Rumah Makan Gratis, Kisah Sang Pemula Aditya Prayoga

Reporter : Edy Haryadi
Senin, 11 April 2022 18:00
Rumah Makan Gratis, Kisah Sang Pemula Aditya Prayoga
Ia bukan orang yang berkecukupan saat memulai rumah makan gratis.

Dream – Antrean orang-orang itu bergerak lambat. Di antara yang antre, ada yang mengenakan seragam hijau Gojek dan Grab. Ada juga nenek yang rambutnya sudah memutih. Tapi juga ada anak-anak. Semua golongan usia terlihat antre secara teratur.

Mereka berkumpul siang itu di akhir bulan Maret 2022 di Jalan Cilangkap Baru Nomer 9 A, RT 1 RW 1, Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Di depan pagar rumah itu ada spanduk besar bertulis “ Rumah Makan Gratis, Makan dan Minum Gratis Setiap Hari Tanpa Syarat.”

Satu persatu mereka yang antre lalu maju ke meja. Di sebelah kiri ada dua baskom nasi ukuran besar. Mereka mengambil piring anyaman rotan yang dilapis kertas coklat tahan air. Oleh petugas, di piring itu diletakkan nasi, tempe goreng, sayur sop, ayam, sambal dan terakhir telur balado. Begitulah menu yang dihidangkan siang itu sebelum masuk Ramadhan.

Setelah itu mereka memilih tempat untuk makan yang enak. Tidak banyak kursi yang tersedia. Sehingga lebih banyak yang duduk lesehan di lantai yang cukup luas itu. Mereka tidak terkena terik matahari, karena dinaungi tenda yang cukup besar.

Di sini siapa pun boleh makan secara gratis. Terlepas dari suku, agama, ras mereka. Atau pun bila mereka datang dengan mengendarai mobil mewah. Mereka semua boleh makan di sini tanpa syarat.

Setelah mereka selesai makan, ada yang langsung menuju ke tempat cuci tangan. Di sana mereka membasuh tangan dan mencuci gelas plastik yang mereka pakai. Satu dua orang malah ada yang masih ingin nambah. Dan mereka kemudian ikut antre lagi untuk tambah makanan.

Itulah suasana sehari-hari rumah makan gratis Cilangkap sebelum Ramadhan.  Setiap hari rumah makan gratis Cilangkap menyediakan 300 porsi makanan. Tak sampai sejam, biasanya jumlah itu langsung ludes tak bersisa.

Untuk bulan Ramadhan, rumah makan gratis ini menyediakan nasi kotak dan takjil yang bisa diambil sebelum buka puasa mulai jam 16.00 WIB. Dan saat sahur juga menyediakan nasi kotak mulai jam 3 pagi sampai Imsak.

Pendiri rumah makan gratis itu adalah Aditya Prayoga, 29 tahun. Ia mulai membuka rumah makan gratis pertama di Indonesia sejak tahun 2016 atau enam tahun lalu. Boleh dibilang dialah sang pemula dari rumah gratis yang kini sudah menyebar ke seantero Nusantara.

“ Saya hanya ingin berbagi,” kata Aditya Prayoga atau yang akrab disebut Adit saat dihubungi Dream.co.id pekan lalu. Padahal, dia boleh dibilang bukan orang kaya. Ia malah boleh disebut berasal dari keluarga pas-pasan.

***

Aditya Prayoga atau biasa dipanggil Adit lahir di Palembang 7 Juli 1992. Di Palembang, dia tinggal di Bukit Besar.

Ia belajar di SD 6 Bukit Besar. Lalu melanjutkan pendidikan di SMPN 17. Tapi dia cuma duduk sampai kelas I SMP. Ia terpaksa keluar SMP karena ekonomi orangtuanya pas-pasan dan tak mampu membiayainya melanjutkan pendidikan.

Aditya Prayoga, pendiri rumah makan gratis pertama

(Aditya Prayoga, pendiri rumah makan gratis pertama/koleksi pribadi)

Ia adalah anak pertama dari lima saudara. Ayahnya keturunan Jawa yang bekerja sebagai sopir angkot di kota Palembang, sedangkan ibunya yang asli Palembang hanya ibu tumah tangga biasa.

Ia mengaku sejak kecil sudah bekerja menjadi kenek bus kota. Itu dia lakoni sejak SD untuk mencari uang jajan dan membantu ekonomi keluarga.

