Ibu (4): Kisah Sisa, 43 Tahun Berpakaian Pria demi Hidupi Anak

Reporter : Ahmad Baiquni
Senin, 25 Mei 2015 18:39
Ibu (4): Kisah Sisa, 43 Tahun Berpakaian Pria demi Hidupi Anak
Jadi ibu tunggal tanpa pendidikan. Terbentur tradisi yang melarang wanita bekerja kasar. Ia pun memutuskan menyamar.

Dream - Kulitnya hitam kumal. Wajahnya terlihat acuh dan muram. Rambut pendeknya terbalut rapat kain penutup kepala. Sekilas, ia tampak seperti pekerja kasar yang bosan dan lelah.

Dia duduk di pinggir jalan. Di dekatnya, seperangkat alat penyemir sepatu tergeletak. Mulai dari sikat, semir, dan kain penggosok. Ia memang tengah menunggu pelanggan yang kerap menggunakan jasanya di jalanan kota Luxor, Mesir.

Di Mesir, lazimnya untuk setiap pekerjaan kasar, baik sebagai tukang semir sepatu ataupun kuli bangunan, umumnya dilakukan pria. Itu disadari tukang semir itu, Sisa Abu Daooh, 65 tahun. Dia memang terlihat seperti pria, karena kerap mengenakan pakaian pria lengkap mulai dari kepala hingga ujung kaki.

Tidak ada satupun orang yang menyangka Sisa adalah seorang wanita. Ya, begitulah adanya, Sisa adalah wanita Mesir yang sudah menjalani hidup dengan berpakaian pria selama 43 tahun!

Ketika memilih untuk berpakaian pria, Sisa sama sekali tidak bermaksud menjadikan keputusannya itu sebagai bentuk ungkapan ide persamaan gender. Dia hanya ingin mendapatkan uang untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya.

Dia pun sadar, uang tidak bisa didapat secara gratis. Tetapi, di lain pihak, Sisa harus berhadapan dengan kenyataan dia terlahir sebagai perempuan. Sementara adat Mesir tidak membolehkan wanita untuk bekerja. Apalagi sebagai pekerja kasar macam tukang semir sepatu.

Situasi semacam itu membuat Sisa cukup kesulitan. Di satu sisi dia butuh pekerjaan, tapi di sisi lain dia tidak boleh bekerja. Dia pun tidak mau terlalu lama menjalani kesulitan, sehingga akhirnya ia nekat menyamar sebagai pria --dengan memakai baju pria-- demi mendapat pekerjaan halal.

***

Kehidupan Sisa...

1 dari 2 halaman

Terpepet Faktor Ekonomi dan Keluarga

Terpepet Faktor Ekonomi dan Keluarga © Dream

Terpepet Faktor Ekonomi dan Keluarga

Kehidupan Sisa awalnya berjalan normal. Sisa sebenarnya merupakan seorang wanita yang sudah bersuami. Dari hubungan resmi itu, Sisa mengandung seorang anak wanita.

Tetapi, hal buruk terjadi pada 1970an. Pendamping hidupnya meninggal dunia. Padahal, Sisa tengah mengandung enam bulan. 

Kesulitan semakin berat datang ketika dia melahirkan putrinya, yang kemudian diberinya nama Houda. Waktu itu, Sisa tidak memiliki pendapatan sama sekali. Satu-satunya jalan adalah dia harus bekerja.

Tetapi, Sisa tumbuh di keluarga Mesir tradisional, yang memegang teguh nilai adat. Salah satunya melarang wanita bekerja di luar rumah. Alhasil, keinginannya untuk mendapatkan pekerjaan mendapat penolakan dari keluarganya.

“ Saudara-saudara saya malah ingin saya menikah lagi. Sepanjang waktu mereka selalu menbawa calon suami baru kepada saya,” ujar Sisa, dilansir The Guardian.

Masyarakat Mesir masih memegang kebiasaan belum membolehkan wanita bekerja di luar rumah. Sehingga, seluruh jenis pekerjaan selalu diisi oleh kaum pria. Bahkan hingga saat ini, hanya 26 persen dari jumlah tenaga kerja diisi oleh kaum wanita sementara pria menempati porsi 74 persen.

Sisa pun tidak menemukan calon suami yang cocok. Tetapi, keluarganya tetap melarangnya bekerja. Bahkan mereka sampai marah ketika mendengar keputusan Sisa yang ingin bekerja. 

Selain itu, Sisa tidak memiliki pendidikan yang cukup. Sehingga, hal itu juga semakin menyulitkannya mendapat pekerjaan. 

