian bangsa lain, salah satunya adalah George Everhard Rumphius yang kemudian mengunjungi Ambon dan menulis buku Herbarium Amboinense pada abad ke-17. Buku ini memuat berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah Ambon dan Maluku, termasuk tumbuhan rempah, obat, dan sebagainya.

(Buku Herbarium Amboinense/Biodiversity Heritage Library)
Di Bali kita akan menemukan berbagai lontar-lontar yang berisi berbagai upaya pengobatan tradisional dan ramuan obat. Ramuan tradisional di Bali diracik dengan cara yang sederhana, misalnya tanaman obat diiris-iris tipis kemudian ditempelkan di tempat yang sakit, contohnya bawang putih dan mentimun. Selain itu, ramuan digiling halus kemudian ditempel di tempat yang sakit atau diseduh dengan air mendidih atau direbus atau bisa juga dengan diperas. Bahkan ada beberapa tanaman obat yang dikonsumsi sebagai lalapan. Tanaman-tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat Bali tidak banyak berbeda dengan yang digunakan oleh etnis Jawa, seperti jahe, kunyit, sirih, pinang muda, asam kawak, dan masih banyak lagi yang lainnya
Di Madura, kebiasaan minum jamu sudah mendarah daging secara turun temurun. Hingga ada ungkapan di sana: lebih baik tidak makan daripada tidak minum jamu. Jamu tersebut umumnya berupa jamu siap minum yang berupa pil atau seduhan dari bentuk kemasan yang bisa dibisa dibeli di toko-toko jamu. Wanita Madura dan orang Madura pada umumnya lebih menyukai minum jamu berupa seduhan karena lebih kuat dari segi rasa maupun aromanya. Dikatakan pula bahwa khasiatnya lebih nyata daripada minum jamu berupa pil atau serbuk.
Maka, tak mengherankan kini jamu kini telah resmi diajukan pemerintah Indonesia ke UNESCO untuk dimasukkan sebagai warisan budaya tak benda. Semoga usul ini diterima karena dalam sejarahnya jamu memang sudah dikenal bangsa Indonesia bahkan sejak era 10.000-5.000 Sebelum Masehi. Sebuah sejarah yang panjang. (eha)
Sumber: Youtube dan Jamupedia
Advertisement
Makin Sat Set! Naik LRT Jakarta Kini Bisa Bayar Pakai QRIS Tap

Toyota Rehabilitasi Toilet di Desa Wisata Sasak Ende, Cara Bangunnya Seperti Menyusun Lego

Bye Kering & Kaku, 7 Tips Agar Rambut Pria Terasa Lembut

Ferry Irwandi Galang Donasi Banjir Sumatera Tembus Rp10 Miliar: dari Rakyat untuk Rakyat

Ada Kuota 5 Persen Jemaah Haji Lansia di Setiap Provinsi, Ini Ketentuannya


PLN Percepat Pemulihan Jaringan Listrik di 3 Wilayah Bencana

Potret Persaingan Panas di The Nationals Campus League Futsal 2025

PNS Dihukum Penjara 5 Tahun Setelah Makan Gaji Buta 10 Tahun

Ada Kuota 5 Persen Jemaah Haji Lansia di Setiap Provinsi, Ini Ketentuannya

Makin Sat Set! Naik LRT Jakarta Kini Bisa Bayar Pakai QRIS Tap

Mahasiswa UNS Korban Bencana Sumatera Bakal Dapat Keringanan UKT

Toyota Rehabilitasi Toilet di Desa Wisata Sasak Ende, Cara Bangunnya Seperti Menyusun Lego