Ilustrasi Virus Corona Atau SARS-CoV-2. (Foto: Freepik.com)
Dream - Sebuah studi terbaru di China menemukan bahwa virus corona atau SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 memiliki kemampuan untuk bermutasi.
Sayangnya, kemampuan tersebut selama ini diremehkan oleh ilmuwan. Padahal, dengan mutasi ini, virus corona menghasilkan strain (keturunan) dengan sifat yang berbeda-beda.
Strain SARS-CoV-2 yang paling agresif dapat menghasilkan viral load 270 kali lebih banyak dibandingkan jenis yang paling lemah.
Selain itu, strain dengan sifat bermacam-macam ini dapat menyebabkan dampak penyakit yang berbeda di berbagai belahan dunia.
Profesor Li Lanjuan dan rekan-rekannya dari Universitas Zhejiang menemukan proses mutasi yang sebelumnya tidak dilaporkan dalam sekelompok kecil pasien Covid-19.
Mutasi tersebut begitu unik dan langka sehingga para ilmuwan tidak pernah menduga bahwa hal itu akan terjadi.
Mereka juga mengkonfirmasi untuk pertama kalinya dengan bukti laboratorium bahwa mutasi tertentu menghasilkan strain yang lebih mematikan daripada jenis lainnya.
" SARS-CoV-2 bisa melakukan mutasi secara substansial sehingga mampu mengubah sifat patogenisitas (kemampuan patogen untuk menyebabkan penyakit) pada keturunannya," kata Profesor Li.
Studi yang dilakukan Profesor Li memberikan bukti kuat pertama bahwa mutasi dapat memengaruhi seberapa ganas virus corona menyebabkan penyakit atau kerusakan pada inangnya.
Profesor Li mengambil pendekatan yang tidak biasa untuk menyelidiki mutasi virus corona.
Dia menganalisis strain virus yang diisolasi dari 11 pasien Covid-19 yang dipilih secara acak dari Hangzhou, ibu kota Provinsi Zhejiang.
Profesor Li kemudian menguji seberapa efisien strain virus corona itu dapat menginfeksi dan membunuh sel inangnya.
Hasilnya, mutasi virus corona yang paling mematikan pada pasien di Zhejiang juga telah ditemukan pada sebagian besar pasien di seluruh Eropa.
Sedangkan strain yang lebih 'jinak' ditemukan pada pasien di sebagian Amerika Serikat, seperti di negara bagian Washington.
Sebuah studi terpisah menemukan bahwa strain paling ganas ditemukan di New York yang diimpor dari Eropa. Tingkat kematian di New York serupa dengan di banyak negara Eropa. Bahkan lebih buruk.
Namun, menurut penelitian Profesor Li, mutasi yang lebih jinak tidak berarti menyebabkan risiko yang lebih rendah.
Di Zhejiang, dua pasien berusia 30-an dan 50-an yang tertular strain yang lebih jinak justru menderita sakit parah. Meski keduanya sembuh pada akhirnya.
Temuan ini bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan dalam hal mortalitas (angka kematian) akibat Covid-19 di berbagai negara di dunia.
Sayangnya, studi yang dilakukan Profesor Li ini masih menggunakan sampel virus dalam jumlah yang terlalu kecil.
Sedangkan studi sejenis lainnya melibatkan sampel SARS-CoV-2 dalam jumlah ratusan, bahkan ribuan.
Tim Profesor Li mendeteksi lebih dari 30 mutasi virus corona. Di antaranya terdapat 19 atau sekitar 60 persen mutasi baru
Sumber: SCMP
Advertisement
Style Maskulin Lionel Messi Jinjing Tas Rp1 Miliar ke Kamp Latihan
Official Genas, Komunitas Dance dari Maluku yang `Tularkan` Goyang Asyik Tabola Bale
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik
Kebiasaan Pakai Bra saat Tidur Berbahaya? Cari Tahu Faktanya
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Hj.Erni Makmur Berdayakan Perempuan Kalimantan Timur Lewat PKK
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Perusahaan di China Beri Bonus Pegawai yang Turun Berat Badan, Susut 0,5 Kg Dapat Rp1 Juta
Fakta-Fakta di Balik Meninggalnya Nandi Juliawan, Pemeran Encuy Preman Pensiun
Kisah-Kisah Ajaib Pestapora 2025: Dari Hujan Dadakan hingga Vokalis yang Nyaris Hilang di Kerumunan!