Rusuh Peru, Belum Ada Tanda Berakhir Usai Puluhan Tewas

Reporter : Edy Haryadi
Senin, 6 Februari 2023 21:23
Rusuh Peru, Belum Ada Tanda Berakhir Usai Puluhan Tewas
Sudah 58 orang tewas di sekujur negeri.

Dream – Tidak ada firasat apa pun hari itu bagi José Luis Soncco Quispe, 29 tahun, seorang petugas polisi di Puno, Peru. Ia masih bekerja seperti biasa, Senin malam, 9 Januari 2023.

Malam itu dia masih berpatroli seperti biasa. Ia ditemani seorang kawannya yang juga seorang polisi, Ronald Villasante Toque. Situasi Peru memang tengah memanas. Oleh kantor, mereka ditugaskan berpatroli malam dengan mengendarai mobil polisi untuk menjaga keamanan.  

Namun keadaan berubah drastis bagi kedua polisi itu saat sedang berpatroli pada Senin malam itu di Juliaca, sebuah kota dekat perbatasan dengan Bolivia dan Danau Titicaca.

Tiba-tiba mobil mereka dihadang massa pengunjuk rasa.

Ronald Villasante Toque, mengatakan mereka  “ ditahan dan diserang secara fisik oleh sekitar 350 orang pengunjuk rasa.”

Villasante beruntung. Karena dia dibawa ke rumah sakit di ibukota Lima dengan cedera kepala setelah dipukuli massa.

Tapi tidak bagi José Luis Soncco Quispe. Ia terjebak di dalam mobil patroli. Lalu massa membakarnya hidup-hidup di dalam mobil polisi. Ia tewas seketika karena terbakar hidup-hidup di dalam mobil patroli polisi.

José Luis Soncco Quispe, (kiri), polisi yang tewas dibakar massa hidup-hidup di dalam mobil patroli polisi© Fox News

(José Luis Soncco Quispe, (kiri), polisi yang tewas dibakar massa hidup-hidup di dalam mobil patroli polisi/Fox News)

Perdana Menteri Peru Alberto Otárola mengkonfirmasi kematian Soncco dalam sesi tanya jawab di parlemen atau Kongres dua hari kemudian. Ia mengatakan kedua polisi itu diserang oleh pengunjuk rasa.

" Polisi tiba di tempat kejadian dan menemukan bahwa satu petugas telah dipukuli dan diikat, dan yang lainnya, Luis Soncco Quispe, sayangnya telah meninggal dunia," katanya.

" Dia dibakar hidup-hidup di dalam mobil patrolinya," ujarnya seperti dikutip LA Times.

PM Otárola langsung mengumumkan jam malam tiga hari dari jam 8 malam sampai jam 4 pagi di Puno, dan hari berkabung untuk petugas polisi yang gugur.

Pembunuhan Soncco terjadi setelah pembunuhan 17 orang pada siang harinya di Juliaca ketika protes yang menuntut pemilihan umum dipercepat meletus di daerah pedesaan yang masih setia kepada mantan Presiden Pedro Castillo yang baru saja dimakzulkan Kongres dan ditahan karena pemberontakan saat berupaya membubarkan Kongres.

Kerusuhan pun pecah di Peru setelah Castillo ditahan.

Puno, rumah bagi sisi Peru dari Danau Titicaca yang ikonik, adalah lokasi kekerasan terburuk dalam protes pemakzulan Castilo, dengan 17 pengunjuk rasa tewas di kota Juliaca serta seorang polisi yang dibakar sampai mati di dalam mobilnya.

Tak berhenti di di situ. Sepekan kemudian, sebuah bangunan bersejarah berusia satu abad di pusat ibu kota Peru, Lima, terbakar pada Kamis malam, 19 Januari 2023.