Meski demikian, Sisa tidak kehilangan akal. Untuk membuktikan kepada keluarganya dia bisa memiliki pendapatan, Sisa memutuskan untuk berpenampilan seperti pria. 

Keputusan itu membuahkan hasil. Dia mendapatkan pekerjaan di Aswan sebagai kuli bangunan selama tujuh tahun. Meski diupah rendah, ia bersyukur akhirnya bisa bekerja.

“ Saya bekerja di Aswan mengenakan celana dan galabeya (baju kurung khusus pria yang kerap dipakai di Afrika). Jika tidak demikian, tidak ada satupun yang membolehkan saya bekerja,” terangnya dilansir Time.

Meski demikian, Sisa mengaku sempat menghadapi kesulitan ketika menggenakan pakaian pria. Ini lantaran dia juga harus berperilaku layaknya pria dan berusaha untuk tidak berkelakuan seperti wanita.

“ Ketika wanita melepaskan sisi kewanitaannya, itu sulit. Tapi, apapun akan saya lakukan untuk putri saya. Ini hanya satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang. Apa yang bisa saya lakukan? Saya tidak bisa membaca atau menulis, orangtua saya tidak menyekolahkan saya. Jadi ini satu-satunya jalan,” ungkapnya.

Usai menjadi buruh bangunan, Sisa memutuskan menjadi tukang semir sepatu kaki lima. Hasil yang didapatnya digunakan untuk memenuhi kebutuhannya dengan anaknya.

Sisa pun pernah memiliki harapan tidak lagi bekerja dan menikmati masa tua dengan nyaman. Dia kemudian menikahkan putrinya dengan pria dan berharap kebutuhannya dapat dipenuhi oleh menantunya.

Tetapi, sampai suatu hari menantunya sakit parah dan tidak bisa lagi bekerja. Hal itu terpaksa membuat Sisa kembali bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Meski demikian, Sisa mengaku cukup senang berpakaian pria dalam bekerja. Dampak positif yang didapatnya salah satunya adalah nyaman bekerja dan terhindar dari ancaman pelecehan seksual.

“ Saya sangat senang. Saya bisa melakukan pekerjaan para pria dan orang-orang di sekitar saya juga senang. Ketika mereka melihat saya, mereka melihat saya sebagai pria,” ungkapnya.

***

Sisa kini hidup...

2 dari 2 halaman

Menginspirasi Kota Luxor

Menginspirasi Kota Luxor © Dream

Menginspirasi Kota Luxor

Sisa kini hidup dan bekerja di Luxor, kota modern Mesir yang terbelah Sungai Nil. Kisah kegigihannya lambat laun tersebar di seluruh kota.

Hal ini pun menjadi pembicaraan ramai di masyarakat kota Luxor. Mereka bahkan punya sebutan sendiri bagi Sisa, Ibu Hoda. Sebuah julukan penghormatan yang lazim di kawasan Timur Tengah.

Kisah Sisa pun sampai membuat editor sekaligus pemilik media Luxor Times, Mena Melad terharu. Mena pernah bertemu dan mewawancarai sendiri Sisa. Bagi Mena, Sisa memiliki kesan tersendiri.

“ Dia duduk di kedai kopi dengan pria, dan orang yang lewat tidak akan melihat bahkan mengabaikannya. Dia menjadi bagian dari mereka (kaum pria),” tulis Mena.

Mena pun bahkan sampai menyatakan tidak ada satupun warga Luxor yang tidak mengetahui kisah Sisa. “ Semua orang tahu, mulai dari anak-anak hingga dewasa,” ungkapnya.

Kabar itu kemudian juga sampai ke Pemerintah Kota Luxor. Pemerintah kemudian memberikan penghargaan kepada Sisa sebagai Ibu yang Setia dari Luxor. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan dengan mendirikan kios untuk Sisa. Hal ini agar Sisa dapat memanfaatkan kios tersebut untuk mendukung pendapatannya.

Tidak hanya itu, kabar ini juga sampai ke Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi. Secara khusus, Sisa diundang untuk bertemu langsung dengan Presiden Sisi. Sisa kemudian mendapat anugerah sebagai ‘Ibu Ideal.’

Kisah Sisa barangkali merupakan sebuah pelajaran tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ini dapat menjadi inspirasi bagi semua orang untuk lebih menghargai perjuangan kaum wanita, terutama para ibu yang dengan ikhlas berusaha demi anak-anaknya. (eh)

Beri Komentar