Tertipu Biro Haji

Reporter : Eko Huda S
Kamis, 1 September 2016 21:15
Tertipu Biro Haji
Sebanyak 177 calon jemaah haji dari Indonesia ditangkap petugas Imigrasi Filipina.

Dream - “ Kalau terjadi apa-apa dengan ibu saya, saya akan cari sampeyan.” Pria itu marah. Suaranya keras. Menghardik. Matanya melotot. Menyorot tajam pada pria berpeci putih yang berdiri di depan hidung.

Ketegangan semakin meruap dari ruangan itu. Suara pria berbaju biru itu tak kunjung reda. Polisi yang hadir di kanan kiri hanya tertegun. Tak mampu meredam. Semua orang yang meriung juga tak berbuat apa-apa.

Kata-kata terus ditumpahkan pemuda itu. Sesekali jarinya menuding pria bersarung di hadapannya, yang hanya berdiri diam. “ Harusnya sampeyan ngabari. Saya tahunya dari media, ibu saya dikerangkeng.”

Pria yang lagi naik pitam itu adalah Saiful Anam. Putra Sumiati Juari Samawi, calon jemaah haji asal Prigen, Pasuruan, yang ditahan oleh Imigrasi Filipina. Pekan lalu, Saiful meluruk rumah pemilik Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang memberangkatkan sang bunda.

Saiful memang khawatir. Sang ibu yang berusia 77 tahun ditahan di negeri orang. Sumiati dicokok petugas Imigrasi Filipina di Bandara Manila pada 19 Agustus silam. Saiful ingin sang ibu cepat dipulangkan, dengan selamat.

Ibunda Saiful adalah anggota rombongan haji asal Indonesia. Total ada 177 calon jemaah haji yang diciduk saat akan terbang ke Tanah Suci dengan menggunakan paspor Filipina.

Hingga artikel ini ditulis, para calon jemaah haji ini masih berada di Manila. Sebanyak 168 orang sudah diperbolehkan pulang. Sembilan lainnya masih ditahan.

***
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyebut cara yang ditempuh para jemaah ini tidak sah. Pergi haji dari negara lain merupakan perbuatan melawan hukum.

“ Haji itu harus lewat Tanah Air, tidak bisa menggunakan tanah lain. Karena menggunakan tanah lain, paspor lain, itu ilegal,” ujar Lukman.

Tapi, kata Lukman, para jemaah haji ini hanyalah korban. Tertipu biro haji. Kasus ini murni penipuan. “ Ini tindakan kriminal yang terorganisir,” ujar Lukman.

Memang, para jemaah ini harus meyetor ongkos sebesar Rp 75 juta hingga Rp 120 juta untuk mendapat layanan haji khusus yang dijanjikan. Tapi nyatanya, malah berujung di tahanan.

Menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, para jemaah itu berasal dari berbagai daerah. Sebanyak 39 dari Parepare, 27 Makassar, 14 Jawa Timur, 8 Samarinda. Lainya tersebar dari berbagai daerah.

Mereka terdeteksi membuat paspor dari 18 kantor imigrasi di Indonesia. “ Itu semua paspor asli Indonesia. Berangkatnya pun legal. Nah, proses berangkat dari Filipina kan bukan di kita prosesnya,” kata Kabag Humas Ditjen Imigrasi, Heru Santoso.

Setidaknya, para jemaah ini keluar Indonesia dari empat pintu. Dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Nunukan, Makassar, Kalimantan Barat. “ Itu keluarnya pakai jalur resmi, pakai pintu-pintu resmi, legal,” kata Dirjen Imigrasi, Ronny Sompie.

Dari keempat bandara itu, para jemaah ini diterbangkan menuju Kuala Lumpur, Malaysia. Kemudian mereka menuju ke Manila. Dari sana, mereka akan berangkat ke Arab Saudi dengan paspor Filipina.

Tak hanya Ditjen Imigrasi. Polri juga bergerak. Mereka mengusut biro-biro haji yang memberangkatkan 177 calon jemaah ini. Akhirnya, polisi menyebut 7 biro haji diduga memberangkatkan 100 jemaah wanita dan 77 lelaki ini.

Ketujuh biro travel itu adalah PT T, PT A, PT AAT Makasar, Travel S Makassar, travel HEB Jakarta Utara, KBIH A, dan KBIH A Pandaan. “ ‎Satu persatu pengurus travel diperiksa, kami yakin dapat keterangan saksi,” ujar Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar.

Berdasar informasi itu, Dream mencoba menelusuri keberadaan salah satu travel yang disebut Polri, HEB. Travel ini beralamat di Jalan STM Walang No. 49 RT 004 RW 02 Tugu Selatan, Koja Jakarta Utara.

Untuk menuju ke alamat tersebut, tak mudah. Meski tak jauh dari jalan raya, alamat itu berada di ujung gang. Alamat itu ternyata sebuah rumah besar bercat putih.

Saat Dream datang, kondisi rumah itu sangat sepi. Tak ada plang nama. Tak ada petunjuk lain yang merujuk rumah ini ini sebagai biro haji. Orang-orang sekitar pun mengaku tak tahu nama travel HEB. Hanya remaja 14 tahun saja yang menjawab tahu nama itu.

Tak ada orang di rumah itu. Dream lantas menghubungi Ketua RT, Imsya Marsono, untuk mendapat keterangan. Menurut dia, rumah itu milik keluarga Ustaz AP. Kediaman itu dihuni 6 orang, dan juga seorang pembantu.