Gedung bersejarah itu hanya beberapa meter dari Plaza San Martin yang ikonis, tempat ribuan demonstran berkumpul untuk menuntut pengunduran diri Presiden Dina Boluarte yang menggantikan Castillo dan pembubaran Kongres, dan mempercepat pemilu.

Selama pemogokan nasional besar-besaran yang diselenggarakan oleh konfederasi pekerja, pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di Plaza San Martin ketika api mulai membakar bangunan tersebut.

Gedung bersejarah berumur satu abad terbakar menyusul bentrok polisi dan demosntran Peru di ibukota Lima© AA

(Gedung bersejarah berumur satu abad terbakar menyusul bentrok polisi dan demosntran Peru di ibukota Lima/AA)

Beberapa warga di kawasan itu mengatakan kebakaran itu disebabkan oleh bom gas air mata yang diltembakkan polisi untuk membubarkan pengunjuk rasa.

" Mereka menembak bom gas air mata ke atap gedung dan api mulai menyala," kata putra pemilik gedung yang terbakar itu, menyalahkan polisi yang menyebabkan insiden tersebut seperti dikutip Anadolu Agency.

Bangunan seluas 500 meter persegi ini dianggap sebagai situs cagar budaya penting di Peru.

Dua orang tewas dan seorang lainnya terluka akibat tembakan di tengah protes hari itu di Lima, sehingga jumlah keseluruhan korban tewas menjadi 58 sejak protes dimulai.

Peru telah menjadi tempat protes penuh kekerasan sejak mantan Presiden Pedro Castillo digulingkan dan ditangkap setelah dia berusaha untuk membubarkan Kongres dalam upaya untuk menghindari pemakzulan atas tuduhan korupsi.

***

Lalu, ada apa di balik kekacauan politik di Peru?

Peru telah diguncang dalam beberapa tahun terakhir oleh gejolak politik, pergantian presiden yang cepat dan skandal serta investigasi yang terus-menerus. Tapi delapan minggu terakhir ini mungkin salah satu yang paling kacau dalam sejarah negara itu baru-baru ini.

Pada 7 Desember 2022, Kongres menjadwalkan pemungutan suara pada sore hari untuk memakzulkan Presiden Pedro Castillo atas tuduhan korupsi.

Tetapi Castillo, berusaha untuk menggagalkan pemungutan suara Kongres. Siang harinya, melalui pidato di televise, dia mengumumkan pembubaran Kongres dan pembentukan pemerintahan darurat, yang dengan cepat dikutuk sebagai upaya kudeta.

Langkah itu bahkan mengejutkan sekutu presiden, dan pada penghujung hari, Castillo telah dimakzulkan dari jabatannya oleh Kongres dengan 101 suara setuju dari 130 anggota Kongres.  
Castillo pun ditahan dalam perjalanan ke Kedutaan Besar Meksiko di Lima untuk meminta suaka politik. Dina Boluarte, wakil presidennya, dipilih menjadi presiden penggantinya dan menjadi wanita pertama yang memimpin Peru.

Pedro Castillo ditahan dengan tuduhan melakukan kudeta© Al Jazeera

(Pedro Castillo ditahan dengan tuduhan melakukan kudeta/Al Jazeera)

Tapi apa yang awalnya tampak sebagai tanda ketahanan demokrasi yang rapuh berubah menjadi kerusuhan hanya beberapa hari kemudian ketika para pendukung mantan presiden melakukan serangan terhadap kantor polisi, bandara, dan pabrik.

Menteri Pertahanan Peru pun langsung mengumumkan keadaan darurat nasional karena pemerintah berusaha mengendalikan kekerasan yang meluas, tindakan luar biasa bahkan di negara yang terbiasa dengan pergolakan dan protes politik.

Siapakah Pedro Castillo?

Menurut New York Times, Pedro Castillo, 53 tahun, yang terpilih sebagai presiden Juni 2021 tahun lalu, lahir dari orang tua yang merupakan petani buta huruf di daerah pedesaan yang miskin tanpa saluran air limbah dan dengan kurangnya akses ke perawatan kesehatan dan sekolah.

