Ilustrasi Salaman (Foto: Shutterstock.com)
Dream - Pada dasarnya, setiap orang memiliki hak untuk melakukan sesuatu. Termasuk pula untuk memanfaatkan sesuatu.
Terlebih jika sesuatu itu merupakan benda yang sudah menjadi milik sendiri. Tentu pemanfaatannya menjadi hak penuh dari pemiliknya.
Meski begitu, seseorang perlu memperhatikan orang lain ketika memanfaatkan haknya. Karena bisa jadi timbul kerugian pada orang lain atas pemanfaatan hak tersebut.
Jika timbul kerugian pada orang lain karena hak pribadi, apakah harus ganti rugi?
Dikutip dari NU Online, untuk menjelaskan masalah ini, kita mungkin bisa menggunakan analogi orang membuat galian sumur di tanah sendiri namun tepat di samping dinding rumah orang lain. Sedangkan dia tidak ada niatan untuk mengecor galiannya.
Kejadian semacam ini memang dihukumi boleh sepenuhnya, mengingat tanah yang digunakan untuk menggali sumur adalah milik pribadi. Tetapi, hal ini tidak bisa digolongkan sebagai maslahat lantaran terdapat potensi kerugian pada orang lain, misalnya dinding rumahnya roboh karena galian yang tidak kuat.
Pakar fikih kontemporer, Syeikh Wahbah Az Zuhayli membahas masalah ini dalam kitabnya Al Fiqhul Islami wa 'Adillatuhu.
" Tidak ada hak kepemilikan yang bersifat mutlak. Bagaimanapun juga, hak senantiasa dibatasi dengan ketiadaan kerugian bagi pihak lain. Bilamana di kemudian hari ditemui bahwa penggunaan hak dapat menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu disebabkan buruknya pemfungsian, maka dampak kerugian yang terjadi harus dipertanggungjawabkan."
Dalam pandangan Syeikh Wahbah, pemanfaatan hak pribadi terbatasi oleh orang lain. Pembatasan itu berupa ada tidaknya kerugian yang timbul akibat pemanfaatan hak pribadi.
Jika pemanfaatan hak membuat orang lain terganggu, hal itu menunjukkan timbulnya kerugian yang menuntut tanggung jawab (dlamman). Bentuknya setidaknya berupa rasa empati.
Syeikh Wahbah juga menekankan pemanfaatan hak menjadi sah apabila tidak menimbulkan dampak buruk pada orang lain. Hal ini menjadi dasar hukum dalam hidup bertetangga.
Kembali pada kasus galian sumur di atas, maka wajib hukumnya seseorang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita orang lain. Untuk menghindari dampak buruk yang bisa muncul, maka perlu adanya upaya pencegahan seperti memberi tahu pemilik dinding rumah, memasang tanda pengaman, maupun mengecor galian agar tidak terjadi longsor.
Sumber: NU Online.
Dream - Setiap bayi terlahir di dunia mendapatkan nama dari orang tua. Nama merupakan doa orang tua untuk kebaikan anak.
Tetapi, tidak sedikit orang yang mengubah namanya ketika dewasa. Alasannya bisa beragam, mulai dari sering sakit hingga bermakna buruk.
Memang tidak jarang kita temukan seorang anak punya nama bermakna buruk. Padahal nama tersebut diberikan sendiri oleh orang tuanya.
Ini terjadi karena orang tua kadang memilihkan nama dengan kata yang enak didengar. Padahal nama tersebut bermakna buruk.
Ketika sudah dewasa, anak tersebut kemudian memutuskan mengganti namanya. Lantas, bagaimana Islam memandang persoalan ini?
Dikutip dari NU Online, Islam memang menganjurkan memberikan nama yang baik kepada seorang anak. Karena nama memiliki arti penting dalam Islam.
Sebagian besar dari kita memahami nama merupakan doa. Lebih dari itu, nama berfungsi sebagai panggilan, sehingga sangat dianjurkan untuk memilih yang terbaik.
Dalam hadis riwayat Abu Daud dan An Nasai, Abu Wahib Al Jusyami mengatakan Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda demikian.
Namailah (anakmu) dengan nama para nabi. Nama yang paling disukai Allah SWT adalah 'Abdullah' dan Abdurrahman'."
Sedangkan dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda seseorang yang diberi nama dengan nama para nabi terutama Nabi Muhammad akan mendapaatkan keringanan siksa di hari akhir. Karena Allah malu untuk menyiksanya.
Sedangkan orang dewasa yang ingin mengubah namanya karena bermakna buruk, hal itu dibolehkan dalam Islam. Ini seperti dijelaskan dalam kitab Tanwirul Qulub karya Syeikh M Amin Al Kurdi.
" Mengubah nama-nama yang haram itu hukumnya wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunah."
Pandangan senada juga disinggung Imam Al Baijuri dalam kitabnya Hasyiyah Al Baijuri.
" Disunahkan memperbagus nama sesuai hadis, 'Kamu sekalian akan dipanggil pada hari Kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian. Oleh karena itu, pilihlah sebutan yang baik untuk nama kalian.' Dimakruhkan nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya... Haram hukumnya menamai seseorang dengan 'Abdul Ka'bah,' 'Abdul Hasan,' atau 'Abdu Ali' (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan atau Hamba Ali). Menurut pendapat yang lebih shahih, (seseorang) wajib mengubah nama yang haram karena berarti menghilangkan kemungkaran, walau Syekh Ar-Rahmani ragu perihal kewajiban atau kesunahan mengubah nama demikian."
Pendapat di atas menunjukkan kebolehan mengganti nama karena nama lama menggandung makna buruk bahkan diharamkan dalam Islam. Namun demikian, kita tidak perlu resah dengan nama pemberian orangtua yang tidak dari bahasa Arab ataupun kurang keren.
Selama nama kita mengandung makna baik, sebaiknya tidak perlu mengubah nama. Apalagi nama merupakan doa orangtua pada kita.
Sumber: NU Online.
Advertisement
Alasan Orang Korea Sangat Percaya MBTI Bisa Ungkap Kepribadian
Presiden Prabowo Bertemu Marc Marquez dan Pebalap Tanah Air Bahas Sport Tourism
Ponpes Al-Khoziny Ambruk, Menag Tanggapi Isu Pelibatan Santri dalam Pengecoran Gedung
Cara Mudah Bikin Parfum Bareng Casablanca di Campus Beauty Fair
5 Fakta Ambruknya Musola Ponpes Al Khoziny, Masih Ada Korban di Bawah Reruntuhan
Momen Prabowo Singgung Duit Negara Dicolong Koruptor Ratusan Triliun
Rangkaian acara Dream Inspiring Women 2023 di Dream Day Ramadan Fest Day 5
3 Tempat Makan Milik Artis di Luar Negeri, Ada Warkop di New York
3 Komunitas Seru di Bawah Naungan BNI, Mulai dari Bisnis hingga Olahraga
Ibunda Tasya Kamila Jalani Operasi Bariatrik Usai Gagal Diet Selama 25 Tahun
Alasan Orang Korea Sangat Percaya MBTI Bisa Ungkap Kepribadian
Presiden Prabowo Bertemu Marc Marquez dan Pebalap Tanah Air Bahas Sport Tourism