Bisnis Syariah (2): Geliat Keuangan Syariah

Reporter : Syahid Latif
Senin, 25 Agustus 2014 13:08
Bisnis Syariah (2): Geliat Keuangan Syariah
Melompat ratusan persen, peluang bisnis keuangan syariah makin cerah. Jumlah nasabah juga kian berbiak. Pada 2011, misalnya, total pemilik rekening syariah 9,8 juta orang.

Dream - Hari beranjak siang.  Jarum jam hampir menunjuk pukul sebelas. Pada sebuah bank, yang menyempil di deretan perkantoran kawasan Tebet, Jakarta Selatan itu, hidup terasa lebih gegas.  Lalu lintas di depan kantor itu terlihat riuh dan padat. Dua orang tamu datang. Masuk melalui pintu kaca  yang dikawal satuan pengaman.

Di dalam ruangan, dua orang teller dan seorang petugas layanan konsumen telah bersiap di belakang meja. Mereka bekerja di sebuah ruangan cukup luas. Tiga kali sepuluh meter. Dua nasabah itu pun dilayani dengan sigap. Satu langsung menghadap teller. Lainnya mengisi formulir. Mereka bahkan tak sempat duduk di bangku antre menunggu, seperti yang lazim kita saksikan di tempat lain.  

Itulah suasana kantor Bank Syariah Mandiri di Tebet akhir pekan lalu. Menjelang siang, sudah puluhan nasabah yang datang. Yang menarik, berbeda dengan bank konvensional, di sini tak terlihat antrean nasabah. Setiap nasabah yang datang langsung dilayani. Entah karena pelayanan yang serba cepat itu, peminat bank syariah terus melejit belakangan ini.

Jumlah nasabah juga kian berbiak. Pada 2011, misalnya, total pemilik rekening  syariah 9,8 juta orang. Melejit jadi 13,4 juta pada 2012. Naik 37 persen selama setahun. Jauh di atas pertumbuhan perbankan nasional. Dengan pertumbuhan yang melaju kencang itu, aset perbankan syariah kini 179 triliun. Jumlah itu memang baru 4,4 persen dari total perbankan nasional. Jauh di bawah Malaysia, yang meraup 20 persen dari total nilai perbankan di jiran itu.

Meski menjadi “ saudara tua” bagi Malaysia, riwayat perbankan syariah di Indonesia memang masih terbilang belia. Bisnis perbankan syariah di sana mulai menggeliat semenjak berdirinya Bank Islam Malaysian Berhard (BIMB), 1 Juli 1983. Sedang Indonesia, secara resmi baru beberapa tahun berselang.

Gagasan pendirian bank syariah di Indonesia bersemi pada  Musyawarah Kerja Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta. Dalam Mukernas 22-25 Agustus 1990 itu, diterbitkan  rekomendasi pembentukan kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.

“ MUI dan ICMI menjadi motor kelahiran bank syariah pertama di Indonesia yang boleh dikatakan berangkat dari nol. Nol pengalaman, nol permodalan, dan nol regulasi,” kata Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Bank Syariah Indonesia Riawan Amin kepada Dream.

Dari rekomendasi itu, lahirlah Bank Muamalat Indonesia pada 1991. Namun bank itu baru beroperasi setahun kemudian. Setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memperkenalkan sistim perbankan bagi hasil.

Bank Muamalat memang tercatat sebagai pionir. Setelah menjadi pemain tunggal sekitar enam tahun bermunculan sejumlah bank lain. Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah.

Booming bank syariah baru terjadi sepuluh tahun kemudian. Itu setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur perbankan syariah. Bank umum syariah kemudian menjamur dan merasuk ke bank umum. Bank konvensional juga rama-ramai membentuk unit usaha syariah.

Laporan Bank Indonesia memperlihatkan bahwa hingga Desember 2013, ada sebelas bank umum syariah, 23 bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah, dan 33 bank pembiayaan rakyat syariah. Bank-bank umum syariah itu adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia.

Selain itu Bank Syariah BRI, Bank Syariah Bukopin, Bank Panin Syariah, Bank Victoria Syariah, BCA Syariah, Bank Jabar dan Banten Syariah, Bank Syariah BNI, serta Maybank Indonesia Syariah.

Potensi bisnis perbankan syariah sebenarnya sangat besar. Sebab mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Bahkan terbesar di dunia. Jumlahnya sekitar 200 juta jiwa. Atau 85,2 persen dari seluruh populasi di nusantara yang jumlahnya 234 juta jiwa.