Bahkan setelah Castillo menjadi aktivis, dia bertani untuk menambah penghasilannya. Dia menjadi aktivis serikat pekerja, membantu mengatur pemogokan untuk kenaikan gaji guru yang membuat jutaan murid tak bisa sekolah dan membuat Presiden Peru saat itu setuju menaikkan upah guru. Aksi itu mengerek nama Castillo ke tingkat nasional pada tahun 2017.

Pada tahun 2021, Castillo maju sebagai calon presiden. Selama kampanye pemilihannya tahun lalu, Castillo, seorang sosialis, mengimbau para pemilih yang frustrasi dengan pendirian politik.

Dia menjalankan slogan " Tidak ada lagi orang miskin di negara kaya" dan berjanji untuk meningkatkan ekonomi negara dan mengurangi ketimpangan yang kronis. Tingkat kemiskinan yang tinggi di Peru telah memburuk selama pandemi, meningkat sekitar 10 persen, salah satu peningkatan paling tajam tidak hanya di Amerika Latin tetapi juga di dunia.

Pedro Castillo saat memasak di rumahnya yang sederhana© El Pais

(Pedro Castillo saat memasak di rumahnya yang sederhana/El Pais)

Meskipun Castillo bersih, dia terus diganggu Kongres dengan tuduhan korupsi untuk dimakzulkan. Tercatat sudah dua kali dia berusaha dimakzulkan tapi gagal oleh Kongres karena tidak memenuhi mayoritas.

Dalam kariernya sebagai presiden, Castillo sempat membentuk lima kabinet yang berbeda dan menggantinya lebih dari 80 menteri, beberapa di antaranya tidak memiliki keterampilan atau pengalaman yang relevan dan tengah menghadapi penyelidikan terkait korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pembunuhan.

Castillo sendiri menjadi sasaran enam investigasi kriminal, termasuk atas tuduhan bahwa dia memimpin organisasi kriminal untuk mengambil untung dari kontrak pemerintah dan mengklaim bahwa dia berulang kali menghalangi keadilan.

Dia membantah tuduhan itu, dan beberapa pendukungnya mengatakan bahwa dia adalah korban dari upaya bersama untuk mengembalikan elit penguasa sebelumnya.

Kongres telah mencoba untuk memakzulkan Tuan Castillo dua kali sebelumnya, dan pemungutan suara ketiga direncanakan Kongres setelah sebelumnya dia mengancam akan membubarkan badan tersebut.

Segera setelah Castillo mengumumkan keputusannya untuk membubarkan Kongres dalam pidato yang disiarkan secara nasional pada siang hari 7 Desember 2022, angkatan bersenjata dan polisi menolak langkah Castillo, anggota kabinetnya mengundurkan diri secara bersamaan, dan para ahli hukum menyebut usahanya ilegal.

Dalam beberapa jam kemudian, Kongres memilih untuk memakzulkannya.

Castillo terlihat sore itu meninggalkan istana kepresidenan dengan mobil yang membawanya ke Kedutaan Besar Mexico untuk meminta suaka politik. Ia kemudian ditahan. Saat dia ditahan di sana, wakilnya Dina Boluarte disumpah sebagai pemimpin baru Peru.

Belakangan pada hari itu, kantor kejaksaan mengatakan telah memerintahkan penangkapannya atas tuduhan pemberontakan. Polisi mengatakan Castillo kini ditahan di pangkalan angkatan laut di pinggiran Lima, ibu kota.

Castillo telah membela tindakannya dan tidak menunjukkan penyesalan dalam beberapa penampilan publiknya sejak penangkapannya. Pada sidang pengadilan keduanya, mantan pemimpin tersebut mengatakan bahwa dia telah ditahan secara tidak adil dan bahwa dia “ tidak akan pernah mengundurkan diri.”

