Bisnis (2): Mereka yang Tersenyum Saat Bunga Bank Naik

Reporter : Sandy Mahaputra
Rabu, 30 September 2015 19:45
Bisnis (2): Mereka yang Tersenyum Saat Bunga Bank Naik
Kala semua bank konvensional menaikkan suku bunga, nasabah Syariah bisa tersenyum lega. Sistem bagi hasil terbukti paling bisa bertahan di tengah krisis.

Dream - Pagi mulai beringsut pergi. Jarum jam hampir menunjuk pukul sepuluh. Pada sebuah bank, yang menyempil di deretan ruko kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat itu, hidup terasa lebih gegas.

Lalu lintas di depan kantor itu terlihat riuh dan padat. Tiga orang tamu masuk melewati pintu kaca yang dikawal satuan pengaman. Mereka saling berbalas senyum.

Di dalam ruangan, dua teller berhijab menyambut para tamu. Seorang petugas layanan konsumen telah bersiap di belakang meja. Para nasabah itu dilayani dengan sigap. Mereka bahkan tak sempat duduk di bangku antrean.

Itulah suasana kantor Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah di Bendungan Hilir, awal pekan lalu. Menjelang siang, sudah belasan nasabah datang. Yang menarik, berbeda dengan bank konvensional, di sini tak terlihat antrean nasabah. Setiap nasabah datang langsung dilayani. Pelayanan dilakukan serba cepat.

Ternyata bukan soal pelayanan saja. Awaludin salah satu nasabahnya, mengaku tertarik dengan sistem Kredit Pembiayaan Rumah (KPR) syariah. Lepas bujang, pria 30 tahun itu, bersama istri memutuskan mencari dan membeli hunian sendiri.

Lebih tepatnya membeli dengan cara mencicil, karena untuk membayar tunai sulit bagi karyawan swasta bergaji pas-pasan seperti dia.

Demi mewujudkan impian itu, pria yang berprofesi sebagai sales melakukan riset sederhana, mulai dari perbandingan nilai angsuran, margin kredit serta kemungkinan jangka panjang di bank konvensional maupun syariah.

" Saya banding-bandingkan, setelah dipikir dan dipertimbangkan takutnya ada resesi ekonomi, memang lebih baik ambil (KPR) di bank syariah karena angsurannya flat," kata Awaludin mengenai alasan pemilihan produk KPR bank syariah kepada Dream saat dihubungi melalui telepon, pekan lalu.

Kata Awaludin, sistem KPR di bank syariah yang tidak bergantung pada suku bunga menjadi nilai tambah, lantaran mampu memberikan kepastian dalam jangka panjang. Meski lebih mahal sedikit dari bank konvensional.

Pengajuan KPR syariah rumah seharga Rp 550 juta di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat, yang sodorkan Awaludin pun disetujui Bank BNI Syariah, pada September tahun lalu. Dengan angsuran tetap sebesar Rp 4,5 juta saban bulan, ia harus melunasi dalam tempo 15 tahun.

" Persyaratannya tak sulit. Selain itu syar'i bersumber dari kitab suci serta tuntunan Rasullulah. Saya seorang muslim ya lebih ke arah sana saya" .

Angsuran tetap di bank syariah yang menguntungkan dalam transaksi kredit tak cuma mampir di kepala Awaludin. BNI Syariah mencatat, hingga Agustus 2015 terdapat 40.472 akun nasabah yang masih menjalankan kredit melalui program Griya, KPR syariah milik BNI.

Menurut Executive Vice President BNI Syariah, Kukuh Rahardjo, jumlah nasabah kian berbiak. Jika di rata-rata, jumlah nasabah Griya mencapai 650 ribuan per bulannya.

KPR syariah tidak mengenal bunga dalam sistem kreditnya. Perhitungan yang dipakai adalah bagi hasil. Pada KPR syariah, harga jual rumah ditetapkan di awal saat Anda menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah.

Itulah kenapa KPR syariah memiliki jumlah angsuran bulanan yang tetap. Namun, jumlah angsuran itu akan ditetapkan sesuai dengan kesepakatan di awal perjanjian hingga jatuh tempo pembiayaan atau masa angsuran selesai.

Berbeda dengan KPR non syariah, bisa ada perubahan bunga selama tenor pembiayaan. Ada strategi marketing yang di awal tahun memberikan bunga rendah dengan catatan angsurannya akan menjadi lebih rendah.

Biasanya itu jadi daya tarik sekaligus perangkap bagi konsumen. Karena pada tahun ke-2 dan selanjutnya ketika masa 'honey moon' itu selesai, angsuran bisa naik karena bunga disesuaikan.

KPR syariah memiliki beberapa alternatif pilihan akad yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistemnya, ada beberapa jenis akad yang ditetapkan KPR syariah. Yaitu akad Murabahah (jual beli), akad Musyarakah Mutanaqishah (kepemilikan bertahap), akad Ijarah (sewa), dan Ijarah Muntahua Bittamlik (sewa beli).

Dari sejumlah kelebihan itu, tidak heran jika nasabah kredit pembiayaan rumah dari bank konvensional berbondong-bondong pindah ke bank syariah. Dalam data yang dimiliki Kukuh, BNI Syariah, 10 persen dari total nasabahnya berasal dari take over kredit bank konvensional.

Melayani pembiayaan kepada hampir 41 ribu nasabah, Griya BNI Syariah mampu menghasilkan aset sebesar Rp 7,46 triliun hingga Agustus 2015. Jumlah itu telah berkontribusi signifikan pada total aset bank plat merah itu.

Dari total 100 persen, 56 persen disumbang oleh pembiayaan konsumtif. Sisa 44 persen didapat dari pembiayaan komersil. Dari portfolio 56 persen konsumtif itu, 75 persennya adalah KPR syariah Griya.

