Dream - Suriname adalah sebuah negara di Amerika Selatan yang terkenal dengan keberagaman etnisnya.
Salah satu kelompok etnis yang cukup mencolok di Suriname adalah orang Jawa.
Mereka bisa berada di Suriname setelah imigrasi besar-besaran yang berlangsung hampir setengah abad dalam rentang tahun 1890 hingga 1939.
Di antara sekitar 33 ribu orang Jawa yang dipindahkan Belanda ke Suriname adalah Mbah Sakinem.
Dia menjadi salah satu saksi hidup perjalanan dramatis para imigran Jawa menuju Suriname.
Usia Mbah Sakinem saat ini sudah mencapai 103 tahun. Artinya ia lahir sekitar tahun 1921 dan berangkat ke Suriname tahun 1934.
Ketika usianya baru 13 tahun, Mbah Sakinem berlayar ke Suriname bersama orangtua dan dua adiknya.
Melansir kanal YouTube Surindo Family, Mbah Sakinem mengaku berasal dari Desa Krasak.
Desa ini kemungkinan di Tempel, Muntilan, yang terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Bersama orangtua dan dua adik kandungnya, ia melakukan perjalanan jauh menuju Suriname.
Mbah Sakinem masih teringat awal mula dia dan keluarganya bisa 'terdampar' hingga Suriname.
Waktu itu lurah setempat mengiming-imingi warga desa yang ingin memperbaiki nasib.
Katanya, jika mau merantau dan bekerja di Suriname, upah yang diterima jumlahnya lumayan.
" Kalau bapak dibayar 6 ketip, sedangkan ibu diupah 4 ketip," kenang Mbah Sakinem.
Tergiur kata-kata lurah, rombongan Mbah Sakinem dan adiknya Waginem berangkat malam dengan berjalan kaki meninggalkan desa.
Setelah sampai di satu titik, mereka diangkut dengan kendaraan truk menuju Depo Gondomanan, Yogyakarta.
Dari depo tersebut, Mbah Sakinem bersama rombongannya melanjutkan perjalanan dengan kapal bernama Kapal Djember.
Mereka melewati perjalanan laut yang melelahkan selama 55 hari atau kurang dari dua bulan.
Perjalanan Mbah Sakinem ke Suriname ini lebih cepat dari pemberangkatan imigran Jawa tahun-tahun sebelumnya.
Masalahnya, pemberangkatan Kapal Djember tidak singgah di Belanda seperti sebelumnya yang butuh waktu 3 bulan perjalanan laut.
Seingat Mbah Sakinem, penduduk Jawa yang dibawa Belanda ke Suriname sekitar 500 orang.
Selama perjalanan, para imigran Jawa ini mendapat makan dua kali sehari, pagi dan sore.
Mereka makan berupa ransum nasi dan lauk dencis atau kornet tanpa sayur sama sekali.
Rombongan kapal Mbah Sakinem akhirnya tiba di Suriname, tepatnya di kota pelabuhan Prelan.
Sampai di sana, keluarga Mbah Sakinem ditampung sementara di Depo Stat Nomor 10.
kenang Mbah Sakinem saat baru tiba dari Jawa di Suriname.
Mbah Sakinem tidak boleh bekerja karena masih terlalu muda. Dia hanya diminta menjaga adik-adik yang masih kecil.
Setelah tiga bulan tinggal di depo pelabuhan, Mbah Sakinem dan keluarganya dipindahkan ke desa.
Di sana, mereka dibiarkan bertahan hidup sendirian dengan imigran lain yang berasal dari Afrika.
Mbah Sakinem merasa lurah di Jawa telah membohonginya soal kehidupan yang lebih baik di Suriname saat itu.
Masalahnya, setelah dipindahkan ke desa, orangtua Mbah Sakinem diminta mencari pekerjaan sendiri di orang-orang India.
" Almarhum bapak saya kerja berhari-hari hanya dapat 5 talen," kata Mbah Sakinem.
Saat ini, Mbah Sakinem tinggal bersama anak angkat perempuan yang mendampinginya saat wawancara.
Anak angkatnya menceritakan bahwa ia telah tinggal bersama Mbah Sakinem sejak bayi.
Pada saat itu, Mbah Sakinem berusia 48 tahun dan masih memiliki suami.
Namun, suami Mbah Sakinem meninggal ketika anak angkatnya berusia 20 tahun.
Sejak saat itu, Mbah Sakinem menjalani hidup sendiri dan tidak menikah lagi hingga sekarang.