Tahun 2006, karena tak bisa melanjutkan sekolah, pada usia 14 tahun, dia sempat merantau ke Jakarta. Di Jakarta dia hidup luntang-lantung sebelum akhirnya kembali ke Palembang tahun 2009.

Pada tahun 2009, akibat salah pergaulan, dia terjerumus ke lembah kriminal. Ia masuk penjara Palembang sejak tahun 2009 sampai 2011 karena kasus perkelahian dan perampokan. Ia saat itu nekat merampok karena terjepit secara ekonomi.

Selepas keluar dari penjara tahun 2011, dia merasa kapok dan menyesal. Untuk itu dia memutuskan kembali merantau ke Jakarta. Di Jakarta dia hidup lontang-lantung dan menjadi gembel. Ia tidur di Mesjid Istiqlal. Di bawah jembatan.  Atau tidur di jalan. Ia mencari nafkah dengan jadi tukang parkir atau kuli bangunan.

Pada tahun 2014, dia pindah ke Ciangsana, Bogor. Saat itu dia sudah mendapat pekerjaan sebagai pengawas merangkap sopir di Sport Mall Kelapa Gading. Di sana dia bekerja selama 10 bulan.

Di Ciangsana, dia mulai dekat dengan agama. Ia mulai belajar mengaji di mesjid karena lingkungan agama di sana cukup kuat. Ia pun berubah total. " Saya seperti mendapat hidayah," katanya.

Ia juga melihat masa lalunya yang sempat terjerumus dunia kriminal karena faktor lingkungan. Di Palembang, banyak temannya yang menghisap ganja, mabuk, berkelahi dan merampok, sehingga dia ikut-ikutan. Namun saat pindah ke Ciangsana, aroma religius terhitung kental. Maka dia pun senang menghabiskan waktu di mesjid dan belajar mengaji.

Pada tahun 2015, dia dapat kabar ayahnya sakit. Akhirnya ibunya memutuskan bercerai saat ayahnya jatuh sakit. Ia pun memboyong ayahnya yang sakit dan adik-adiknya dari Palembang ke tempat kontrakan dia di Ciangsana.

Setelah berhenti bekerja dari Sport Mall, dia memutuskan bekerja sebagai penjual murottal. Murottal adalah kaset rekaman suara Alquran yang dilagukan oleh seorang qori. Ia menjualnya dari masjid ke mesjid.

Karena ayahnya sakit diabetes, glukoma dan komplikasi penyakit lainnya, dia kerap mengantar ayahnya ke rumah sakit. Di situlah dia mulai berutang. Utangnya sempat mencapai Rp 20 juta dan ia kesulitan membayar.

Tahun 2016, karena terbiasa berjualan di masjid, dia  berjumpa dengan calon istrinya,  Astie Luhur Fitriyani atau biasa dipanggil Astie. Ia pun kemudian menikah dengan istrinya walau hidup pas-pasan. Tak lama  mereka menikah, ayah Adit  meninggal dunia.

Pada suatu hari, usai salat Subuh di mesjid, Adit bertemu dengan seorang nenek pemulung. Ia melihat nenek itu berjalan dengan langkah terpincang-pincang. Karena penasaran, dia bertanya mengapa nenek itu berjalan terpincang-pincang.

Nenek itu menjawab dia tengah sakit. Karena penasaran, Adit menyalakan HP-nya untuk melihat kaki si nenek karena hari masih gelap. Betapa terkejut dia melihat kaki nenek itu berlubang dan ada ulat di dalamnya. Ia pun lalu mengantar nenek itu pulang naik ojek.

Sesampai di kediaman si nenek, Adit bertanya pada tetangga yang tengah menjemur pakaian, nenek itu tinggal dengan siapa. Ternyata nenek itu tinggal seorang diri. Sehingga nenek itu harus bekerja tiap hari untuk mencari makan. Kalau tidak bekerja nenek itu tidak makan. Dari situ hati Aditya tersentuh. Ia lalu bilang sama sang nenek untuk istirahat di rumah saja. Dia berjanji akan membawakan makan untuk nenek itu setiap hari.

“ Habis itu kan saya pulang dan saya ceritakan dengan istri, dan istri minta bertemu dan di tempat nenek itu saya bilang sama istri, ‘dik mulai hari ini kamu masak yang banyak dan mulai hari ini kita antarkan makanan ke rumah si nenek biar nenek tidak usah memulung  lagi,’" kata Aditya.

