Masjid Nabawi Di Madinah (Foto: Shutterstock.com)
Dream - Madinah menjadi sangat tidak kondusif secara politik dan sosial di masa-masa awal pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Fitnah merebak luas, menimbulkan gejolak di lingkungan pemerintahan Khalifah Ali.
Fitnah itu mulai muncul setelah tewasnya Khalifah Utsman bin Affan di tangan pemberontak. Khalifah Utsman dihabisi ketika sedang membaca Alquran pada 17 Juni 656 Masehi.
Pemicu pemberontakan itu adalah rasa tidak puas atas kepemimpinan Khalifah Utsman yang tidak ada batasan usia. Utsman memegang jabatan Amirul Mukminin selama 12 tahun sebelum meninggal di usia 79 tahun.
Sebenarnya, Khalifah Utsman mencatatkan prestasi gemilang di enam tahun pertama kekuasaannya. Muncul gejolak lantaran tidak ada batasan usia bagi kekuasaan Khalifah Utsman, padahal saat itu dia dianggap sudah sepuh.
Karena usianya sudah tua, Khalifah Utsman tidak mampu lagi mengontrol negara yang wilayahnya sudah sangat luas melewati batas Jazirah Arab. Tetapi, dia tidak diganti sehingga muncul kelompok yang ingin memberontak kekuasaan.
Pemberontak berhasil menguasai Madinah selama lima hari. Setelah terbunuh, jenazah Khalifah Utsman tidak bisa dimakamkan sampai tiga hari.
Melalui berbagai cara, akhirnya jenazah Khalifah Utsman bisa dimakamkan namun di tempat yang tidak biasa, bukan di dekat makam Rasulullah dan dua khalifah sebelumnya.
Kemudian, Ali bin Abi Thalib dibai'at sebagai Amirul Mukminin menggantikan Utsman pada 24 Juni 656 Masehi, tepatnya hari ketujuh dari wafatnya Utsman.
Lalu muncul beberapa suara yang menggugat pemilihan Ali sebagai khalifah. Suara-suara itu mempertanyakan legalitas pemilihan Khalifah Ali, mengingat jumlah sahabat Rasulullah di Madinah kala itu sangat sedikit.
Banyak sahabat yang menyebar ke luar Madinah seiring meluasnya daerah kekuasaan Islam. Termasuk pula Muawiyah yang menjabat sebagai Gubernur Damaskus. Mereka merasa suaranya tidak didengar dan tidak terwakili dalam pemilihan Khalifah Ali.
Dua sahabat yaitu Thalhah dan Zubair bergerak ke Mekah untuk menemui istri Rasulullah, Aisyah, yang sedang melaksanakan umroh. Mereka menyampaikan kabar tewasnya Khalifah Utsman dan diangkatnya Ali sebagai penggantinya.
Mendengar kabar itu, Aisyah memutuskan bertahan di Mekah. Dia juga meminta Khalifah Ali untuk menindak dan mengadili para pembunuh Khalifah Utsman.
Khalifah Ali meminta umat untuk tenang lebih dulu dan tidak segera mengambil tindakan terhadap para pemberontak. Karena sikap itulah, muncul fitnah yang menyebut Khalifah Ali terlibat dalam aksi pemberontakan tersebut.
Kemudian, Thalhah bersama Zubair mengawal Aisyah bergerak ke Basrah. Mereka kemudian menggalang kekuatan melawan Khalifah Ali.
Khalifah Ali meminta penduduk Madinah bersiap perang, namun tidak segera digubris. Alhasil, Khalifah Ali butuh waktu lebih untuk menggalang pasukan.
Terjadilah perang antara Khalifah Ali dengan 20 ribu pasukan melawan Aisyah dengan 30 ribu pasukan. Catatan sejarah menyebut ada 18 ribu pasukan Islam dari kedua belah pihak tewas dalam peperangan tersebut, sedangkan tiga ribu lainnya luka-luka.
Pertempuran itu dimenangkan oleh Khalifah Ali. Setelah kalah, Aisyah diantarkan menuju Madinah dengan pengawalan ketat sekaligus penuh penghormatan.
Usai perang, Khalifah Ali terpaksa tidak kembali ke Madinah. Suasana kota itu tidak kondusif bagi Khalifah Ali karena ada pendukung Khalifah Usman masih marah dan istri Rasulullah baru saja dikalahkan menetap di sana.
Hendak ke Damaskus, di sana ada Muawiyah yang juga mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Khalifah Ali. Di Mekah, pengaruh Aisyah sudah terlampau kuat dan kota ini menjadi basis penggalangan kekuatan Istri Rasulullah.
Pergi ke Basrah juga tidak memungkinkan. Karena Aisyah bersama Thalhah dan Zubair sudah menanamkan pengaruhnya lebih dulu.
Akhirnya, Khalifah Ali memutuskan pergi ke Kuffah sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Madinah ke sana. Rupanya, keputusan itu membawa dampak luar biasa.
Dari Kuffah, Khalifah Ali bisa memantau pergerakan pemberontak di Madinah dan Mekah. Pertimbangan lainnya, untuk menjaga kesucian dua kota tersebut.
Kesucian Madinah dikotori aksi pemberontak yang telah menumpahkan darah Khalifah Utsman. Sementara di Mekah, Kabah menjadi pertaruhan jika terjadi peperangan.
Hal ini terbukti ketika Abdullah bin Zubair menjadikan Mekah sebagai basis perlawanan melawan Khalifah Muawiyah beberapa tahun kemudian. Dia tidak hanya terbunuh di sekitar Kabah, bahkan Mekah membara akibat serangan panah berapi.
Kabah yang suci itu juga terbakar. Bahkan kesuciannya tercemar oleh tumpahan darah korban perang kala itu.
Tepatlah keputusan pemindahan Ibu Kota yang dilakukan Khalifah Ali. Dengan menjadikan Kuffah sebagai pusat pergerakan, kesucian Madinah dan Mekah dapat dijaga.
(ism, Sumber: Islami.co)
Advertisement
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini
Masa Tunggu Haji Dipercepat, dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun
Viral Laundry Majapahit yang Bayarnya Hanya Rp2000
NCII, Komunitas Warga Nigeria di Indonesia
9 Kalimat Pengganti “Tidak Apa-Apa” yang Lebih Hangat dan Empatik Saat Menenangkan Orang Lain
PT Taisho Luncurkan Counterpain Medicated Plaster, Inovasi Baru untuk Atasi Nyeri Otot dan Sendi
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
Hasil Foto Paspor Shandy Aulia Pakai Makeup Artist Dikritik, Pihak Imigrasi Beri Penjelasan
Zaskia Mecca Kritik Acara Tanya Jawab di Kajian, Seperti Membuka Aib