Sementara penggantinya, Dina Boluarte, 60 tahun, adalah mantan pengacara yang menjadi anggota partai politik Marxis, Peru Libre atau Peru Bebas sampai dia dikeluarkan tahun lalu setelah mengkritik pemimpin partai tersebut.

Dina Boluarte Presiden Peru yang menggantikan Pedro Castillo© Agenzia Nova

(Dina Boluarte PrAgenzia Nova)esiden Peru yang menggantikan Pedro Castillo/Agenzia Nova)

Dia berasal dari daerah pedesaan Peru, dan menjabat sebagai wakil presiden dan sebagai menteri pembangunan dan inklusi sosial. Dia mengundurkan diri dari peran menterinya bulan lalu, setelah Castillo merombak kabinet terbarunya.

Setelah Presiden Dina Boluarte menjabat pada 7 Desember, protes kecil meletus di Lima dan bagian lain negara itu. Aksi protes terus meningkat akhir pekan itu ketika setidaknya enam orang tewas dalam bentrokan itu, menurut kantor Ombudsman Peru. Pihak berwenang mengatakan bahwa lebih dari 100 petugas polisi terluka.

Protes didukung oleh federasi serikat pekerja terbesar di negara itu, asosiasi terbesar masyarakat adat di Amazon Peru dan banyak organisasi yang mewakili petani miskin, di antara kelompok lainnya.

Banyak dari mereka adalah pendukung Castillo yang mengatakan bahwa mereka merasa hak pilihnya dirampok. Mereka menuntut pembubaran Kongres, penyusunan Konstitusi baru dan pemilihan umum dipercepat. Beberapa juga menyerukan pembebasan Castillo.

Massa pendukung Pablo Castillo memblokade jembatan© Today90

(Massa pendukung Pablo Castillo memblokade jembatan/Today90)

Sebagai reaksi meluasnya aksi protes, Pemerintah Peru mengumumkan keadaan darurat nasional. Tindakan itu menangguhkan hak berkumpul dan kebebasan berkunjung, di antara kebebasan sipil lainnya, selama 30 hari, kata menteri pertahanan negara itu.

Para ahli mengatakan bahwa keadaan darurat itu tidak biasa. Sementara pemerintah masa lalu telah melakukannya di beberapa bagian negara itu, mereka mengatakan tindakan itu tidak digunakan secara luas sejak 1990-an, ketika negara itu dianiaya oleh kelompok gerilayawan Marxis yang disebut Shine Path atau Jalan Terang.

Sementara itu, seperempat dari 33 juta orang Peru hidup dalam kemiskinan. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan November memperingatkan bahwa negara itu memiliki tingkat kerawanan pangan tertinggi di Amerika Selatan, dengan separuh populasi kekurangan akses rutin ke nutrisi yang cukup.

Pandemi dan perang di Ukraina telah berkontribusi pada kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan produk penting lainnya, termasuk pupuk, yang memicu protes luas.

Pertambangan, bagian penting dari perekonomian Peru, telah menjadi pendorong pertumbuhan negara selama dua dekade terakhir, tetapi juga merupakan sumber utama polusi dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Korupsi kronis telah mempengaruhi eselon kekuasaan tertinggi. Tiga presiden dalam beberapa tahun terakhir dipaksa dari jabatannya setelah tuduhan korupsi.

Castillo adalah mantan presiden keenam yang menghadapi hukuman penjara abad ini, gejala ketidakstabilan institusional, dan Kongres adalah salah satu institusi yang paling tidak dipercaya di negara ini, menurut jajak pendapat baru-baru ini.

