Ilustrasi
DREAM.CO.ID - Siswa SMPN 19 Tangerang Selatan (Tangsel) bernama Muhammad Hisyam (13) meninggal dunia usai diduga mengalami perundungan. Korban tutup usia di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Minggu, 16 November 2025, pagi.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Hisyam yang mengalami koma sempat menjalani perawatan di ruang ICU selama sepekan. Sebelum dirawat di RS Fatmawati, korban dirawat di RS Colombus BSD.
Keluarga korban mengungkapkan penyebab meninggalnya Hisyam diduga akibat mengalami perundungan oleh temannya sejak Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Puncak dugaan aksi bullying terjadi pada Senin, 20 Oktober 2025, kepala korban dikabarkan dipukul menggunakan bangku.
Setelah kejadian tersebut, Hisyam mengeluhkan rasa sakit hingga akhirnya menceritakan kepada keluarga, dia mengalami perundungan di sekolah mulai dari dipukul hingga ditendang.
Wali Kota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie, menegaskan bahwa dugaan perundungan telah didampingi hingga tingkat kepolisian.
“ Kalau memang keluarga mengadukan, kita serahkan kepada Pak Kapolres. Penanganan hukumnya kewenangan kepolisian,” ungkapnya dikutip dari seputarcibubur, Senin, 17 November 2025.
Benyamin mengungkap bahwa korban ternyata juga memiliki penyakit bawaan yakni tumor otak.
“ Memang si anak ini sudah menderita tumor, baru ketahuan saja setelah diperiksa. Terpicu kemarin dengan kejadian itu,” ujar Benyamin.
Kepala Seksi Humas Polres Tangerang Selatan, AKP Agil Sahril, mengatakan polisi memeriksa enam saksi, termasuk sejumlah guru di sekolah korban.
“ Penyidik sudah beberapa kali menemui siswa yang bersangkutan, didampingi keluarga, KPAI, Dinas Pendidikan, serta UPTD PPA Kota Tangsel,” katanya.

Kasus perundungan masih menjadi ancaman serius bagi anak di lingkungan sekolah. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 25 anak di Indonesia mengakhiri hidupnya sepanjang tahun 2025. Sebagian kasus disebabkan oleh bullying, termasuk di di lingkungan sekolah.
Psikolog Klinis Remaja Winda Maharani menilai maraknya kasus tersebut disebabkan belum adanya sistem penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan di sekolah.
Ia menjelaskan, guru dan tenaga kependidikan di Indonesia masih minim pelatihan untuk mendeteksi tanda-tanda perilaku agresif atau tekanan emosional siswa. Akibatnya, banyak kasus perundungan luput dari pengawasan hingga berkembang menjadi perilaku ekstrem.
“ Yang banyak terjadi adalah penanganan reaktif. Sekolah baru bertindak setelah masalah meledak, bukan melakukan pencegahan yang terstruktur sejak awal,” ujar Winda dikutip dari NU Online.
Ia juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam memastikan kebijakan kesehatan mental sekolah yang nyata dan terukur.
“ Pemerintah perlu memastikan keberadaan school mental health policy yang nyata, bukan sekadar slogan anti-bullying.,” tegasnya.
Selanjutnya, untuk penyelesaian masalah kesehatan mental remaja juga tidak bisa dibebankan pada sekolah semata. Diperlukan kerja sama lintas sektor antara dunia pendidikan, tenaga kesehatan, dan keluarga agar sistem pendampingan terhadap siswa berjalan efektif.
Advertisement
Ujian Tengah Semester Bentrok dengan Syuting, Prilly Latuconsina Numpang Kamar Warga

Respons Rifat Sungkar Saat Putranya Lakukan Kesalahan di Sirkuit Bikin Haru Warganet

Inspiratif Banget, 5 Komunitas Kebangsaan di Indonesia

FKSM 2025 Singgah di Cirebon, Hadirkan Seni Media Sampai Layar Tancap

5 Tempat Makan Pempek Legendaris di Palembang untuk Manjakan Lidah




Respons Rifat Sungkar Saat Putranya Lakukan Kesalahan di Sirkuit Bikin Haru Warganet

Ujian Tengah Semester Bentrok dengan Syuting, Prilly Latuconsina Numpang Kamar Warga


Proses Pembuatannya Sampai 2 Tahun, Bonvie Haircare Rilis Produk Perawatan Rambut Khusus Cowok

Honda Culture Indonesia Vol.2 Digelar di Jakarta, Ribuan Pengunjung Hadiri Pameran Komunitas Honda