Dream - Dua bocah itu masih sangat belia. Seorang putri berusia 6 tahun dan kakak prianya 10 tahun. Mereka Israa dan Yassin Abu Khoussa. Tak ada lagi senyum di wajahnya, Hanya kain putih pembalut jasad.
Pada dini hari, 02.30 raung pesawat melintas di atas rumah mereka. Atapnya hanya asbes compang-camping. Kain robek menutup jendela. Kasur tipis di lantai Cuma ditutupi selimut murah.
Di rumah reot itu mereka tinggal. Dan di sini mereka meninggal. Di lantai dingin itu, tujuh anak, dari usia 2 tahun sampai 15, dan ibu mereka biasa beristirahat.
Rumah mereka berada sekitar 30 meter dari kamp pelatihan Hamas. Saat empat roket Israel berjatuhan. Roket mendarat di daerah terbuka dan menyebabkan kerusakan.
Haartez menyebut Israel berdalih mereka memborbadir sarang kaum ekstrimis. Saat bom dijatuhkan, layar pesawat hanya berisi cendawan. Pilot tak terlihat ada tubuh Yassin yang meninggal atau Israa yang tengah bertaruh nyawa.
Dengan tubuh berlumuran darah, Israa dibawa ke Rumah Sakit Indonesia. Dalam kondisi kritis. Adiknya tak bisa selamat. Meninggal di lokasi kejadian.
Nasib berkata lain. Israa menyusul sang adik. Kini mereka berdampingan di pemakaman al-Salatin.
*****
Kisah Yassin dan Israa tak pernah terungkap. Israel disebut sengaja menyembunyikannya. Bom menyerang anak. Hingga tewas. Siapa yang mau mendengar berita itu.
Dibalik kisah pedih itu, Indonesia hadir. Bukan dengan senjata namun bangunan besar. Penanda persahabatan dan dukungan perjuangan bagi Palestina.
Sebuah rumah sakit dibangun di kota yang bertikai puluhan tahun itu. Namanya Rumah Sakit Indonesia. Bukan Indonesia Hospital seperti banyak dipakai Negara yang menumpang di tanah orang.
Nama ini sengaja dipilih untuk rumah sakit. Baru beberapa bulan berdiri di puncak bukit luar Jabalya, Jalur Gaza, Palestina itu.
Rumah sakit itu bisa berdiri karena bantuan rakyat Indonesia. Lewat tangan Medical Emergency and Rescue Committee (MER-C). Harapan baru pun kembali hidup di sebagian besar warga Palestina. Mereka punya fasilitas kesehatan yang memadai.
Selama 10 tahun, warga Gaza tak punya rumah sakit yang memadai. Penyebabnya, sebagian besar bangunan rumah sakit di sana hancur. Dibombardir serangan bom yang terlontar dari jet-jet tempur Israel.
Pengalaman getir mewarnai pembangunan rumah sakit itu. Di mulai tahun 2008. Saat ide mendirikan Rumah Sakit Indonesia muncul. Kala itu sulit mencari tempat mengevakuasi korban serangan Israel. MER-C cuma bisa mengirim tenaga medis ke Gaza dan membeli dua unit mobil ambulance serta obat-obatan.
Kegetiran dirasakan betul Ketua Presidium MER-C Henry Hidayatullah. Bagaimana situasi Gaza yang sangat mengerikan di akhir tahun itu. Banyak rumah sakit tidak dapat memberikan layanan. Jangankan merawat orang sakit, fasilitas dan tenaga saja masih kekurangan. Sementara korban terus berjatuhan.
Kala itu saja ada 1.500 orang tewas akibat serangan membabi buta Israel. Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak.
“ Dengan pertimbangan kebutuhan, kami putuskan membangun rumah sakit di Gaza Utara,” ujar Henry.
Ide tersebut diamini seluruh tim MER-C. Menteri Kesehatan Palestina Bassim Naim ikut diajak. Ide mulai digagas. Penandatangan nota kesepahaman itu dilakukan oleh perwakilan MER-C Jose Rizal Jurnalis pada 23 Januari 2009, memanfaatkan waktu gencatan senjata.
Gayung bersambut. Palestina punya lahan. Sangat lapang sampai 1,6 hektar di Beit Lahia. Di atas lahan itu, rumah sakit tersebut akan dibangun. Bentuk bangunan segi delapan.
Rancangan ini terinspirasi dari Qubbatul Sakhrah, masjid kubah emas yang terletak di Al Quds, Tepi Barat. “ Sedangkan namanya ditetapkan Rumah Sakit Indonesia, bukan Indonesia Hospital, supaya kental nuansa Indonesianya,” ucap Henry.