Pernah karena tidak punya uang, Adit hanya bisa membawa pisang dan nasi putih ke rumah si nenek. Hati Adit merasa sedih karena hanya bisa menyuapi si nenek dengan nasi putih berlauk pisang. Ia pun berdoa agar rejekinya dibuka Tuhan agar dia bisa membelikan nenek itu makanan lezat.

Selama mengantarkan makanan ke tempat nenek tersebut, satu persatu keajaiban di hidupnya mulai dia rasakan. Saat itu, perlahan dagangan murottalnya laku diborong pembeli.

“ Setiap saya kasih makan sampai nenek itu meninggal, jualan saya itu laku. Biasa laku cuma satu dua unit, tiba tiba ada yang memesan sampai 10 hingga 100 unit. Sejak itu saya heran dapat rezeki yang tidak disangka-sangka,” paparnya.

Tak hanya itu keajaiban yang dialami Aidt. Pada saat menikah, dia pernah divonis mandul karena kemaluan dia pernah tertimpa dua sak semen saat dia terjatuh ketika bekerja sebagai kuli  bangunan. Ia mengalami turun berok atau hernia. Akhirnya dia tidak bisa ereksi. Ia pun divonis tidak akan bisa punya anak.

Ia menikah karena orangtua Adit yang saat itu sakit-sakitan, meminta putranya menikah sebelum sang ayah meninggal.  Adit mengatakan sang ayah tak tahu penyakit yang dideritanya.

" Punya saya nggak hidup. Kencing juga nggak normal. Pernah pengobatan alternatif, herbal. Disuruh minum obat kuat tapi bukan itu masalahnya. Saya normal, saya nafsu sama perempuan tapi itu saya nggak hidup. " ujar Adit.

Ia juga bercerita akhirnya bertemu dengan sang istri, Astie, setelah dikenalkan oleh temannya. Dengan modal uang Rp 500 ribu hasil menjual TV, Adit pun memberanikan diri menikahi Astie.

" Modal Rp 500 ribu buat nikah. Cincin beli 30 ribu, cincin lumba-lumba, bukan emas. Sampai sekarang cincinnya masih dipakai istri saya. Tapi pas istri sudah tahu itu saya nggak hidup, tiga bulan nikah dia minta cerai," lanjut Adit. Namun hal ini diurungkan karena Adit meminta istrinya untuk bersabar sambil terus berusaha mencari pengobatan.

" Saking bingungnya, terapi ini sudah itu sudah, akupuntur, bekam tapi nggak bisa juga,” ujarnya.  Sampai akhirnya dia bertemu dengan nenek pemulung saat salat subuh. Adit terus memelihara nenek itu dan memberinya makan sampai nenek itu meninggal tiga bulan kemudian.

Karena penghasilannya bertambah setelah membantu si nenek, dia bisa membeli kasur baru. Suatu malam saat tertidur, dia bermimpi berlari di padang pasir. “ Saya lari terus dalam mimpi  dan akhirnya terjatuh dari kasur. Di bawah kasur ada mainan mobil-mobilan dari kayu. Kena perut saya, pingin kencing, akhirnya itu saya hidup. Istri saya langsung ajak ke hotel. Dua minggu kemudian istri saya positif hamil, Alhamdulillah," beber Adit.

Setelah keperkasaannya pulih, kini Adit memiliki tiga anak. Anak pertama bernama Daud, 5 tahun. Anak kedua Ja’ronah 3 tahun. Dan yang terakhir Siapa Ibrahim,  9 bulan.

Dari rezeki yang didapat akibat menolong nenek pemulung tersebut, ia akhirnya mencoba untuk mendirikan rumah makan gratis pada bulan Oktober tahun 2016. Awalnya, ide itu ditolak sang istri. Namun, akhirnya Aditya bisa merayu sang istri dan mendirikan Rumah Makan Gratis Ciangsana.

Aidtya Prayoga di depan rumah makan gratis Ciangsana

(Aidtya Prayoga di depan rumah makan gratis Ciangsana/koleksi pribadi)

Setelah sempat berpindah-pindah tempat, akhirnya rumah makan gratis Ciangsana yang dia dirikan berdiri di Jalan Raya Ciangsana, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Begitu viralnya Adit, sampai mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  atau SBY pernah mampir untuk menggelar acara “ Ngopi Bareng SBY” di rumah makan gratis Ciangsana milik Adit.