Bahkan sebelum Castillo, negara itu memiliki suksesi cepat presiden yang menghadapi hukuman penjara. Alberto Fujimori menjalani hukuman di penjara; Ollanta Humala dan istrinya menghabiskan sembilan bulan di penjara preventif; Pedro Pablo Kuczynski menghabiskan tiga tahun di bawah tahanan rumah; Alan García meninggal karena bunuh diri beberapa saat sebelum seorang jaksa datang ke rumahnya untuk menangkapnya; dan Alejandro Toledo sedang menunggu ekstradisi dari Amerika Serikat untuk menghadapi tuduhan korupsi.

Upaya Castillo untuk membubarkan Kongres juga menggema di masa lalu.

Tiga puluh dua tahun yang lalu, Alberto Fujimori, orang luar anti kemapanan lainnya, terpilih sebagai presiden. Dia berkuasa ketika hiperinflasi merusak ekonomi Peru dan kelompok pemberontak sayap kiri Shine Path melakukan kampanye teror yang menewaskan puluhan ribu orang.

Dua tahun setelah pemilihannya, Fujimori melakukan kudeta dengan dukungan militer, menangguhkan Konstitusi dan memerintah sebagai diktator.

Selama kampanye kontra-pemberontakan pemerintahnya, puluhan ribu warga sipil tewas dalam pembunuhan di luar hukum di tangan regu pembunuh yang menurut jaksa penuntut telah dibuat oleh Fujimori. Dia mengundurkan diri pada tahun 2000.

Pada tahun 2009, Fujimori menerima hukuman penjara 25 tahun karena pelanggaran hak asasi manusia.

Putrinya, Keiko Fujimori maju sebagai calon presiden Peru. Pada tahun 2021, dia kalah tipis dengan selisih 44.000 suara dalam pemilihan presiden dari  Castillo.

***

Satu per satu, campesinos pemberontak naik ke podium improvisasi yang mereka bangun di atas barikade tanah setinggi 1,8 meter, untuk menyatakan tekad mereka untuk menggulingkan Presiden Peru Dina Boluarte.

“ Saudara-saudara, saat ini Peru membutuhkan kita lebih dari sebelumnya,” kata Nilda Mendoza Coronel, seorang petani berusia 35 tahun, kepada ratusan pemogok yang berkumpul di bawah terik matahari pagi.

Barikade di jalan yang dibangun massa pendukung Castillo© Guardian

(Barikade di jalan yang dibangun massa pendukung Castillo/Guardian)

“ Kita akan bertarung sampai akhir, carajo!” Mendoza berteriak melalui megafon. " Tidak ada yang akan menghentikan perjuangan kita!"

Pembicara lain, Aparicio Meléndez, mendesak massa di kota Andean, Sicuani, untuk mengabaikan laporan bahwa pasukan tentara sedang dalam perjalanan untuk memadamkan pemberontakan mereka.

“ Kami akan tinggal di sini sampai mereka menghabiskan peluru terakhir mereka,” sumpah penggembala berusia 55 tahun itu saat dia melihat protes yang memblokir jalan raya sepanjang 940 mil melalui Peruvian Andes.

Teriakan dua kata telah dilukis di aspal di belakang barikade: " Pemberontakan rakyat."

Sicuani berada di jantung pemberontakan delapan minggu terhadap presiden Peru, Dina Boluarte, dan pendirian politik negara itu yang dimulai pada awal Desember setelah presiden sayap kirinya, Pedro Castillo, digulingkan dan ditangkap setelah dituduh mencoba melakukan aksi. kup.

Angin politik yang aneh dan keras telah menerpa Amerika Latin dan Karibia akhir-akhir ini. Tapi tidak ada kekacauan yang lebih meluas atau mematikan daripada di Peru, di mana setidaknya 58 nyawa telah hilang sejak pemakzulan dan penahanan dramatis Castillo.

Peru rusah usai pemakzulan dan penahan Catillo© Daily Sabah

(Peru rusah usai pemakzulan dan penahan Catillo/Daily Sabah)

Petak besar dari negara terpadat keempat di Amerika Selatan itu telah dilumpuhkan oleh protes dan penghalang jalan sejak kejatuhan Castillo, karena para pendukungnya –dan mereka yang marah atas tanggapan mematikan pemerintah– turun ke jalan untuk menuntut pengunduran diri Boluarte, digelarnya pemilihan umum baru dan keadilan bagi puluhan orang yang diduga tewas oleh aparat keamanan.