Usai penandatangan itu, tim konstruksi MER-C diketuai Faried Talib membuka tender. Pemenangnya perusahaan kontraktor, First Company. Tepat 28 April 2011, dengan tujuh orang kontraktor asal Indonesia ditunjuk sebagai pengawas, pembangunan dimulai.
Setahun berlalu, gedung dua lantai dan basement sudah berdiri. Meski hanya dua lantai, konstruksinya sebanding dengan bangunan lima lantai.
“ Untuk jaga-jaga kalau terjadi serangan Israel sehingga tidak rusak,” ujar Henry.
***
Pembangunan tak sepenuhnya mulus. Masuk tahap kedua pembangunan, Israel kembali melancarkan serangan. Bahkan semakin parah. Mereka menerapkan blokade ke wilayah Gaza. Bahan pokok termasuk bahan bangunan tidak bisa diimpor. Pembangunan terpaksa dihentikan sementara.
Kepala proyek pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Nur Ikhwan Abadi ingat betul bagaimana suasana di sana yang sangat mencekam. Bom setiap saat meledak. Beberapa bagian bangunan rumah sakit yang belum sepenuhnya jadi itu rusak terkena bom.
Khawatir, Kedutaan Besar Indonesia di Yordania pun mengeluarkan peringatan. Warga Indonesia harus segera keluar Mesir. Tetapi, mereka abaikan peringatan itu. Memilih bertahan di dalam rumah sakit.
Mereka mengerjakan beberapa pekerjaan ringan seperti mengecat dinding atau membersihkan sisa bahan bangunan. “ Kami 30-an orang relawan," kenang Nur.
Tahun berganti, serangan demi serangan Israel tak juga berhenti. Paling parah terjadi pada Juli 2014. Bulan itu, Israel melancarkan serangan darat menargetkan kamp pelatihan militer Hamas. Letak kamp itu hanya 400 meter tepat di seberang jalan dari Rumah Sakit Indonesia. Itu membuat bangunan Rumah Sakit sering terkena dampak serangan.
Bukan cuma senjata di tangan, Israel menyerang dengan segenap kekuatan. Menggunakan tank. Militer Hamas hanya bermodal senapan roket seadanya. Tak sebanding. Tapi perlawanan Hamas mampu memukul mundur barikade pasukan Israel.
Dari balik jendela rumah sakit, Nur menyaksikan bagaimana serangan berbalas serangan terjadi dari balik jendela rumah sakit. Satu hal yang paling ditakuti militer Israel adalah bom bunuh diri. Meski hanya dilakukan satu orang, dampaknya bisa menewaskan puluhan tentara Israel.
Agresi tersebut berlangsung selama 51 pekan tanpa berhenti. 2.200 warga Palestina tewas dan 9.886 lainnya luka-luka. Sementara pihak Israel mengklaim hanya ada puluhan warga Palestina yang menjadi korban.
“ Selama itu pula kami tidak pernah keluar dari bangunan rumah sakit. Stok makanan memang sudah disiapkan untuk dua hingga tiga bulan,” kata dia.
Saat serangan terjadi, relawan di Indonesia berjuang keras mengumpulkan dana. Niatan awal, rumah sakit itu akan diserahkan kepada otoritas Palestina begitu pembangunan selesai. Tetapi, rasa iba muncul dari para relawan saat melihat bangunan rumah sakit itu kosong.
“ Jadi, daripada bangunan nanti terlantar, kami putuskan untuk sekalian melengkapinya dengan fasilitas kesehatan,” kata Nur.
Alhasil, dana sebanyak Rp 126 miliar tersedot untuk rumah sakit tersebut. Hebatnya, semua berasal dari sumbangan rakyat Indonesia. Tidak ada sepeserpun dana pemerintah maupun asing digunakan untuk pembangunan rumah sakit ini.
Tepat pada 27 Desember 2015, Rumah Sakit ini resmi beroperasi. Rasa lega menyelesaikan amanah menghiasi benak para relawan. Dan rumah sakit ini menjadi kebanggaan serta simbol persaudaraan yang kuat antara Indonesia dengan Palestina.
Yassin dan Israa, bocah Palestina yang wafat akibat bom mungkin sudah tenang di alam abadi di sana. Tapi Rumah Sakit Indonesia ini akan terus berdiri. Memberi harapan bagi korban pertikaian yang tak kunjung berakhir di Palestina.
(Ahmad Baiquni, Berbagai Sumber)
Advertisement
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`
Tampil Cantik di Dream Day Ramadan Fest Bersama Beauty Class VIVA Cosmetics
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Siap-Siap Adu Cepat! Begini Cara Menangin Promo Flash Sale Rp99
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Kisah Influencer dan Mantan CMO Felicia Kawilarang Hadapi Anxiety Disorder
Detail Spesifikasi iPhone 17 Air, Seri Paling Tipis yang Pernah Ada