SBY saat ngopi bareng di rumah makan gratis Ciangsana

(SBY saat ngopi bareng di rumah makan gratis Ciangsana/koleksi pribadi)

Pada Senin 28 Mei 2018 malam, usai sholat tarawih SBY didampingi sang istri Ani Yudhoyono bersilaturahmi dengan masyarakat di Rumah Makan Gratis Ciangsana.

Masyarakat sangat antusias menyambut kedatangan SBY, bahkan harus berkerumun di luar akibat keterbatasan tempat. Namun, kegiatan tetap berlangsung akrab dan penuh semangat kekeluargaan.

Aditya Prayoga dan SBY

(Aditya Prayoga dan SBY/koleksi pribadi)

Ditemani secangkir kopi hangat dan panganan sederhana, SBY dan Ibu Ani serta masyarakat saling berbagi senyum dan tawa. Dalam kesempatan itu SBY mengajak hadirin untuk terus memperkuat dan menyambung tali silaturahmi.

***

Rumah makan gratis Adit kini tak hanya ada di Ciangsana, tapi lalu berkembang ke Cilangkap, Depok, Pasar Minggu dan Duren Tiga Jakarta. Jadi ada lima lokasi. Dan setiap cabang  menyediakan 300 porsi makanan setiap hari yang dikirim dari markas rumah makan gratis yakni di Cilangkap yang menjadi tempat tinggal Adit sekarang.

Gerakan Adit juga menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk membuka rumah makan gratis serupa di berbagai daerah misal di Purwokerto, Bandung, Ciwidey, Gresik, Lumajang, Madiun, Pati, Solo, Singkawang, Bone, Jember, Lombok, Palembang dan Bengkulu. Juga mengerakkan selebriti macam Baim Wong untuk membuka rumah makan gratis.

Adit kini mengaku punya 40 karyawan. Mereka diberi gaji Rp 500 ribu-Rp 800 ribu yang diberikan setiap hari Jumat. Jadi gaji mereka sekitar Rp 2 juta-Rp 3 juta sebulan. Bila ada 40 orang, untuk mengaji saja Adit sudah menghabiskan Rp 120 juta.

Sementara untuk keperluan beli bahan makanan, transportasi dan ongkos operasional, Adit menghabiskan Rp 180 juta. Atau total pengeluaran Adit sebulan Rp 300 juta. Ini untuk menyediakan 1.500 porsi makanan tiap hari yang didistribusikan ke lima cabang.

Lalu dari mana biaya untuk itu semua? " Dari Allah. Karena kita tidak menggunakan sistem donatur tetap. Ini bukan yayasan yatim piatu yang memiliki donatur tetap.”

" Yang penting sabar, jalani saja, lilahi taala," ujarnya. Dia punya konsep SSI atau akronim dari kata Sabar, Syukur dan Ikhlas. Dan buktinya setelah enam tahun rumah makan gratis masih bisa berjalan.

" Niatkan saja apa yang kita lakukan semata-mata untuk membangun istana di surga," ujarnya tentang rahasia ikhlasnya.

" Bagaimana mungkin diri kita ini takut miskin ketika kita ingin bersedekah sedangkan diri kita diciptakan Allah, Zat yang Maha Kaya" ujarnya.  

Memang diakui Adit, kalau dari segi logika tidak masuk akal. Tapi buktinya selalu ada rejeki yang diberikan Allah yang membuat rumah makan gratis ini tetap berjalan setelah enam tahun, bahkan menjadi lebih besar. " Kalau dari segi logika memang tidak masuk akal," ujarnya.

Namun memang, pernah, belum lama ini dalam sebuah video di Youtube Rumah Makan Gratis, Adit memamerkan isi rekening rumah makan gratis saat uang di rekening hanya tinggal Rp 280 ribu. Tapi itu tak membuat Adit mengeluh. Ia yakin Allah akan memberi jalan keluar.

Paling tidak, itulah yang sudah dia buktikan selama enam tahun terakhir. Dalam usia yang masih muda, Adit telah memberi teladan sebagai sang pemula rumah makan gratis. Semangat berbaginya luar biasa. Justru ketika dia bukan berasal dari orang berada. (eha)

Beri Komentar