The Guardian melakukan perjalanan melalui wilayah yang paling terkena dampak, antara kota Cusco dan Juliaca di Andes –di mana 17 orang tewas pada hari kekerasan terburuk– untuk mendengar suara pemberontakan terhadap pemerintah Peru.

Perjalanan 337 kilometer yang melelahkan itu memakan waktu tiga hari dan melibatkan sejumlah pos pemeriksaan yang dijaga oleh pengunjuk rasa campesino, serta ratusan barikade yang terbuat dari batu besar, batang pohon, kendaraan bobrok, kaca dan besi tua.

Di luar penghalang jalan, itu juga merupakan perjalanan melalui ketidaksetaraan sosial yang mendalam, kemiskinan yang parah, dan diskriminasi yang berada di balik ledakan kemarahan pedesaan terhadap apa yang oleh banyak pengunjuk rasa disebut sebagai pembentukan politik yang korup, mementingkan diri sendiri, dan sebagian besar berkulit putih di ibu kota, Lima.

“ Seolah-olah kita bukan manusia… Seolah-olah kita tidak berharga,” kata Raúl Constantino Samillan Sanga, yang saudara laki-lakinya berusia 30 tahun ditembak mati di Juliaca selama bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa. " Seluruh Andes sekarang mengatakan kita sudah muak - ini harus berubah."

Perjalanan melalui pusat gempa politik Peru dimulai di Cusco, yang pernah menjadi ibu kota kerajaan Inca dan, saat ini, menjadi tujuan wisata paling penting di negara Amerika Selatan, dengan hampir 3 juta pengunjung setiap tahun.

Para turis telah menghilang sejak pemberontakan dimulai, dengan bandara Cusco berulang kali ditutup oleh pihak berwenang dan Machu Picchu di dekatnya ditutup awal bulan ini.

" Semua orang gelisah dan khawatir dan juga sedikit takut," kata Hannah Jenkinson, seorang perancang busana Inggris yang menjalankan butik di pusat bersejarah Cusco yang sekarang sebagian besar sepi.

Beberapa jalan jauhnya, ratusan demonstran berbaris menuju alun-alun di mana pada abad ke-18 pemimpin Pribumi Túpac Amaru ditempatkan dan dipenggal setelah memberontak melawan kekuasaan Spanyol.

“ Dia akan jatuh! Dia akan jatuh! Pembunuhnya akan jatuh!” kerumunan meneriakkan Presiden Dina Boluarte saat mereka melewati jalan berbatu Cusco sambil mengibarkan bendera merah putih Peru.

Empat puluh kilometer tenggara Cusco, melewati reruntuhan pra-Inca dan pegunungan bertitik kayu putih, terletak desa Villahermosa -lokasi penghalang jalan besar pertama di sepanjang jalan raya Rute 3S Peru.

Puluhan penduduk desa, termasuk wanita tua mencengkeram hua tradisional cambuk raca yang ditenun dari bulu alpaka, telah memblokir jalan dengan batang pohon dan ban untuk mengungkapkan kemarahan mereka atas pengabaian pemerintah selama beberapa dekade dan gelombang pembunuhan baru-baru ini, yang sebagian besar disalahkan pada pasukan keamanan.

Juvenal Luna Jara, 22 tahun, mengatakan dia telah bergabung dengan pemberontakan satu minggu sebelumnya, marah karena begitu banyak pengunjuk rasa telah terbunuh di pedesaan selatan Peru yang telah lama diabaikan, yang menjadi pusat perang brutal selama 12 tahun yang dilakukan oleh gerilyawan Shining Path.  Seperti yang dia lihat, sebagian besar nyawa hilang di daerah seperti itu karena orang desa dianggap warga negara kelas dua, atau lebih buruk. " Seolah-olah mereka membunuh anjing," gerutunya.