Prestasi KPR bank syariah secara umum punya masa depan cerah. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kebutuhan perumahan di Indonesia masih amat besar. Dalam setahun bisa mencapai 1– 1,5 juta rumah dengan jumlah back lock (kekurangan) sekitar 400 ribu per tahun.

Pembiayaan perumahan dari bank masih menjadi primadona di kalangan masyarakat. Dari 100 persen penjualan rumah itu, hanya 20 persen yang dibeli secara tunai atau tunai bertahap. Sisanya menggunakan pembiayaan kredit bank.

Meski saat ini 75 persen masyarakat yang mengajukan KPR masih didominasi bank konvensional, namun Kukuh optimis ke depannya masyarakat lebih melirik bank syariah. Karena sejumlah keunggulan mendasar, yakni dapat memberikan kepastian keuntungan.

Sedangkan subur....

1 dari 2 halaman

Menghitung Fulus di Segmen Muslim

Menghitung Fulus di Segmen Muslim © Dream

Fulus di segmen Muslim, memang sedang subur belakangan ini. Data Bank Indonesia memperlihatkan asset perbankan syariah mekar di bilangan Rp Rp 220 trilun. Itu periode Januari-Juni 2015. Jumlah itu kurang dari 5 persen dari total asset perbankan nasional. Masih kecil memang dari total kue perbankan nasional.

Bahkan masih kalah di banding negeri serumpun. Malaysia. Perbankan Syariah mengusai 20 persen dari total perbankan di negeri itu. Tapi kue sebesar negeri seberang itu sungguh berpeluang tercipta di sini. Pasar kita lebih raksasa.

Gurihnya bisnis segmen Muslim ini juga terlihat di sektor asuransi. Bacalah data statistik yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Total asset asuransi syariah pada Januari 2015 mencapai Rp 22,9 triliun.

Nilai asset itu terus melonjak pada bulan berikutnya. Pada Mei 2015 mencapai Rp 24,5 triliun, kemudian Juni sebesar Rp 24,5 triliun dan Rp 24,3 triliun di bulan berikutnya. Tentu saja ini mengembirakan.

OJK yakin ini adalah saat yang tepat. Karena terjadi peningkatan kesadaran terhadap produk perbankan yang sesuai syariat Islam di masyarakat.

Menurut OJK, warga Indonesia yang tidak punya rekening bank, diperkirakan sekitar 40 persen, diharapkan mereka segara membuka tabungan syariah.

" Situasi ini merupakan kesempatan bagi bisnis perbankan syariah untuk mendapatkan (nasabah) yang lebih besar," kata Nasirwan Ilyas, seorang pejabat senior dari divisi perbankan syariah OJK.

Menurut pengamat ekonomi syariah Muhammad Syakir Sula, dari beragam sektor dalam industri keuangan syariah, pasar modal memiliki potensi paling baik untuk berkembang secara pesat.

Sebab, hingga Agustus 2015 market share saham syariah sudah mencapai 55,4 persen sedangkan sukuk negara mencapai 13 persen. Sementara sukuk korporasi mencapai 3,3 persen serta reksadana syariah mencapai 4,2 persen.

" Itu cukup baik, bahkan sangat baik pertumbuhannya," kata pria yang menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).

Mengejar Malaysia....

2 dari 2 halaman

Kue yang Bakal Meraksasa

Kue yang Bakal Meraksasa © Dream

Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global, industri keuangan syariah sejatinya punya peluang besar untuk berkembang.

Sebab, konstelasi perekonomian dunia yang bergantung pada nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) menyebabkan sistem keuangan berbasis Islam ini tetap terjaga, lantaran ia tak bergantung pada bunga.

Membandingkan dengan negara-negara berpenduduk muslim besar seperti Timur Tengah yang ramai perang, kondisi Indonesia relatif masih nyaman untuk dijadikan tempat investasi dan berbisnis syariah.

Kue yang bakal meraksasa itu bukannya tak disadari pemerintah Indonesia. Presiden Joko Widodo mulai memberikan perhatian khusus pengembangan ekonomi syariah. Mengejar ketertinggalan dari Malaysia.

Dimulai dengan membuka pintu investasi dari jaringan Islamic Development Bank (IDB). Sebelumnya pemerintah hanya memprioritaskan jaringan dari Eropa atau Amerika Serikat yang menggunakan sistem riba.

Sekitar satu bulan yang lalu, OJK menandatangai nota kesepakatan dengan IDB untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan microfinance syariah.

Itu artinya, koperasi syariah, BNP, BPRS, penjaminan syariah dan UMKM syariah akan difasilitasi pemerintah dan akan dibantu IDB dengan diberikan fasilitas permodalan dari Timur Tengah.

" Karena prinsip keuangan dalam Islam sangat mendorong terciptanya keadilan dalam masyarakat serta mampu menciptakan stabilitas ekonomi nasional secara berkelanjutan," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Menurut Bambang, keberpihakan pemerintah sudah nampak sejak 1991 ketika bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai pendirian Bank Muamalat.

Kemudian pada 2000 mendirikan Jakarta Islamic Index (JII) untuk menghitung indeks rata-rata saham syariah. Serta menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

" Pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya di bidang keuangan syariah baik bank maupun non bank serta lembaga pendidikan nasional yang membuka program studi ekonomi dan keuangan Islam tumbuh pesat selama tujuh tahun terakhir," kata Bambang.

Demikianlah. Bisnis syariah, baik perbankan maupun asuransi, terus tumbuh dengan angka mencengangkan tiap tahunnya. Siapa yang tak akan tergiur?

(Laporan: Kurnia Yunita Rahayu)

Beri Komentar