Iuran BPJS Kesehatan Resmi Batal Naik

Reporter : Arie Dwi Budiawati
Selasa, 21 April 2020 15:35
Iuran BPJS Kesehatan Resmi Batal Naik
Iurannya kembali turun ke Rp80 ribu untuk kelas I, Rp51 ribu kelas II, dan Rp42 ribu kelas III.

Dream – Pemerintah akhirnya membatalkan rencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP). Keputusan tersebut diharapkan mulai berlaku pada 29 Juni 2020 mendatang.

Dikutip dari Liputan6.com, Selasa 21 April 2020, pemerintah mulai 1 April 2020 telah melaksanakan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7/P/HUM/2020 yang membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Iuran BPJS Kesehatan yang sejak Januari naik menjadi Rp42 ribu untuk kelas III kembali menjadi Rp25.500, kelas II dari Rp110 ribu menjadi Rp51 ribu, dan kelas I dari Rp160 ribu menjadi Rp80 ribu.

Jumlah iuran tersebut sesuai Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sedangkan kelebihan iuran yang telah dibayarkan pada bulan April 2020 akan diperhitungkan pada pembayaran iuran bulan selanjutnya.

" Pemerintah hormati keputusan MA. Prinsipnya, Pemerintah ingin agar keberlangsungan JKN terjamin dan layanan kesehatan pada masyarakat dapat diberikan sebagai bentuk negara hadir," kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy di Jakarta.

1 dari 5 halaman

Kaji Alternatif Sumber Pengganti

Putusan MA No. 7P/HUM/2020 diterima Pemerintah secara resmi pada tanggal 31 Maret 2020 berdasarkan surat dari Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor: 24/P.PTS/III/2020/7P/HUM/2020 tanggal 31 Maret 2020 perihal Pengiriman Putusan Perkara Hak Uji Materiil Reg. No. 7P/HUM/2020.

Soal iuran BPJS ini, sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 01/2011 tentang Hak Uji Materiil, pemerintah mempunyai waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari untuk melaksanakan Putusan MA tersebut (sampai dengan 29 Juni 2020).

Pemerintah, saat ini, sedang membahas langkah-langkah strategis yang akan dilakukan untuk menyikapi putusan tersebut, dan terus berupaya agar pelayanan terhadap peserta BPJS berjalan baik, serta tetap menjaga demi mempertahankan kesinambungan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Langkah strategis itu diejawantahkan dalam rencana penerbitan Peraturan Presiden yang substansinya antara lain mengatur keseimbangan dan keadilan besaran iuran antar segmen peserta, dampak terhadap kesinambungan program dan pola pendanaan JKN, konstruksi ekosistem jaminan kesehatan yang sehat, termasuk peran Pemerintah (pusat dan daerah).

Rancangan Peraturan Presiden tersebut telah melalui proses harmonisasi dan selanjutnya akan berproses paraf para menteri dan diajukan penandatanganan kepada Presiden.

(Sumber: Liputan6.com/Ilyas Istianur Praditya)

2 dari 5 halaman

MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Dream - Mahkaham Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir, yang diajukan pada 2 Januari 2020.

" Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya, yang dikutip Liputan6.com, Senin 9 Maret 2020. 

Sidang putusan pengabulan tersebut dilakukan oleh hakim Yoesran, Yodi Martono, dan Supandi pada 27 Februari 2020.

Sekadar informasi, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung agar dibatalkan.

Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sampai dengan 100 persen.

Tony Samosir menyatakan, pasien kronis cenderung mendapat diskriminasi dari perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif lagi, sehingga rawan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.

Untuk diketahui, kasus ini terdaftar di Mahkamah Agung dengan nomor register 7 P/HUM/2020 dengan janis kasus Tata Usaha Negara (TUN). Kasus tersebut terdaftar pada 2 Januari 2020. 

Pihak pemohon kasus tersebut adalah Tony Robert Samosir yang merupakan ketua umum KPCDI dengan termohon Presiden RI.

