Kisah Haru Anak Buruh Angkat Derajat Orangtua

Reporter : Syahid Latif
Rabu, 3 Juni 2015 09:02
Kisah Haru Anak Buruh Angkat Derajat Orangtua
"Saya ingin menunjukkan kepada bapak dan ibu, inilah kampus saya. Saya tahu mereka orang desa, mungkin seumur hidup, besok itu baru pertama mereka menginjak kampus," ujar dia.

Dream - Devi Triasari. Inilah mahasiswi yang tengah jadi buah bibir banyak orang. Peraih gelar wisudawan terbaik Universitas Sebelas Maret Surakarta ini mampu meraih Indeks Prestasi Kumulatif 3,99. Masa kuliah di Fakultas Hukum dia libas hanya dalam waktu 3,5 tahun. Dan segala prestasi itu dia persembahkan kepada orangtua.

" Saya ingin membuat orangtua bahagia. Ridha Allah itu ridha orangtua," tutur Devi saat berbincang dengan Dream, Minggu 31 Mei 2015.

Ya. Niat Devi berkualiah memang untuk mengangkat derajat orangtua. Sebab, selama ini dia merasa nasib keluarga tak pernah berubah karena pendidikan rendah. Sang ayah hanya buruh tani. Ibunda pembantu rumah tangga. " Kami harus berubah," kata dia.

Devi sadar. Salah satu cara mengerek derajat keluarga melalui pendidikan. Meski perlu banyak pengorbanan untuk melalui jalan itu. Sehingga, betapapun ekonomi keluarga terbatas, dia tetap sekuat tenaga untuk bersekolah. Meski harus makan nasi dan sayur saja. [Baca juga: Nasi dan Kacang Panjang, Menu `si Jenius` Anak Petani]

Semangat bersekolah nyaris saja buyar setelah Devi lulus SMK. Hatinya tergiur untuk kaya dengan cara cepat. Menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Jepang. " Saya mikirnya jadi TKW, pulang dua tahun bisa beli tanah, sawah, dan bisa membangun rumah kami yang sudah hampir roboh," ujar gadis asal Ngawi, Jawa Timur, ini.

Tak sekadar keinginan. Devi sudah daftar untuk jadi TKW ke negeri Matahari Terbit itu. Dia bahkan sudah kursus bahasa Jepang. Namun takdir kemudian berbelok. Merasa tak punya dana, dia akhirnya melamar kerja. Diterimalah gadis kelahiran 19 Desember 1991 ini oleh perusahaan kontraktor di Magetan.

Dari hasil kerja itu, Devi bisa membantu keluarga. Meski terbatas. Hasil keringat Devi bisa membelikan kaca untuk jendela. Rumah yang nyaris roboh bisa dibenahi. Termasuk melapisi lantai tanah dengan plester. " Tapi akhirnya saya mikir, kalau seperti ini nggak berubah-ubah, belum bisa bahagia."

Saat itulah keinginan meneruskan kuliah kembali tumbuh. Di sela kesibukan kerja, dia sempatkan membuka kembali buku-buku pelajaran. Mempersiapkan diri untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi. " Saya kerja hari Senin sampai Sabtu. Akhirnya sering ke warnet untuk mencari info beasiswa. Pulang malam, pagi kerja lagi. Hari Miggu ikut bimbingan belajar," tutur Devi.

Keuletan mencari informasi di warung internet akhirnya terbayar. Dia diterima dalam program beasiswa yang berafiliasi dengan produk rokok. Namun, setelah menimbang, dia tolak tawaran itu. Devi memilih ikut ujian masuk perguruan tinggi.

Berangkatlah Devi ke Solo, Jawa Tengah. Bersama seorang kawan. Kampus UNS menjadi tujuan. Namun, karena tak punya sanak saudara di sana, Devi dan sang kawan bingung. Mau menginap di mana. Lagi pula, itu kali pertama mereka pergi ke Solo. " Kami berniat tidur di musala, tapi diusir oleh ibu-ibu," kenang dia.

Akhirnya, keduanya terus mencari tempat kos untuk dua hari. Untuk menginap selama mengikui ujian. " Ketemulah sama ibu baik hati. Ibu itu bilang kamar sudah habis, namun ada gudang. Itu bekas kamar anaknya, namun sudah dijadikan gudang. Kondisinya kotor, hanya dikasih tikar dan lampu saja."

Daripada, tawaran itu diterima. Daripada tidak ada tempat menginap. " Posisi kamar itu berada di bawah tangga, sehingga kalau salat kepala terbentur. Ya nggak apa-apa, karena adanya itu. Dua hari kami bayar Rp 15 ribu," tambah Devi.

Doa dan upaya Devi terjawab. Dia diterima di Fakultas Hukum. Namun, kebingungan kembali merubung. Dari mana dia dapat duit untuk biaya kuliah. Akhirnya, beasiswa Bidikmisi pun dia dapat. " Ditambah modal nekat saya."

Benar saja. Saat kuliah dia harus pontang-panting menambal kebutuhan. Tapi karena tekad sudah membaja, segala upaya dia lakoni. Jadilah Devi guru les. Jualan pulsa pun dia jalani. Dan juga menjadi asisten dosen. " Dari situ, malah saya masih bisa membantu orangtua. Saya kirim uang ke rumah walau hanya Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu," katanya.

Selama kuliah, tak sekalipun Devi dijenguk orangtua. Tiga setengah tahun itu, benar-benar dia lewatkan untuk belajar mandiri. Dan jika tak berhalangan, tanggal 13 Juni mendatang menjadi hari pertama orangtua Devi melihat putrinya di kampus. Dan itu hari wisuda. Pengukuhan sarjana sekaligus predikat lulusan terbaik.

" Saya ingin menunjukkan kepada bapak dan ibu, inilah kampus saya. Saya tahu mereka orang desa, mungkin seumur hidup, besok itu baru pertama mereka menginjak kampus," ujar dia.

" Saya ingin membahagiakan mereka. Mengangkat derajat bapak dan ibu saya," tambah Devi. Dan kini, impian itu rupanya segera terwujud. Sejumlah program beasiswa S2 tengah dia jajaki. Semoga niat mulia ini bisa terlaksana. Amin. (Ism)  Baca Juga: Sempat Tidur di Gudang, Putri Pembantu Itu Lulus Cumlaude Inspiratif, 7 Entrepreneur Ubah Kemalangan Jadi Kesuksesan Persahabatan Unik Mengharukan, Bocah dan Petugas Sampah Wisuda Paling Menguras Air Mata Para Preman Itu Menangis Insaf Usai Salat Berjamaah Subhanallah, Bayi Ini Hidupkan Lagi Detak Jantung Ibunya Jalan Kaki 300 Hari dari Austria ke Mekah, Demi Adik 2 Guru Ponorogo Sabet Juara Guru Inovatif Sedunia di AS

Beri Komentar