Membersihkan Masjid (Foto: Shutterstock.com)
Dream - Wakaf bisa dilakukan masyarakat dengan berbagai harta bendanya. Tak hanya menyerahkan tanah untuk bangunan ibadah, kini umat muslim bisa mewakafkan benda yang bermanfaat ke pengelola masjid.
Masjid memang sudah sering menjadi tempat umat muslim menyalurkan wakaf. Kita mungkin pernah melihat orang memberikan wakaf dalam bentuk quran, karpet, perlengkapan seperti kipas angin, atau AC.
Benda wakaf yang diberikan kepada masjid tentu harus dirawat oleh umat Islam. Namun sebuah benda tentu punya masa operasional. Lambat laun karena terlalu sering dipakai, benda yang diwakafkan akan rusak.
Sering kali kita juga melihat pengurus masjid hendak mengganti peralatan atau perlengkapan dari hasil wakaf jemaahnya. Beberapa pengurus masjid bahkan berinisiatif menjual benda wakaf tersebut karena menganggapnya kondisinya masih layak.
Mengingat harta wakaf tidak boleh dipindahtangankan lewat jual beli, lantas bagaimana hukumnya penjualan benda masjid yang rusak tersebut?
Mengenai persoalan ini, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Dikutip dari NU Online, pendapat yang kuat membolehkan menjual barang wakaf masjid yang rusak bisa dirasa lebih maslahat.
Pertimbangannya, jika dibiarkan saja benda-benda tersebut lambat laut akan lapuk karena dibiarkan terbengkalai. Akhirnya hanya menjadi barang rongsok yang memenuhi tempat penyimpanan.
Ditambah lagi, masjid tidak mendapatkan keuntungan dari keberadaan benda-benda yang sudah rusak tersebut. Baik itu dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
Syeikh Ibnu Hajar Al Haitami, seperti dikutip Syeikh Abu Bakr bin Syatha, berpandangan dibolehkannya penjualan barang wakaf rusak bertujuan agar tidak sia-sia. Penjualan itu akan menghasilkan uang meski sedikit yan nantinya bisa diambil manfaatnya kembali ke dalam barang wakf yang lebih baik.
Hasil penjualan harus dibelikan barang yang sama. Semisal, yang dijual adalah karpet rusak, maka dibelikan karpet baru meski jumlahnya lebih sedikit. Jika uangnya tidak mencukupi, maka hasil penjualannya dimanfaatkan untuk segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan masjid.
Tetapi, ada pendapat berbeda yang dianut sebagian ulama. Pendapat itu memandang penjualan harta wakaf tidak dibolehkan meskipun sudah rusak. Pendapat ini menekankan pada kelestarian harta wakaf.
Memang tidak ada pandangan bulat di kalangan para ulama. Meski begitu, pandangan yang kuat menunjukkan kebolehan menjual barang wakaf masjid sudah rusak dengan dasar agar tidak terbengkalai.
Sumber: NU Online
Dream - Pada dasarnya, setiap orang memiliki hak untuk melakukan sesuatu. Termasuk pula untuk memanfaatkan sesuatu.
Terlebih jika sesuatu itu merupakan benda yang sudah menjadi milik sendiri. Tentu pemanfaatannya menjadi hak penuh dari pemiliknya.
Meski begitu, seseorang perlu memperhatikan orang lain ketika memanfaatkan haknya. Karena bisa jadi timbul kerugian pada orang lain atas pemanfaatan hak tersebut.
Jika timbul kerugian pada orang lain karena hak pribadi, apakah harus ganti rugi?
Dikutip dari NU Online, untuk menjelaskan masalah ini, kita mungkin bisa menggunakan analogi orang membuat galian sumur di tanah sendiri namun tepat di samping dinding rumah orang lain. Sedangkan dia tidak ada niatan untuk mengecor galiannya.
Kejadian semacam ini memang dihukumi boleh sepenuhnya, mengingat tanah yang digunakan untuk menggali sumur adalah milik pribadi. Tetapi, hal ini tidak bisa digolongkan sebagai maslahat lantaran terdapat potensi kerugian pada orang lain, misalnya dinding rumahnya roboh karena galian yang tidak kuat.
Pakar fikih kontemporer, Syeikh Wahbah Az Zuhayli membahas masalah ini dalam kitabnya Al Fiqhul Islami wa 'Adillatuhu.
" Tidak ada hak kepemilikan yang bersifat mutlak. Bagaimanapun juga, hak senantiasa dibatasi dengan ketiadaan kerugian bagi pihak lain. Bilamana di kemudian hari ditemui bahwa penggunaan hak dapat menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu disebabkan buruknya pemfungsian, maka dampak kerugian yang terjadi harus dipertanggungjawabkan."
Dalam pandangan Syeikh Wahbah, pemanfaatan hak pribadi terbatasi oleh orang lain. Pembatasan itu berupa ada tidaknya kerugian yang timbul akibat pemanfaatan hak pribadi.
Jika pemanfaatan hak membuat orang lain terganggu, hal itu menunjukkan timbulnya kerugian yang menuntut tanggung jawab (dlamman). Bentuknya setidaknya berupa rasa empati.
Syeikh Wahbah juga menekankan pemanfaatan hak menjadi sah apabila tidak menimbulkan dampak buruk pada orang lain. Hal ini menjadi dasar hukum dalam hidup bertetangga.
Kembali pada kasus galian sumur di atas, maka wajib hukumnya seseorang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita orang lain. Untuk menghindari dampak buruk yang bisa muncul, maka perlu adanya upaya pencegahan seperti memberi tahu pemilik dinding rumah, memasang tanda pengaman, maupun mengecor galian agar tidak terjadi longsor.
Sumber: NU Online.
Advertisement
4 Komunitas Seru di Depok, Membaca Hingga Pelestarian Budaya Lokal
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Perundungan Timothy Anugerah
UU BUMN 2025 Perkuat Transparansi dan Efisiensi Tata Kelola, Tegas Anggia Erma Rini
Masa Tunggu Haji Dipercepat, dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun
Viral Laundry Majapahit yang Bayarnya Hanya Rp2000
Azizah Salsha di Usia 22 Tahun: Keinginanku Adalah Mencari Ketenangan
Throwback Serunya Dream Day Ramadan Fest bersama Royale Parfume Series by SoKlin Hijab
Benarkah Gaji Pensiunan PNS Naik Bulan Ini? Begini Penjelasan Resminya!
Timnas Padel Indonesia Wanita Cetak Sejarah Lolos ke 8 Besar FIP Asia Cup 2025
Hore, PLN Berikan Diskon Tambah Daya Listrik 50% Hingga 30 Oktober 2025
Ada Mobil Listrik di Konser Remember November Vol.3 - Yokjakarta
75 Ucapan Hari Santri Nasional 2025 yang Penuh Makna dan Bisa Jadi Caption Media Sosial
4 Komunitas Seru di Depok, Membaca Hingga Pelestarian Budaya Lokal