Beberapa jam sebelumnya, Presiden Dina Boluarte telah memohon pengunjuk rasa untuk menerima gencatan senjata nasional. Tetapi tidak ada tanda-tanda kompromi di Villahermosa ketika para petani berkumpul untuk melampiaskan kemarahan mereka pada peran presiden dalam menggulingkan Castillo, mantan pemimpin serikat pekerja yang lahir dalam kemiskinan dan didorong ke kursi kepresidenan pada tahun 2021 oleh pemilih pedesaan yang miskin di tempat-tempat seperti ini.

“ Jika tidak ada solusi, perjuangan akan terus berlanjut,” raung penduduk desa sebelum kendaraan Guardian diizinkan melanjutkan perjalanan.

Di desa demi desa di sepanjang jalan raya yang dipenuhi bebatuan, pesannya sama, ketika para petani yang kecewa dan tertindas berkumpul di blokade mereka untuk memberikan pidato berapi-api tentang keadaan bangsa mereka dan bagaimana wilayah pertambangan mereka yang kaya sumber daya telah diperah untuk mendapatkan keuntungan yang tidak pernah mereka rasakan.

Dina Quispe menangis ketika dia mengecam bagaimana otoritas Peru telah mencap para pengunjuk rasa yang didanai narco terrucos (teroris narkoba) dan memenuhi seruan mereka untuk perubahan politik dengan represi dan pertumpahan darah.

“ Kami telah dipermalukan dan dilupakan,” kata pramuniaga berusia 41 tahun dari komunitas Checyuyoc. “ Mereka membunuh saudara-saudara kita dengan peluru.”

Melalui air matanya, Quispe menyuarakan rasa jijik karena dia memiliki nama depan yang sama dengan presiden wanita pertama Peru. Boluarte telah menjadi penangkal petir untuk kekecewaan yang jauh lebih dalam dengan politik yang rusak dari sebuah negara yang telah memiliki tujuh presiden dalam enam tahun terakhir dan di mana seperempat penduduknya berjuang untuk memberi makan diri mereka sendiri dengan layak.

Quispe berkata kepada wartawan: " Tolong, sampaikan suara protes ini dari Peru ke dunia yang terdalam dan rendah hati."

Beberapa kilometer jauhnya di Sicuani, sebuah kota yang sekarang hampir sepenuhnya terputus dari dunia luar oleh penghalang jalan, ratusan wanita Quechua yang mengenakan sombrero, rok pollera, dan selimut yang mempesona sedang berbaris.

“ Kami berjuang untuk masa depan kami dan masa depan anak dan cucu kami,” kata Roxana Chahuanco, 40 tahun, ketika penduduk setempat bersiap untuk memperdebatkan langkah mereka selanjutnya setelah pemerintah mengumumkan akan mengerahkan pasukan untuk membersihkan jalan.

Di sana, Mendoza Coronel membangkitkan martir Pribumi Túpac Amaru dan istrinya, Micaela Bastidas, saat dia mendesak penduduk setempat untuk mengintensifkan pemberontakan petani mereka melawan elit Lima yang “ korup”. “ Mereka memandang rendah kami karena kami adalah anak-anak campesinos dan karena menjadi laki-laki di ladang,” katanya.

Protes kekerasan di Peru membangkitkan ingatan akan hari-hari tergelap perang saudara

Di desa berikutnya, tengkorak sapi diletakkan di atas tiang di atas barikade yang dibuat dari dua tumpukan puing dan tanah. “ Ini Dina (Boluarte),” canda salah satu wanita yang mengawasi pos pemeriksaan.

