Pesawat Lion Air (Shutterstock.com)
Dream - Data Cockpit Voice Recorder merekam detik-detik terakhir kejadian di dalam ruang kemudi pesawat Lion Air JT610 yang jatuh ke Laut Jawa pada 28 Oktober 2018.
Menurut tiga sumber, sebagaimana dikutip dari The Straits Times, Kamis 21 Maret 2019, data rekaman CVR menunjukkan pilot asal India terdiam pada saat-saat akhir. Sementara, kopilot asal Indonesia memekik, " Allahu Akbar."
Dari data rekaman itu, diketahui bahwa pilot membuka buku panduan untuk mencari tahu masalah. Tapi sayang, mereka tak punya waktu untuk menyelamatkan Boeing 737 Max-8 yang mereka kendalikan.
Menurut laporan sementara yang dirilis pada November tahun lalu, sang kapten menjadi pengendali pesawat saat Lion Air JT610 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Sedangkan petugas pertama alias kopilot mengendalikan radio.
Hanya dua menit setelah lepas landas, kopilot melaporkan adanya 'masalah kontrol penerbangan' ke air traffic control atau ATC. Petugas pertama itu mengatakanbahwa pilot ingin mempertahankan ketinggian terbang 5.000 kaki atau 1,524 meter.
Kopilot itu tidak merinci masalah yang dialami pesawat berisi 189 orang itu. Namun salah satu sumber mengatakan kecepatan udara disebut dalam rekaman percakapan kokpit atau CVR. Sumber ke dua mengatakan indikator menunjukkan masalah pada layar kapten.
Kapten meminta kopilot memeriksa buku panduan, yang berisi daftar periksa untuk peristiwa abnormal. Selama sembilan menit berikutnya, jet itu memperingatkan pilot bahwa pesawat dalam kondisi stall dan mendorong hidung ke bawah sebagai respons.
Stall merupakan kondisi ketika aliran udara di atas sayap terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuat pesawat tetap terbang.
Kapten berusaha keras menaikkan pesawat, tetapi komputer --yang masih salah-- merasakan sebuah stall, terus menekan hidung pesawat menggunakan sistem trim. Biasanya, trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.
" Mereka tampaknya tidak tahu trim bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Itulah satu-satunya hal yang mereka bicarakan," kata sumber ke tiga.
Boeing menolak berkomentar atas temuan ini. Mereka beralasan proses penyelidikan masih berlangsung. Perusahaan asal Amerika Setikat itu menyebut ada dokumen prosedur untuk mengendalikan situasi tersebut.
Tapi laporan awal yang dirilis pada November lalu menyebut pesawat Lion Air yang sama mengalami masalah serupa pada malam sebelumnya, saat terbang dari Denpasar ke Bandara Soekarno-Hatta.
Malam itu, masalah bisa diatasi oleh kru yang saat itu menjalankan tiga langkah. Namun, kru tersebut tidak menyampaikan semua informasi tentang masalah yang mereka temui kepada kru yang bertugas berikutnya.
Dan, dalam penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta ke Pangkalpinang itu, pilot JT610 tetap tenang. Menjelang saat-saat akhir pesawat itu, kapten meminta kopilot menerbangkan pesawat. Sementara sang kapten memeriksa sistem manual untuk menyelesaikan masalah.
Satu menit sebelum pesawat raib dari radar, kapten meminta petugas ATC untuk mengamankan jalur di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki.
Menurut dua sumber, saat kapten yang berusia 31 tahun itu berusaha menemukan prosedur yang teppat untuk mengatasi masalah, kopilot tidak dapat mengendalikan pesawat.
Perekam data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir kopilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh sang kapten.
" Ini seperti ujian di mana ada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75," kata sumber ke tiga. " Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time-out."
Kapten kelahiran India itu terdiam pada saat-saat akhir. Sementara sang kopilot yang berwarga negara Indonesia memekik, " Allahu Akbar" .
Pesawat kemudian menabrak air, menewaskan 189 orang di dalamnya.