Ilustrasi Komet Di Langit. (Foto: Shutterstock)
Dream - Dalam literatur falakiyah klasik, komet disebut sebagai najm dhu dhu’aba atau kawkab dhu dhu’aba. Untuk memudahkan pengucapan, boleh disebut dhu’aib atau dhanab.
Meski sedikit berbeda tulisan dan pengucapannya, semua istilah itu memiliki arti yang sama. Yaitu bintang yang berambut atau bintang yang berekor.
Namun ada pendapat yang mengatakan, benda langit ini secara simbolik disebut najm tsaqib dan ini tertulis dalam Alquran, khususnya Surat ath–Thaariq ayat 3.
Dalam Surat ath–Thaariq ayat 1-2, Allah bersumpah dengan langit dan bintang yang datang di malam hari.
Kemudian di ayat 3, Allah menyebut bintang itu cahayanya sangat terang seakan-akan menembus kegelapan malam.
Bintang tersebut diinterpretasikan sebagai bintang yang bentuknya mirip mata tombak atau jarum, salah satu ciri khas penampakan komet.
Sayangnya, banyak yang mengaitkan benda langit seperti komet dengan malapetaka buruk yang bisa menghancurkan Bumi dan isinya.
Misalnya kabar baru-baru ini yang mengatakan akan ada benda langit menabrak Bumi pada malam Jumat, 15 Ramadhan 1441 Hijriyah. Seolah-olah kiamat bakal terjadi.
Namun kabar yang sempat viral itu ternyata hanya hoax sehingga warga Muslim dianjurkan tetap fokus pada ibadah di bulan Ramadhan.
Umat manusia sebenarnya sudah lama mengenal komet dalam sejarah peradabannya. Sayangnya, selama lebih dari 2.000 tahun terakhir, komet dan benda langit lainnya sering dikaitkan dengan malapetaka buruk.
Banyak ramalan-ramalan tentang penampakan komet dan meteor yang berpotensi menghancurkan Bumi dan seluruh isinya.
Tentang banyaknya ramalan-ramalan ini, pengurus Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), Ma'rufin Sudibyo, mengungkapkan penyebabnya.
Menurut ahli falak NU ini, biang keladi terbentuknya pemahaman ini adalah filsuf Yunani, Aristoteles. Ajarannya kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Padahal, kata Ma'rufin, catatan-catatan pengamatan komet dalam literatur falak klasik tidak memiliki ramalan-ramalan tersebut.
" Catatan-catatan pengamatan komet dalam literatur falak klasik yang membentang selama 8,5 abad, tepatnya dari tahun 57 H hingga 915 H, tidak menunjukkan kecenderungan tersebut," kata Ma'rufin.
Seperti yang diungkapkan oleh Ma'rufin, kemunculan komet yang dikaitkan dengan bencana atau malapetaka berawal dari Aristoteles.
Aristoteles mengaitkan komet Kreutz yang dilihatnya pada tahun 372 Sebelum Masehi. Hanya beberapa hari kemudian terjadi gempa besar Achaea yang menghancurkan kota Helice dan Buris.
Sejak itu Aristoteles memandang kemunculan komet sebagai tanda akan datangnya sebuah bencana atau malapetaka. Pemahaman yang salah ini terus bertahan hingga kini.
Namun, sebagai orang yang beriman, sebaiknya kita menyerahkan segala urusan yang berkaitan dengan maut dan bencana kepada Allah SWT.
Hanya Allah SWT yang tahu kapan dan bagaimana manusia itu akan meninggal dunia. Allah SWT juga yang tahu kapan kiamat itu akan tiba.
Sumber: NU.or.id
Advertisement
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik
Kebiasaan Pakai Bra saat Tidur Berbahaya? Cari Tahu Faktanya
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik