Tiongkok dan AS Berebut Pengaruh di Asia

Reporter : Ramdania
Kamis, 26 Maret 2015 12:32
Tiongkok dan AS Berebut Pengaruh di Asia
Ketika dua negara besar ingin menjadi penguasa, mereka akan mulai menyabotase negara-negara melalui sektor keuangannya. Inilah yang dilakukan China dan Amerika saat ini.

Dream - Persaingan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tak terelakkan dan untuk sebagian besar menguntungkan. Hal ini terjadi ketika Tiongkok dan Amerika Serikat berebut kendali lembaga keuangan internasional di Asia.

Seperti dikutip dari Arab News, Kamis, 26 Maret 2015, upaya Tiongkok untuk memulai Asian Infrastructure Investment Bank (IIB Asia) baru kian populer dari hari ke hari, meskipun AS menolak ide tersebut.

Pertanyaannya bukan lagi apakah bank akan memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi, tetapi bagaimana cara terbaik untuk memastikan bahwa bank baru itu memberikan kontribusi untuk pertumbuhan Asia - dan, bukan kebetulan, menarik Tiongkok lebih dalam ke tatanan keuangan global.

Saat ini Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya telah bergabung dalam IIB Asia. Dan negara seperti Australia dan Korea Selatan juga hampir dipastikan ikut bergabung. Mungkin ini dianggap sebagai kemenangan kecil Tiongkok atas AS, yang dilaporkan melobi sekutunya agar tidak mendaftar jadi anggota IIB. Tapi Washington sebagian besar punya kesalahan mereka sendiri.

Selama bertahun-tahun, AS telah meminta Tiongkok untuk mematuhi norma-norma internasional dan lembaga-lembaga keuangan - tanpa membuat ruang agar Tiongkok melakukannya. Kongres AS tetap memblokir upaya melengserkan dominasi AS dari Bank Dunia atau untuk meningkatkan pangsa suara Tiongkok di Dana Moneter Internasional (IMF), yang kurang dar 4 persen, dibandingkan dengan AS yang memiliki suara hampir 17 persen.

Namun bukan berarti Inggris dan lain-lain bergabung tanpa maksud tertentu. London jelas ingin membangun dirinya sebagai pusat perdagangan luar negeri utama dari renminbi (yuan). Namun demikian, menurut sebuah studi dari Asian Development Bank (ADB), wilayah Asia memiliki kebutuhan infrastruktur yang besar, sampai US$ 800 miliar setiap tahun.

Kekhawatiran bahwa lembaga baru yang didominasi Tiongkok mungkin mendorong penurunan standar kredit terdengar berlebihan. Jika Tiongkok ingin memberikan pinjaman 'berisiko' untuk membeli loyalitas, Tiongkok bisa dengan mudah terus melakukannya secara bilateral.

Tetapi praktik tersebut sebagian besar menjadi bumerang; Beijing menghadapi utang yang buruk mulai dari Myanmar, Sri Lanka hingga Ukraina. Inti dari bekerja melalui organisasi multilateral bagi Tiongkok adalah untuk mendapatkan legitimasi global.

Pada titik ini, IIB Asia harus bisa menggandeng sekutu AS dalam satu meja. Untuk memulai, mereka harus bisa memastikan bahwa keputusan yang dibuat didasarkan pada konsensus dan kolaborasi.

Mengingat Tiongkok memberikan kontribusi hampir 50 persen dari dana bank baru tersebut, tidak diragukan lagi negara tirai bambu ini akan berharap bisa membawa pengaruh bagi jalannya IIB Asia. Tapi para anggota dari Eropa akan menghadapi tekanan di dalam negeri mereka untuk menarik diri jika bank mendanai proyek kontroversial yang tidak sesuai keinginan mereka.

Lalu muncul pertanyaan tentang praktik terbaik yang harus diadopsi oleh bank baru ini. Setidaknya ada dua yang tidak bisa ditawar-tawar: Bank baru harus mengadopsi kerangka utang keberlanjutan yang dipromosikan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mencegah negara-negara berkembang mengambil beban utang tidak berkelanjutan.

Bank baru juga harus berkomitmen terhadap tender yang kompetitif dan akses universal untuk menghindari persepsi bahwa pinjaman yang dimaksudkan menjadi alat penyalur bisnis perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Tak satu pun dari syarat tersebut membutuhkan AS atau Jepang untuk bergabung dengan bank baru. Tetapi jika negara-negara prihatin tentang peningkatan pengaruh Tiongkok, mereka bisa melakukan lebih banyak lagi untuk memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya.

Para pejabat Amerika harus mendorong lebih keras, misalnya, untuk melaksanakan reformasi keuangan yang akan meningkatkan kemampuan ADB. Jika AS benar-benar tidak ingin negara lain mengikuti jejak Tiongkok, mereka harus menawarkan alternatif yang lebih kuat.

 

Beri Komentar