Dari Sicuani, jalan raya menanjak lebih tinggi lagi ke Andes menuju perbatasan spektakuler sepanjang 4.300 meter dengan departemen Puno, tempat komunitas Pribumi Aymara juga memberontak melawan pemerintahan baru.

Presiden Dina Boluarte semakin membuat marah penduduk di kawasan itu minggu lalu ketika dia mengatakan kepada wartawan asing " Puno bukan Peru" - sebuah pernyataan yang kemudian diklaim oleh presiden telah disalahpahami.

“ Kami orang Peru,” kata seorang wanita yang menjaga penghalang jalan di luar kota Ayaviri. " Di Punolah kerajaan Inca lahir."

Setelah Ayaviri, jalan raya turun menuju kota terbesar di Puno, Juliaca, pusat pertambangan dan penyelundupan yang bobrok dan tegang, tempat protes anti-pemerintah terus berkecamuk saat keluarga setempat berduka atas kematian mereka.

Di belakang pintu besi yang dihiasi pita hitam berkabung duduk María Ysabel Samillan Sanga, yang kehilangan adik laki-lakinya pada suatu hari Senin di awal Januari.

Marco Antonio Samillan Sanga adalah seorang mahasiswa kedokteran  telah bekerja sebagai sukarelawan medis di Juliaca ketika pengunjuk rasa mencoba menyerbu bandara kota dan pasukan keamanan menanggapi dengan peluru tajam.

Marco Antonio Samillan Sanga, mahasiswa kedokteran yang tewas ditembak peluru tajam aparat© Guardian

(Marco Antonio Samillan Sanga, mahasiswa kedokteran yang tewas ditembak peluru tajam aparat/Guardian)

Mahasiswa berusia 30 tahun itu tertembak di jantungnya saat dia merawat seorang anak laki-laki yang menghirup gas air mata -salah satu dari sedikitnya 17 orang yang tewas di Juliaca hari itu. " Itu adalah pembantaian," kata saudara perempuannya. “ Tidak ada kata lain untuk itu.”

Samillan Sanga menangis ketika dia mengingat bagaimana saudara laki-lakinya bekerja keras untuk keluar dari kemiskinan ekstrem dan masuk ke sekolah kedokteran. Dia bermimpi menjadi ahli bedah saraf dan membuat program kesehatan untuk masyarakat miskin pedesaan Puno.
“ Saat ini, saya merasa seperti saya diwajibkan untuk hidup… Jika terserah saya, saya akan mati juga karena ada hari-hari saya tidak bisa mengatasi rasa sakit ini,” katanya, air mata mengalir di pipinya.

Samillan Sanga juga melihat prasangka dan diskriminasi sebagai akar kematian kakaknya dan pemberontakan Peru. “ Kami punya perasaan. Kita adalah manusia. Kami merasa. Kami menangis. Kami memiliki emosi. Dan kami kesakitan,” kata kakaknya, Raúl Constantino.

Keluarga itu mengatakan mereka takut pembalasan pemerintah karena berbicara tetapi mereka tidak akan dibungkam. “ Saya harap seseorang membaca ini dan berpikir: bagaimana kabar keluarga Samillan Sanga?” kata Maria Ysabel. “ Karena sebenarnya kita telah hancur. Keluargaku tidak akan pernah sama lagi.”

Presiden Dina Boluarte telah mengajukan tawaran untuk mempercepat pemilu seperti tuntutan massa meski masa jabatannya baru berakhir 2026. Semula dia menawarkan pemilu tahun 2024. Tapi karena protes tak reda, dia menawarkan Oktober 2023. Masalahnya Kongres menolak usulan itu. Dan dengan demikian siklus kekerasan dan rusuh Peru agaknya belum akan berakhir.  Walau sudah memakan korban puluhan jiwa pengunjuk rasa dan aparat keamanan. Entah sampai kapan. (eha)

Sumber: LA Times, Anadolu Agency, New York Times, CNN, BBC, Guardian,

Beri Komentar