“ Mereka baru tiga sampai empat tahun tinggal di sana,” kata Imsya.

Sehari-hari, AP mengisi ceramah di majelis pengajian. Rumah yang dihuni itu bukanlah kantor biro haji. “ Dia tuh istilahnya gini, kalau orang dagang itu cuma cari komisi, dia pengantar doang, penyalur,” tutur Imsya.

“ Di wilayah sini belum ada, kalau memang dia punya travel tentu dia punya izin, ke RT juga pasti ada izinnya, tapi ini kan nggak ada,” tambah dia.

Sejak kasus penangkapan 177 calon jemaah haji Filipina santer diberitakan, rumah AP terus ditutup. “ Saya nggak menyangka, seorang ustad memberangkatkan warga dengan pasport Filipina, ini benar apa nggak, saya juga tahunya dari berita,” kata Imsya.

***
Sebenarnya, berhaji via Filipina bukan hal baru. Telah banyak orang Indonesia yang berangkat dari sana. Tertangkapnya 177 calon jemaah haji itu ibarat puncak gunung es belaka.

Kuota haji yang terbatas dan banyaknya permintaan disebut-sebut sebagai pemicunya. Tahun ini, Indonesia hanya mendapat jatah kuota 168.800.

Kurangnya kuota dan banyaknya umat Islam Tanah Air yang ingin berhaji membuat daftar tunggu mengular. Antrean daftar tunggu di Indonesia saja minimal 5 tahun. Bahkan, di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, mencapai 32 tahun.

“ Masalah seperti ini ditangkap pengusaha. Banyak yang berangkat dari Filipina tapi selamat, karena mungkin jumlahnya sedikit dan yang sekarang banyak sekitar 177,” tutur pengamat haji dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi.

Tak hanya Filipina, jemaaha haji Indonesia juga ada yang berangkat dari negara-negara yang kuota hajinya tidak terisi penuh, seperti China, Thailand, dan bahkan Swedia.

Dadi mengaku pernah menelusuri jaringan penyalur haji ke luar negeri ini. “ Mereka melibatkan jaringan internasional. Jemaah haji Indonesia itu banyak yang berangkat dari China karena quota di sana memang lebih besar.”

Menurut Dadi, haji dengan jalur ini ada banyak paketnya. Semakin jauh jarak tempuh, bertambah mahal ongkosnya. “ Dan kalau di bawah travel ilegal jadi lebih rumit dan anehnya orang Indonesia mau yang kaya gitu,” tutur Dadi.

Dadi menambahkan, meski harga selangit, paket haji khusus yang ilegal ini banyak juga peminatnya. Sebab, waktu tunggunya tak lama. Hanya 2 hingga 3 tahun saja.

Sedangkan, haji reguler biayanya relatif murah. Hanya Rp 30 juta hingga Rp 40 juta. Namun daftar tunggunya mencapai belasan tahun, bahkan ada yang 30 tahun karena kuota terbatas.

Keterangan serupa juga disampaikan Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Rinto Rahardjo.

“ Ibadah haji kan harus segera dilaksanakan. Kalau menunggu kelamaan, nanti keburu mati, nanti nggak pergi haji,” ujar Rinto.

Dia mengatakan, biro haji yang melakukan penipuan pastilah palsu. Dia memastikan tak ada satu pun dari 200 lebih anggota Amphuri yang terlibat penipuan ini.

“ Mereka travel abal-abal. Amphuri dengan tegas meminta kepada pihak yang berwajib untuk menangkap dan memproses,” ujar dia.

Menurut Rinto, sebuah biro haji yang resmi harus terdaftar di Kementerian Agama. Jika sudah terdaftar, harus membayar uang muka US$ 4 ribu atau sekitar Rp 50 juta untuk mendapatkan kuota.

Saat ini, kuota Haji Plus 17 ribu. Jumlah itu tak cukup lagi. Sebab, daftar tunggu juga sudah mengular, meski tak selama haji reguler. “ Haji khusus itu nunggunya sampai 6 sampai 7 tahun,” tutur Rinto.

Masyarakat, kata dia, harus cermat dan teliti. Jangan mudah percaya dengan tokoh masyarakat yang menawarkan haji plus tanpa prosedur yang benar. “ Daftarlah umrah dan haji di biro perjalanan yang memiliki izin.”

Sementara, Inspektur Jenderal Kemwnag, M Jasin, mengatakan, ke depannya perlu pengetatan pengawasan. Sehingga kasus tertangkapnya 177 warga Indonesia di Filipina ini tak terulang.

Pengawasan, kata Jasin, tidak hanya dari Kemenag, tapi juga dari instansi terkait seperti Ditjen Imigrasi Kemementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, dan juga Kementerian Luar Negeri.

“ Sebab mereka itu keluar Indonesia ke Filipina itu statusnya wisatawan bukan jamaah haji,” tutur Jasin.

Sementara, Dadi menyebut untuk memberagus praktik ini tidaklah mudah. Kemenag tak bisa berjalan sendiri. “ Idealnya pemerintah berbagi peran dengan swasta yang independen sehingga regulasi menjadi efektif.”

Laporan: Arie Budi, Maulana Kautsar, Ratih Wulan, Ilman Naafi'an

Beri Komentar