Mahkamah Agung diketahui mengabulkan sebagian gugatan KPCDI terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam pertimbangan MA, pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres nomor 75, bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 23, Pasal 28 H Jo. Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Selain itu, bertentangan pula dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Terakhir, bertentangan dengan Pasal 4 Jo Pasal 5, dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

" Menyatakan bahwa Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tulis putusan MA.

Pasal yang dibatalkan MA:

Pasal 34

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.

Dengan demikian, maka iuran BPJS kembali ke semula:

a. Kelas 3 Sebesar Rp25.500
b. Kelas 2 Sebesar Rp51.000
c. Kelas 1 Sebesar Rp80.000

Sidang diketahui oleh hakim DR Yosran Sh, M.Hum, Dr H Yodi Martono Wahyunadi, SH, MH, dan Prof. Dr. H. Supandi, SH, M.Hum.

(Sumber: Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

3 dari 5 halaman

Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Digugat

Dream – Peraturan Presiden yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan digugat. Pemerintah diminta kembali menerapkan aturan lama tentang BPJS Kesehatan, sehingga iuran yang dibayar tidak memberatkan masyarakat.

“ Uji materi menjadi kewenangannya Mahkamah Agung (MA), tetapi boleh didaftarkan melalui PN setempat, nanti PN yang akan meneruskan ke MA,” kata sang penggugat, M. Sholeh, dikutip dari Merdeka.com, Jumat 1 November 2019

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memang dinilai memberatkan. Sebab, dalam perpres baru itu menyatakan keaikan iuran BPJS Kesehatan.

 

 

Sholeh berharap, Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan dibatalkan melalui uji materi tersebut. Sehingga besar iuran yang harus dibayar oleh peserta BPJS Kesehatan akan kembali ke Perpres yang lama.

“ Ya Perpres kenaikan iuran itu dibatalkan maka kembali ke perpres yang lama yaitu tidak ada kenaikan,” kata dia.

4 dari 5 halaman

Situasi Ekonomi yang Belum Baik

Pria yang berprofesi sebagai advokat ini mengaku menggugat Perpres BPJS itu karena situasi ekonomi yang belum bagus. Kenaikan iuran juga dianggap tak akan berpengaruh terhadap pelayanan yang diterima masyarakat.

“ Alasannya sederhana, situasi ekonomi kan belum bagus, pendapatan masyarakat kan tidak tinggi, kalau kenaikan 100 persen itu kan logikanya tidak tepat, itu yang pertama," katanya.

“ Layanan meningkat katanya, meningkat apa, ga ada pelayanan ya tetap saja, rumah sakit ya rumah sakit ngunu iku (seperti itu). Kecuali akan dihapus rujukan berjenjang. Kalau sakit, nggak perlu ke Puskesmas. Itu baru peningkatan. Kalau tidak, kan, sama saja,” kata dia.

Dia menilai, pemerintah salah membuat perhitungan. Perhitungan membuat BPJS yang diharapkan bisa menguntungkan pemerintah justru membuat rugi. Masyarakat, lanjut Sholeh, yang harus disuruh menanggung kerugian.

5 dari 5 halaman

Kembali ke Sistem Jamkesda?

Sholeh menyarankan pengobatan yang seharusnya ditanggung negara itu hanya orang miskin. Konsepnya, pemerintah membayari pengobatan orang miskin.

“ Balik seperti Jamkesda dulu, jadi kalau ada orang miskin tidak mampu baru dibayari sama Pemda. Sekarang ini kan salah, orang mampu semua kalau sakitnya abot (berat) baru ikut BPJS,” kata dia.

Menurut Sholeh, pekerja juga mengeluhkan sistem asuransi ini. Dikatakan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja dulunya bekerja sama dengan asuransi swasta yang lebih bagus, tiba-tiba diminta ikut BPJS.

“ Bubarkan saja mestinya. Keluhan masyarakat itu tidak hanya bagi orang biasa, (tetapi juga) pekerja pun banyak mengeluh. Dulu perusahaan itu kerja sama dengan asuransi swasta yang lebih bagus. Tiba-tiba dipaksa ikut BPJS. Semua tambah amburadul kayak gitu,” kata dia.

Beri Komentar