Namun hitungan itu tak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai perbankan syariah Indonesia. Mereka belum mampu menggarap potensi pasar yang gigantik itu. Tengoklah data Bank Indonesia. Dengan pasar sebesar itu, baru terdaftar 12.724.187 rekening di bank syariah. Dana yang tersimpan sekitar Rp 183,53 triliun.

Aset bank syariah Indonesia juga terbilang kecil. Hingga Desember tahun lalu saja baru mencapai Rp 248,1 triliun. Hanya sekitar 4,88 persen dari seluruh aset industri perbankan nasional. Masih di bawah target yang dipatok, yakni 5 persen.

Meski kecil, tren pasar bank syariah terus naik dalam lima tahun terakhir. Dari 2,61 persen pada 2009 menjadi 4,88 persen akhir tahun 2013 lalu. Dibanding Malaysia, perbankan syariah Indonesia kalah jauh. Perbankan syariah negeri jiran yang dirintis tiga puluh tahun lalu itu sangat agresif.

Lihatlah data ini. Dengan hanya sekitar 17 juta penduduk muslim, perbankan syariah Malaysia memiliki aset Rp 1.752 triliun pada tahun lalu. Jumlah itu sekitar 24,4 persen aset perbankan nasional.

Dua tahun silam, rata-rata pertumbuhannya enam belas persen. Diprediksi aset perbankan syariah Malaysia akan mencapai US$ 1,6 triliun atau sekitar Rp 18.497 triliun.

“ Pantaskah bangsa yang mengaku diri sebagai bangsa Islam terbesar ini, hanya punya pangsa perbankan Islam yang hanya di bawah 5 persen?” Riawan mempertanyakan.

Walau demikian, pesona perbankan syariah memang bak magnet yang menarik banyak orang. Pasalnya pertumbuhan perbankan syariah rata-rata pertahun kini mencapai 35 persen. Sementara pertumbuhan tahunan bank konvensional hanya 15 persen. “ Dari sisi pertumbuhan cukup signifikan bagi Indonesia,” kata Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Syahril T. Alam.

Selain perbankan, asuransi syariah juga mulai berkembang di Indonesia. Bisnis ini bermula pada dua puluh tahun silam. Ditandai dengan lahirnya PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994.

Setahun berselang, PT STI mendirikan dua anak perusahaan: PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai perusahaan asuransi jiwa syariah dan PT Asuransi Takaful Umum sebagai perusahaan asuransi kerugian syariah.

Merekalah pelopor asuransi syariah di Indonesia. Setelah itu, banyak perusahaan asuransi yang membuka divisi syariah. Tak hanya perusahaan dalam negeri. Perusahaan asuransi asing pun turut meriung di sektor ini. Setidaknya ada 45 perusahaan asuransi syariah di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis ini jauh lebih bagus dari bank syariah. Dua tahun lalu, bisnis asuransi syariah mengalami pertumbuhan sebesar 26 persen. Dua kali lipat pertumbuhan asuransi umum di Indonesia. Bahkan di atas asuransi syariah di Malaysia yang hanya tumbuh 21 persen.

Namun, asuransi syariah Tanah Air hanya mampu meraih porsi kecil dalam pasar asuransi nasional. Dengan 54,18 juta nasabah, total omzetnya hanya Rp 13,07 triliun atau 2,3 persen saja dari pasar asuransi Indonesia.

Total pendapatan perusahaan asuransi syariah juga tergolong kecil. Hingga Desember 2012 hanya Rp 6,45 triliun. Jumlah itu sekitar 3,6 persen dari seluruh pendapatan industri asuransi di Tanah Air.

Dari data itu terlihat perkembangan bisnis keuangan syariah di Indonesia memang agak seret. Padahal potensinya demikian besar. Lantas apa masalahnya?

“ Banyak aturan yang tidak memberikan kepastian,” kata Presiden Direktur Maybank Syariah Indonesia Norfadelizan Abdul Rahman di Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun dia masih optimis dengan masa depan bisnis syariah di Indonesia.Asal, pemerintah memberikan dukungan penuh. “ Yang diperlukan dukungan dari pemerintah, insentif bagi market dan bank,” ujar dia.

Norfadelizan yang merupakan warga Malaysia ini yakin pasar potensial di Indonesia mampu digarap oleh bisnis perbankan maupun asuransi syariah.

“ Market di Indonesia baru tumbuh 5 tahun, di Malaysia sudah 30 tahun. Kita masih bisa tumbuh dengan besar,” tutur Norfadelizan optimis.

Demikianlah. Bisnis syariah, baik perbankan maupun asuransi, terus tumbuh dengan angka mencengangkan tiap tahunnya. Siapa yang tak akan tergiur? (eh) 

Beri Komentar
Jangan Lewatkan
More